Menuju konten utama
Piala Dunia 2018

Uruguay Pulang, tapi Oscar Tabarez akan Selalu Dikenang

Bintang Uruguay di Piala Dunia 2018 bukan Suarez, Cavani, maupun Diego Godin, melainkan Oscar Washington Tabarez.

Uruguay Pulang, tapi Oscar Tabarez akan Selalu Dikenang
Pelatih timnas Uruguay, Oscar Tabarez, dalam pertandingan babak 16 besar Piala Dunia 2018 antara Uruguay melawan Portugal di Fisht Stadium, Sochi, Rusia (30/6/18). AP/Andre Penner

tirto.id - Uruguay saat ini diperkirakan mempunyai 3,5 juta penduduk. Dari jumlah tersebut, hampir separuhnya—sekitar 1,3 juta penduduk—tinggal di Montevideo, ibu kota Uruguay. Dan untuk melihat betapa tergila-gilanya orang Uruguay dengan sepakbola, kehidupan orang-orang Montevideo bisa menjadi acuan.

Di Montevideo, Fanatico Futbol Tour, satu-satunya agensi tur sepakbola di Uruguay, bisa mengantarkan Anda untuk berkunjung ke tempat digelarnya pertandingan-pertandingan profesional paling seru di Uruguay. Anda bisa menyaksikan pertandingan yang melibatkan Danubio FC, yang sering disebut sebagai universitas sepakbola Uruguay, klub tempat Edinson Cavani memulai langkahnya menjadi pesepakbola kelas dunia. Atau, jika waktunya tepat, Anda juga bisa menjadi saksi pertandingan paling sengit di Uruguay, antara Nacional melawan Penarol.

Hebatnya, Montevideo ternyata juga tidak hanya soal pertandingan-pertandingan sepakbola profesional yang menegangkan. Di lapangan-lapangan yang berada di sekitar Montevideo, entah itu yang berada di tengah taman, di dekat gedung perkantoran, maupun di daerah padat penduduk, orang-orang biasa juga akan bermain bola dengan penuh semangat dan intensitas. Bahkan, saat matahari bersinar terik dan pepohonan hijau mulai menghembuskan oksigen yang melegakan nafas, jantung Anda masih bisa berdetak tak karuan karena permainan sepakbola orang-orang Montevideo itu.

Menurut Martin Aguirre, dalam salah satu tulisannya di The Guardian, keinginan untuk selalu menang orang-orang Uruguay seringkali terlihat dari permainan sepakbola amatir itu. Di luar lapangan, mereka boleh menjadi teman dekat, keluarga, atau rekan sekantor, tetapi di dalam lapangan, mereka adalah lawan yang harus dikalahkan.

Selain sepakbola profesional dan sepakbola amatir yang menarik untuk disimak, di Montevideo juga terdapat museum yang menyimpan kesuksesan sepakbola Uruguay di kancah dunia. Di museum itu kesuksesan Uruguay di Olimpiade Paris 1924, Olimpiade Amsterdam 1928, dan Piala Dunia 1930 [Piala Dunia edisi pertama] dirawat dengan baik. Salah satunya melalui kutipan-kutipan pemain Uruguay yang diukir pada dindingnya.

Kutipan yang paling terkenal di tembok museum itu berasal dari Pedro Asipe, pemain Uruguay yang menjadi bagian dari kesuksesan timnya dalam tiga turnamen besar tersebut.

“Bagi saya,” katanya, “tanah air saya adalah tempat saya dilahirkan secara tidak sengaja. Tempat saya bekerja dan tempat saya dieksploitasi. Namun saat saya berada di Paris [Olimpiade 1924], saya menyadari bahwa saya mencintainya. Itu terjadi ketika saya melihat bendera [Uruguay] berada di tiang tertinggi! Lalu saya merasakan betapa pentingnya memiliki sebuah negara.”

Yang menarik, di Piala Dunia 2018 sejauh ini ternyata ada seorang Montevideo yang mampu mewakili semua itu, bahwa sepakbola sangat penting bagi orang-orang Montevideo dan bagi Uruguay secara keseluruhan.

Meski saat ini ia susah berjalan karena menderita sindrom Guillain-Barre [sejenis penyakit syaraf], ia masih tampak gagah saat memimpin Uruguay dari pinggir lapangan. Rambutnya yang sudah memulai memutih pun tak mampu menghalanginya untuk terus memberikan yang terbaik bagi sepakbola Uruguay. Orang itu lahir 71 tahun silam. Julukannya maestro. Namanya Oscar Washington Tabarez.

Pengubah Wajah Sepakbola Uruguay

Setelah pensiun sebagai pemain, Oscar Tabarez mulai menjadi pelatih pada 1983 lalu. Kepada The Blizzard, ia mengatakan bahwa menjadi pelatih sepakbola sebelumnya tidak pernah terlintas sedikit pun di dalam kepalanya. Saat itu ia hanya menjalani suratan.

Pernah berprofesi sebagai guru sekolah, rekan-rekannya mengatakan bahwa ia cocok untuk menjadi pelatih sepakbola. Ia pun merasa senang saat para pemain muda datang kepadanya untuk sekadar meminta saran. Maka, saat kesempatan mejadi pelatih sepakbola datang, Tabarez dengan senang hati menerimanya.

Tabarez menjadi pelatih Uruguay dalam dua periode, pada 1988 sampai 1990 dan pada 2006 sampai sekarang. Pada periode pertama, meski tidak memberikan prestasi berarti, Tabarez berhasil mengubah pola pikir orang-orang Uruguay mengenai cara bermain sepakbola.

Saat itu la garra charrua, cara bermain khas Uruguay yang keras dan cenderung brutal, masih begitu menonjol dalam permainan Uruguay. Pemain-pemain Uruguay hanya tahu bahwa untuk meraih kemenangan la garra charrua adalah satu-satunya jalan.

Namun, meski masih membuat mereka menjadi salah satu tim terbaik di Amerika Selatan, cara bermain tersebut sudah usang di kancah sepakbola dunia. Dalam gelaran Piala Dunia 1986 Uruguay memang berhasil menembus babak 16 besar, tetapi penampilan Uruguay di Meksiko tersebut justru dikenang bukan karena prestasinya itu, melainkan karena permainan brutalnya: saat bertanding melawan Skotlandia, Jose Batista, bek Uruguay, hanya membutuhkan waktu 56 detik untuk diusir dari pertandingan.

Tabarez masih percaya bahwa la garra charrua bisa menjadi kekuatan bagi Uruguay, tetapi ia mengubah konsepnya. Baginya, la garra charrua bukan melulu permainan keras dan brutal, tapi juga sebuah ketangguhan sikap. Dengan modal itu, ia lalu mengenalkan kepada pemain-pemain Uruguay bahwa sepakbola mempunyai banyak cara untuk meraih kemenangan, termasuk dengan bermain dengan mengandalkan kolektivitas tim. Cara bermain tersebut kemudian diajarkan hingga sekarang, bahkan hingga ke tim usia muda Uruguay.

“Setiap bola yang saya oper selalu membuat saya ingin menahan dan membawa bola sepanjang 20 meter ke depan,” ujar Nahitan Nandez, pemain timnas U-20 Uruguay. “ Guru [Tabarez] kemudian mengatakan bahwa saya tidak boleh melakukan hal tersebut, saya harus bermain sebagai sebuah tim.”

Dengan peninggalan penting yang ia berikan untuk timnas uruguay pada periode pertama kepelatihannya, saat kembali menjadi pelatih Uruguay pada tahun 2006 lalu, Tabarez dapat menerapkan keinginannya dengan lebih mudah. Hasilnya, timnas Uruguay yang sempat tak tentu arah berhasil bangkit secara perlahan.

Dalam gelaran Piala Dunia 2010, Uruguay berhasil meraih juara empat, prestasi terbaik setelah Piala Dunia 1970 silam. Satu tahun berselang, mereka bahkan berhasil meraih gelar Copa Amerika 2011, sebuah prestasi yang terakhir mereka raih pada tahun 1995 silam.

Yang menarik, pencapaian anak asuh Tabarez tersebut dicapai dengan "gaya". Uruguay mampu bermain dengan mengandalkan umpan-umpan pendek dari kaki ke kaki. Penempatan posisi dan kedisplinan menjadi kunci. Daripada menebas kaki pemain-pemain lawan, pemain-pemain Uruguay juga lebih mahir dalam membaca permainan.

Tabarez adalah bintang Uruguay di Rusia

Di Rusia, Diego Godin, Edinson Cavani, dan Luis Suarez adalah pemain penting bagi Uruguay. Godin merupakan bek paripurna. Bek Atletico Madrid tersebut tangguh di udara, pintar membaca permainan, dan tidak mempunyai rasa takut. Selain itu, dia juga seorang pemimpin.

Sementara itu, Suarez dan Cavani merupakan penyerang komplet. Selain sebagai penuntas serangan kelas satu, mereka juga pintar mencari ruang dan membuka ruang untuk rekan-rekannya.

Meski begitu, tanpa bimbingan Oscar Tabareza sinar ketiga pemain tersebut belum tentu sebenderang seperti sekarang. Selama 12 tahun terakhir, Tabarez selalu awas dalam membimbing ketiga pemain tersebut, juga pemain-pemain Uruguay lainnya untuk menjadi pesepakbola yang terhormat. Tidak hanya menyoal teknik dan taktik, Tabarez juga mengajarkan kepada mereka bagaimana caranyan berperilaku.

“Ia [Tabarez] selalu mengatakan bahwa menjadi pesepakbola adalah sebuah profesi tetapi bagaimana cara Anda berperilaku sebagai manusia itu yang paling penting,” kata Diego Forlan, mantan penyerang Uruguay di bawah asuhan Tabarez. “Anda bisa menjadi pemain berbakat, tetapi bila Anda berperilaku tidak baik, itu bisa menjadi cerminan dari diri Anda dan tim Anda.”

Infografik Oscar Tabarez

Selain itu, Tabarez juga tidak pernah membedakan status pemain Uruguay. Baginya, Suarez tidak ada bedanya dengan Rodrigo Bentacur, pemain muda Uruguay. Pun demikian dengan Diego Godin dengan Matias Vecino. Mereka semua sama-sama pemain timnas Uruguay.

“Saya tidak melatih bintang, saya melatih manusia. Saya mengerti bahwa dari setiap penampilan dan atensi yang mereka [para pemain] dapatkan dari media di dunia itu berarti bahwa ada seorang pemain yang cenderung menjadi idola bertumpu pada idealisasi, tetapi itu tidak mengubah fakta bahwa saya melatih manusia, dengan tugas serta kewajiban pada umumnya, dan bahwa sepakbola adalah permainan kolektif, bukan individu,” kata Tabarez, dalam wawancaranya dengan The Blizzard, menyoal status pemain bintang.

“Jika saya ingin melihat bintang, saya akan mendongak ke langit. Jika Anda ingin membuat tim yang solid, Anda harus memberikan rasa hormat yang sama terhadap pemain terkenal maupun tidak. Untungnya, di timnas Uruguay kami telah membuktikan bahwa hal itu mungkin untuk dilakukan. Segalanya kemudian menjadi lebih mudah bagi kami karena para pemain terkenal di sini mampu menunjukkan bahwa mereka mempunyai kepekaan berkelompok yang dapat memberikan hal positif terhadap tim.”

Dengan sikap Tabarez tersebut, Uruguay benar-benar bisa menjadi tim yang solid di Piala Dunia 2018. Sementara Godin, Suarez, dan Cavani mampu mengangkat performa timnya, pemain-pemain Uruguay juga mampu menjadi pemain pendukung yang maksimal. Hasilnya, Uruguay berhasil menembus babak perempat-final dengan catatan mentereng. Dalam empat pertandingan Uruguay selalu menang. Mereka juga berhasil mencetak 7 gol dan hanya kemasukkan 1 gol di Piala Dunia 2018 sejauh ini.

Pada akhirnya, kisah Tabarez dan Uruguay di Piala Dunia 2018 memang berakhir di tangan Perancis pada babak perempat-final. Saat itu Perancis yang unggul kualitas pemain berhasil memang 2-0 melalui gol Varane dan Griezmann. Meski begitu, Uruguay, yang bermain tanpa Edinson Cavani, berhasil memberikan perlawanan dengan sebaik-baiknya.

Suarez dan rekan-rekannya mampu menterjemahkan la garra charrua seperti kehendak Tabarez. Mereka tidak menyerah meski hampir kalah segalanya dalam pertandingan tersebut.

Mental Fernando Muslera boleh jatuh karena blundernya yang mengakibatkan gol kedua Perancis, tetapi ia tetap mencoba berdiri tegap hingga pertandingan benar-benar bubar. Tak jauh berbeda dengan kiper Uruguay tersebut, meski air mata terus menetes di pipinya, Cristian Rodrgiuez tetap mengejar bola seperti tidak ada hari esok.

Di atas tribun stadion, para penggemar Uruguay pun tidak mau kalah dari para pemainnya. Pada menit-menit akhir pertandingan, meski harapan untuk menang sudah menjadi hantu, mereka tetap mendukung timnya dengan sepenuh hati.

Semua itu tentu gara-gara Tabarez. Dan bagaimana cara Tabarez menanggapi kekelahan tersebut bisa menjadi bukti betapa tangguhnya orang tua yang satu ini.

“Hari ini (06/07/18) kami [Uruguay] bermain melawan tim yang lebih bagus dan lebih kuat daripada kami. Kami harus mengakuinya dan kami harus mengucapkan selamat kepada mereka,” kata Tabarez. “Setelah pertandingan saya mengatakan kepada para pemain bahwa mereka harus merasa bangga, mereka bisa pulang dengan kepala tegak.”

Menyoal kesalahan Muslera, Tabrez bahkan tidak mau ambil pusing. Menurutnya, Muslera tetaplah pemain penting bagi tim, dan ia tidak mau mengotori tangannya hanya untuk melimpahkan segala kesalahan kepada kiper Uruguay tersebut.

Untuk itu semua, meski gagal membawa Uruguay melangkah lebih jauh di Piala Dunia 2018, Tabarez pantas mendapatkan aplaus panjang dari penggemar sepakbola di dunia. Piala Dunia 2018 pun seharusnya mengenangnya. Bagaimanapun, cerita utama Uruguay di Piala Dunia 2018 adalah tentang Tabarez, bukan tentang Suarez, Godin, Cavani, maupun pemain-pemain Uruguay lainnya.

Baca juga artikel terkait PIALA DUNIA 2018 atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Zen RS