tirto.id - Dalam buku Football in Sun and Shadow, Eduardo Galeano menuliskan sepakbola dengan cara yang menarik. Ia tidak hanya bicara soal umpan dari kaki ke kaki, tapi juga membicarakan sepakbola dengan imajinasi yang hidup lagi menyenangkan.
Saat membicarakan Pedro Rocha, misalnya, salah satu pemain andalan timnas Uruguay pada era 60an hingga 70an, Galeano menulis: “Pedro Roca meluncur seperti ular di atas rumput. Dia bermain dengan begitu gembira dan kegembiraannya itu pun menular: kegembiraan dalam bermain, kegembiraan untuk mencapai tujuan. Dia melakukan apa pun yang dia inginkan dengan bola, dan dia percaya dengan setiap tindak-tanduknya itu.”
Menariknya, berbeda dengan salah satu sastrawan terbaiknya itu, Uruguay ternyata mempunyai cara lain untuk bercerita tentang sepakbola. Di negara yang menjadi bagian dari Amerika Selatan itu, orang-orang bersepakbola hanya dengan satu tujuan: menang. Meski bermain indah, kekalahan tetap saja dianggap sebagai malapetaka. Sebaliknya, permainan buruk tak menjadi soal asal bisa menghasilkan kemenangan.
Untuk semua itu, saat Uruguay bertanding melawan Ghana pada Piala Dunia 2010 lalu, Luis Suarez bahkan pernah mengesampingkan aturan main ketika dengan sadar menyentuh bola yang akan masuk ke gawang Uruguay dengan tangannya. Empat tahun berselang, saat orang yang sama mendapatkan hukuman dari FIFA karena menggigit tangan Giorgio Chiellini, Jose Mujica, Presiden Uruguay saat itu, malah mendamprat FIFA sebagai “sekumpunan anak pelacur”.
Mujica tak peduli bahwa tindakan Suarez itu tidak dibenarkan oleh peraturan. Ia hanya tahu bahwa pemainnya dihukum, tidak kurang tidak lebih. Suarez dan Mujica menggambarkan etos Uruguay dalam memandang sepakbola: hasil adalah segalanya.
Dalam salah satu tulisannya di Guardian, penulis Uruguay Martin Aguirre menegaskan hal itu dengan lebih telak. Katanya, tak perlu pergi menonton pertandingan sepakbola profesional untuk melihat bahwa orang-orang Uruguay selalu ingin menang dalam olahraga yang satu itu. Kita cukup datang ke lapangan-lapangan sepakbola yang berada di sekitar Montiviedo, melihat segerombolan teman-teman dekat, orang-orang sekantor, atau sekumpulan keluarga atau segerombolan bocah-bocah bermain bola. Mereka akan menyuguhkan pertandingan yang intens dan menegangkan, bahkan untuk permainan sekadar bersenang-senang sekali pun.
Namun, hasrat untuk selalu menang orang-orang Uruguay tersebut sepertinya tak mudah tercapai di Piala Dunia 2018 nanti. Uruguay, yang begabung bersama Rusia, Arab Saudi dan Mesir di Grup A, akan memulai perjalanannya di Rusia dengan menghadapi Mesir, negara yang rakyatnya juga menganggap pertandingan sepakbola sangat penting untuk “dimenangkan”.
Mesir, Negara Gila Bola
Konon orang-orang Mesir sudah bermain bola sejak zaman kuno. Herodotus, sejarawan Yunani yang mengunjungi Mesir pada 460 Sebelum Masehi dan 448 Sebelum Masehi, pernah menggambarkan anak-anak muda Mesir menendang-nendang sesuatu yang terbuat dari kulit kambing dan jerami.
Hampir dua ribu tahun kemudian, pada 1882, orang-orang Inggris membuat sepakbola bisa lebih dimengerti oleh orang-orang Mesir. Orang Inggris memperkenalkan sepakbola modern yang lebih sederhana dengan seperangkat aturan main yang juga tidak sulit dipahami. Sejak saat itu, Mesir pun menjadi negara yang menggilai sepakbola.
Kisah itu diceritakan Alaa Al Aswani dalam salah satu artikel yang tayang di New York Times. Menurutnya, orang-orang Mesir menggilai sepakbola seperti orang-orang Perancis menggilai anggur. Saat pertandingan-pertandingan sepakbola dari segala penjuru dunia disiarkan secara langsung melalui televisi, Kairo, ibu kota Mesir, akan terlihat seperti kota hantu. Tidak ada penampakan orang-orang di jalanan, tetapi teriakan bisa tiba-tiba menggema dari dalam sebuah restoran saat sebuah tim mencetak gol kemenangan.
Antusiasme orang-orang Mesir tersebut membuat sepakbola bisa menjadi “senjata ampuh” -- salah satunya -- untuk kepentingan politik. Sayangnya, dalam kepentingan yang dapat menentukan keberlangsungan hidup orang banyak tersebut, sepakbola pernah salah digunakan: salah satu tragedi terbesar dalam sejarah modern Mesir justru terjadi pertandingan sepakbola.
Pada 1 Februari 2012, kerusuhan besar terjadi di Stadion Port Said beberapa saat setelah pertandingan antara al-Masry dan al-Ahly berakhir. Kerusuhan itu menyebabkan 74 orang tewas dan 500 orang luka-luka.
Kerusuhan itu dipicu oleh ulah pendukung al-Masry yang langsung memburu para pendukung al-Ahly setelah pertandingan bubar. Para pendukung al-Masry itu mempersenjatai diri dengan pisau dan tanpa ampun membinasakah puluhan pendukung al-Ahly.
Hani Seddik, pemain al-Ahly, mempertanyakan kejadian kelam itu. Kepada BBC, ia mengatakan: “Bagaimana mungkin mereka diijinkan masuk ke dalam stadion sembari membawa pisau?”
James M. Dorsey, dalam salah satu tulisannya di Alackbar, berpendapat bahwa kejadian itu ternyata ada hubungannya dengan revolusi yang terjadi di Mesir setahun sebelumnya. Saat itu, ultras al-Ahly sangat menentang pemerintahan Hosni Mubarak. Lalu ia menyimpulkan kerusuhan sebagai upaya balas dendam pihak militer kepada ultras al-Ahly.
Setelah kerusuhan tersebut, sepakbola Mesir terus berjalan mundur. Liga dihentikan selama dua tahun. Timnas Mesir, yang pernah delapan kali menjadi juara Piala Afrika, hanya menatap nanar saar tim-tim terbaik asal Afrika berlaga dalam gelaran Piala Afrika tahun 2012, 2013, dan 2015.
Lolos ke Piala Dunia? Itu hanya sebuah nostalgia samar karena mereka terakhir kali melakukannya pada 1990 lalu.
Meski begitu, gairah untuk terus menghidupi sepakbola di Mesir ternyata tak pernah berhenti. Sepakbola tetap dimainkan di lapangan tertutup dan di jalanan. Orang-orang Mesir masih sama antusiasnya saat menonton bola dari depan telvisi. Dan yang paling penting: Mesir masih mampu menelurkan pemain-pemain berbakat pada masa suram tersebut.
Hector Cuper, pelatih timnas Mesir, ingat betul momen tersebut. Saat itu ia mengatakan, “[Di sini] saya menemukan gairah, (gairah) untuk mencintai sepakbola. Saya menemukan pemain-pemain bagus, pemain-pemain muda.”
Dengan gaya bermain yang mengandalkan pertahanan, pelatih yang membawa Valencia lolos ke final Liga Champions musim 2000 dan 2001 itu membimbing sepakbola Mesir bangkit dari puing-puing secara perlahan. Ia memadukan pemain-pemain senior dan pemain-pemain muda berbakat ke dalam timnya. Pada akhirnya, setelah enam tahun, sepakbola kembali membuat Mesir geger. Kali ini dengan cara yang berlawanan daripada sebelumnya, yakni dengan kebahagiaan yang meluap-meluap: Mesir berhasil lolos ke Piala Dunia 2018.
Dan salah satu aktor penting lolosnya Mesir ke Piala Dunia 2018 adalah seorang pemain yang sinarnya mulai benderang beberapa saat setelah tragedi Port Said terjadi: Mohamed Salah.
Mesir akan Berjuang untuk Salah di Piala Dunia 2018
Pada Oktober 2017 lalu, beberapa saat setelah pertandingan antara Mesir dan Kongo berakhir, rakyat Mesir bersuka cita untuk menyambut Piala Dunia 2018.
Beberapa pemain timnas Mesir menari-nari bersama 30.000 orang penonton yang memadati Stadion Militer, Alexandria. Essam El Hadary, kiper Mesir, menangis sambil memeluk salah satu staff pelatih Mesir; jika sehat-sehat saja, ia, yang sudah berusia 45 tahun, akan menjadi pemain paling tua di Piala Dunia 2018.
Di jalanan kota-kota Mesir rakyat Mesir berjejalan. Mobil-mobil membuat jalanan Mesir tampak seperti tempat parkir. Bendera Mesir berkibar di mana-mana.
Pada saat yang bersamaan, Mohamed Salah digendong rekan-rekannya. Kedua tangannya diangkat ke udara. Senyumnya mengembang, sama persis dengan muralnya di salah satu tembok di sudut Kairo. Hari itu, ia mencetak dua gol untuk Mesir. Gol yang mengantarkan Mesir ke Piala Dunia. Gol yang menjadi awal dari segala suka cita.
Tidak hanya karena dua golnya hari itu, Salah memang terlihat seperti membawa Mesir ke Piala Dunia 2018 seorang diri. Mesir memuncaki Grup E kualifikasi Piala Dunia untuk zona Afrika dengan hanya mencetak 8 gol dalam 4 pertandingan. Dan lima gol di antaranya dicetak oleh Salah.
Selain itu, taktik bertahan ala Hector Cuper juga tak akan mampu bekerja tanpa Salah. Bagaimana pun, untuk menang, tim yang bermain bertahan harus mempunyai pemain yang diandalkan saat mereka memiliki kesempatan menyerang. Cuper memilki Salah. Bagi Cuper, Salah seperti Giacinto Fachetti-nya Helenio Herrera di Inter pada era 1960an atau Maradona-nya Carlos Bilardo di Argentina pada Piala Dunia 1986.
Dengan pendekatan seperti itu, Cuper tentu saja terpukul saat Salah mengalamai cedera bahu saat Liverpool menghadapi Real Madrid pada pertandingan final Liga Champions 2018 lalu. Menurut National Health Service, jika salah mengalami dislokasi pada bahunya, ia baru diperkirakan sembuh dalam waktu 12-16 Minggu.
Namun federasi sepakbola Mesir menyatakan bahwa cedera Salah tidak separah itu. Menurut mereka Salah hanya mengalami keseleo pada bahunya. Kabar itu tentu saja membuat penggemar Mesir senang. Terlebih dalam sesi latihan terakhir timnas Mesir menjelang keberangkatannya ke Rusia, meski tidak ikut berlatih bersama rekan-rekannya, Salah hadir di dalam sesi latihan tersebut. Ia bahkan dilaporkan sudah ikut berlatih dalam sesi latihan pada 13 Juni 2018 (baca: Mohamed Salah Sudah Gabung Latihan Timnas Mesir).
"Sekarang kondisi saya lebih baik," kata Salah, dilansir Independent. "Saya berharap bisa tampil di pertandingan pertama (melawan Uruguay), tetapi itu tergantung dengan kondisi saya menjelang pertandingan nanti."
Saat menghadapi Uruguay Juma (15/6/18) nanti, belum ada kepastian bahwa Salah akan bertanding dalam pertandingan tersebut. Jika ia sudah bisa tampil, Mesir akan mendapatkan tambahan tenaga berhaga. Namun bila Salah belum bisa tampil, Mesir akan tetap berjuang demi meraih kemenangan, juga demi Mohamed Salah.
Editor: Aqwam Fiazmi Hanifan