Menuju konten utama

Bunuh Diri: Cara Abdon Porte Mengungkapkan Cinta kepada Klubnya

Sebuah kisah cinta yang dimanifestasikan dengan cara yang memilukan.

Bunuh Diri: Cara Abdon Porte Mengungkapkan Cinta kepada Klubnya
Abdon Porte. FOTO/Istimewa

tirto.id - Charley FC 1 vs 3 Nacional, Liga Primer Uruguay, 4 Maret 1918. Setelah para penggawa Nacional bersukacita merayakan kemenangan atas tuan rumah, sang kapten tim, Abdon Porte, pergi seorang diri ke Estadio Gran Parque Central di Montevideo. Dengan menaiki trem terakhir, ia menuju markas Nacional. Begitu tiba, Porte langsung bergegas menuju titik tengah lapangan. Hanya ada Porte. Sendirian.

Inilah yang terjadi kemudian: selewat tengah malam, sekitar pukul 1 dini hari, Porte mencabut pistol, mengarahkannya ke kepala, dan, dor!

5 Maret 1918, El Indio -- demikian julukannya -- tewas di tengah stadion yang sangat ia cintai.

Dua pucuk surat ditemukan di saku bajunya. Surat pertama bertuliskan permohonan lokasi persemayannya yang terakhir: “Di pemakaman Teja bersama Bolivar dan Carlitos.” Keduanya merupakan para legenda Nacional yang lebih dulu meninggal akibat penyakit cacar.

Surat yang kedua ditujukan kepada presiden sekaligus dokter tim saat itu, Jose Maria Delgado. Isinya:

“Dokter Jose Maria Delgado yang terhormat. Saya meminta Anda dan anggota komisi lainnya untuk membantu keluarga dan ibu saya tercinta. Selamat jalan, teman baik seumur hidup.”

Di bawah tanda tangannya, Porte menambahkan kalimat paling menyayat yang pernah ditorehkan seorang pemain kepada klubnya: “Nacional, hingga jadi debu, saya akan selalu mencintaimu. Saya tak akan pernah lupa bagaimana saya mencintaimu. Selamat tinggal selamanya.”

Berita kematian Porte membuat Uruguay gempar. Bukan hanya karena ia mengakhiri hidup dengan cara yang luar biasa mengejutkan, tetapi juga karena rasa kehilangan yang kuat: Porte bukanlah pemain semenjana. Di usianya yang baru 25 tahun, Porte sudah meraih 19 gelar bersama Nacional dalam enam musim dan bermain sebanyak 207 laga. Ia juga menjadi bagian skuat tim nasional Uruguay ketika memenangi Copa America kedua mereka pada 1917.

Penampilan Porte di atas lapangan juga mumpuni. Posisi alaminya bek tengah, tetapi kerap pula bermain sebagai gelandang bertahan. Luis Scapinachis, salah seorang penulis legendaris Uruguay, mendeskripsikan Porte di dalam buku Gambeteando frente al gol: Anécdotas y relatos deportivosdengan deskripsi begini. "(Porte) merupakan tipikal pemain bertahan dengan gaya bertarung yang tangguh. Bek tengah di periode keemasan sepakbola Uruguay. Tenang di lapangan meski musuh selalu menendangnya hingga kesakitan.”

Berpuluh tahun kemudian, sebagai bentuk penghargaan atas dedikasi dan cinta yang begitu luhung kepada Nacional, salah satu tribun di Estadio Gran Parque Central diberi nama "Abdon Porte Stand". Dan nyaris pada setiap pertandingan penting, spanduk bertuliskan "for Abdón’s Blood" dikibarkan para suporter.

Kematian Porte dalam Konteks Sepakbola Amerika Latin

Melihat usia, kiprah, serta kemampuannya, karier Porte semestinya masih sangat panjang. Terlebih, sebulan sebelum kematiannya, ia baru saja melangsungkan pernikahan. Sepintas tak ada masalah besar yang bisa dimengerti oleh khalayak sebagai pemicu ia menyudahi hidupnya dengan tragis.

Beberapa dugaan menyebutkan, ia bunuh diri karena merasa penampilannya di atas lapangan telah menurun. Sejak awal musim 1918, posisinya digantikan Alfredo Zibechi. Namun ketika Porte memperlihatkan kinerja yang baik dalam pertandingan, ia masih merasa tidak memenuhi ekspektasi yang tersemat di pundaknya.

Menurut Tim Vickery, wartawan Inggris yang dikenal sebagai spesialis sepakbola Amerika Latin, dalam ulasan berjudul "Player’s death was the catalyst for football’s explosion" di World Soccer (05/03/2018), tindakan Porte merupakan efek dari cinta yang begitu besar kepada klubnya. Ia merasa telah mengecewakan Nacional, juga para pendukungnya. Dalam tafsiran yang lebih luas, Vickery menduga menurunnya performa Porte membuatnya berpikir akan tersingkir dari kancah sepakbola Amerika Latin, terutama Uruguay, yang kala itu memang tengah meroket.

Amerika Latin awalnya bukanlah wilayah dengan kultur sepakbola yang kuat. Olahraga tersebut menjadi perhatian serius ketika para imigran Eropa mulai datang ke kota-kota seperti Buenos Aires, Montevideo, Rio de Janeiro, hingga Sao Paulo. Tambah menggeliat sejak klub-klub Inggris seperti Exeter City, misalnya, makin sering tur ke sana.

Dalam perkembangannya, sepakbola di Uruguay menjadi salah profesi baru yang menjanjikan. Terutama sejak Perang Dunia I meletus dan negara-negara Eropa saling sibuk lempar mesiu, klub-klub sepakbola bermunculan di Uruguay, kompetisi diorganisir dengan lebih baik, pemain-pemain potensial pun bermunculan. Diperkaya oleh bakat-bakat alamiah, sepakbola Uruguay pun melesat sebagai kekuatan dominan tak hanya di Amerika Latin, tapi juga dunia.

Uruguay selalu menjuarai Copa America dari 1916, 1917, 1920, 1923, 1924, hingga 1926. Pada 1924 dan 1928, mereka meraih medali emas cabang sepakbola di Olimpiade. Sementara pada 1930, Uruguay menjadi negara pertama yang memenangi Piala Dunia -- saat itu masih bernama Piala Jules Rimet.

Bunuh Diri: Jawaban Para Pesepakbola Pengidap Depresi

Porte merupakan pesepakbola pertama yang tercatat tewas bunuh diri, tetapi bukan yang terakhir. Sederet pesepakbola pernah menjemput kematian seperti Porte.

Ernest King atau yang biasa dijuluki "Syd" King, misalnya, merupakan figur penting ketika West Ham United baru berdiri. Karier manajerialnya lebih apik ketimbang saat masih menjadi pemain. Di bawah kepelatihan King, West Ham berhasil mencapai final piala FA pertama mereka pada 1922. Kendati kalah dari Bolton Wanderers di final, West Ham berhasil naik ke divisi primer Liga Inggris setelah menempati posisi runner up di divisi dua.

Seiring perjalanan, karier King lebih banyak terlibat masalah daripada prestasi. Mulai dari kecanduan alkohol hingga terciduk korupsi dana klub. Pada 1933, semusim setelah West Ham terdegradasi dan sebulan setelah King dipecat oleh klub, ia mengakhiri nyawanya dengan menenggak alkohol yang dicampur cairan korosif.

Selain Porte dan King, masih ada Dale Roberts. Bekas pemain Nottingham Forest, Sunderland, dan Middlesbrough ini memilih bunuh diri setelah mengetahui tunangannya terlibat skandal perselingkuhan dengan rekannya sendiri, Paul Terry, kakak John Terry.

Justin Fashanu merupakan pesepakbola yang juga memutuskan bunuh diri. Fashanu, anak seorang Nigeria yang lahir di Hackney, London, 19 Februari 1961, merupakan pesepakbola berbakat pada masanya. Ia bahkan menjadi pemain kulit hitam Inggris pertama yang memiliki rekor transfer hingga £1 juta pounds saat diboyong Nottingham Forest dari Norwich City. Gol spektakuler Fashanu ke gawang Liverpool pada musim 1980/1981 ditahbiskan sebagai BBC Goal of The Season.

Depresi Fashanu dimulai ketika rumor tentang orientasi seksualnya mulai mencuat. Brian Clough, pelatih Forest kala itu, turut menghardiknya karena sering berkunjung ke tempat hiburan malam kaum gay. Rekan-rekan setim Fashanu juga kerap mengejek, hingga mengintimidasi. Situasi makin pahit bagi Fashanu ketika pada 1990 ia mengumumkan orientasi seksualnya saat diwawancarai The Sun.

Delapan tahun berselang, tepatnya Maret 1998, Fashanu dituduh melakukan pelecehan seksual kepada laki-laki berusia 17 Tahun. Ia tidak ditahan. Pada 3 Mei 1998, Fashanu ditemukan gantung diri di garasi rumahnya di kawasan Shoreditch London.

Infografik abdon porte

Seperti Porte, Fashuanu juga meninggalkan surat. Begini isinya:

“Menjadi gay secara terbuka itu sangat sulit, tetapi semua orang punya kesulitannya masing-masing, jadi aku tak dapat mengeluh tentang itu. Saya ingin mengatakan bahwa saya tidak melecehkan secara seksual anak muda itu. Dia mengajak saya berhubungan seks dan keesokan harinya, dia meminta uang. Ketika saya bilang tidak, dia mengatakan, ‘tunggu kau nanti’. Saya tahu apa yang kalian katakan, jika benar demikian, mengapa saya kabur? Yah, keadilan tidak selalu adil. Saya merasa tidak mendapatkan pengadilan yang layak karena aku seorang homoseksual.”

Kelak, beberapa tahun setelah Fashanu tewas, Juliet Jacques, jurnalis The Guardian yang juga seorang suporter fanatik Norwich, mengenang gol tersebut di dalam esainya yang berjudul “The Meaning of the Goal”. Ia menyebut Fashanu sebagai "harapan cemerlang yang dihancurkan oleh hal-hal di luar lapangan hingga level yang tak dialami oleh orang-orang di zamannya".

Kasus terakhir pesepakbola bunuh diri dialami Gary Speed di ujung November 2011. Setelah diundang ke studio BBC sebagai pandit untuk program Football Focus, Speed bersama Alan Shearer pergi menyaksikan bekas timnya, Newcastle United, menghadapi Manchester United di Old Trafford. Pertandingan pun usai pukul lima sore, lalu Speed pulang ke rumahnya di Cheshire. Keesokan harinya, ia ditemukan sang istri, Louise, gantung diri di garasi rumahnya. Speed diduga bunuh diri karena masalah keluarga.

Hingga saat ini, tercatat 72 pesepakbola tewas bunuh diri. Nyaris dari kesemuanya dapat ditarik benang merah: akibat depresi.

Sepakbola yang Menuntut (Terlalu) Banyak

Banyak pengampunan yang diberikan usai kegagalan yang pahit, tetapi sepakbola memuat banyak cerita tentang kegagalan yang ditimpakan hanya pada seseorang sebagai biang kerok abadi.

Setelah Kamerun tersingkir dari fase grup di Piala Dunia 1994, segelintir orang fanatik membakar habis rumah Joseph Bell, kiper tim nasional mereka saat itu, yang didakwa sebagai biang kerok kegagalan. Di lapangan terbang Ezeiza pada 1958, orang-orang melemparkan uang recehan ke para pemain Agentina yang kembali dari penampilan buruknya di Piala Dunia di Swedia. Pada Piala Dunia 1982, hidup Carlos Caszely tak lagi sama setelah gagal melakukan tendangan penalti pada Piala Dunia 1982. Sampai matinya, Moacir Barbosa terus dianggap berdosa oleh publik Brazil karena gagal menghadang tendangan Alcides Ghiggia yang membuat Uruguay menjuarai Piala Dunia 1950 di Maracana.

Nama-nama yang sudah disebutkan sepanjang tulisan ini menjadi bukti betapa sepakbola seringkali begitu banyak menuntut. Kadang kala tuntutan itu terlalu berlebihan, bahkan tak masuk akal. Bukankah iman memang demikian?

Namun, berbeda dengan iman dalam pemahaman agama yang kadang berganti atau ditinggalkan pemeluknya, di dalam sepakbola, iman adalah kepatuhan tanpa limit. Inilah satu-satunya agama yang, menurut Eduardo Galeno, "tak kenal ateis".

Dalam esai berjudul "The Fan", yang terlampir dalam buku Soccer In Sun And Shadow, Eduardo Galeno dengan yakin menulis: "Seminggu sekali, penggemar melarikan diri dari rumahnya dan pergi ke stadion. ... Kota seperti lenyap, rutinitasnya terlupakan, yang ada hanyalah kuil [stadion]. Di tempat suci ini, satu-satunya agama tanpa ateis menempatkan dewa-dewanya di layar. Meski para penggemar dapat merenungkan keajaiban di TV dengan lebih nyaman, mereka lebih suka berziarah di sini, tempat yang memperlihatkan para malaikat bertarung dengan para iblis."

Galeano seringkali terdengar berlebihan. Namun cara Porte mengakhiri hidup memberi sedikit petunjuk: sepakbola kadang memang seserius itu!

=======

Depresi bukanlah persoalan sepele. Jika Anda merasakan tendensi untuk melakukan bunuh diri, atau melihat teman atau kerabat yang memperlihatkan tendensi tersebut, amat disarankan untuk menghubungi dan berdiskusi dengan pihak terkait, seperti psikolog atau psikiater, maupun klinik kesehatan jiwa.

Baca juga artikel terkait BUNUH DIRI atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Olahraga
Reporter: Eddward S Kennedy
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Zen RS