Menuju konten utama

Red Star Paris: Klub Sepakbola Kiri di Tengah Arus Komersialisasi

Mereka boleh saja dianggap jadi klub bola yang kecil. Tapi, mimpi mereka besar dan melampaui segala batasan-batasan klise dalam sepakbola.

Red Star Paris: Klub Sepakbola Kiri di Tengah Arus Komersialisasi
Sekou Keita mengenakan jersey kandang Red Star Paris FC dengan Vice sebagai sponsor utama. Twitter/@RedStarFC

tirto.id - Paris, ibu kota Perancis yang romantis itu, punya riwayat panjang tentang segala hal yang berbau sepakbola. Lupakan sejenak kenangan dua dekade silam ketika kota seluas 105,4 km persegi ini jadi saksi bagaimana Zinedine Zidane dan konco-konco-nya menghancurkan jogo bonito Brazil pada final Piala Dunia 1998 dengan skor mencolok—tiga gol tanpa balas. Juga bagaimana Paris memberikan kesempatan kepada F.C. Barcelona untuk mengangkat trofi Kuping Besar dengan mengalahkan Arsenal sebelas tahun silam.

Atensi publik terhadap sepakbola Paris—atau Perancis—semakin menggeliat dalam beberapa tahun terakhir. Orang-orang kaya dari Timur Tengah yang hidup dari ekspor minyak menyuntikkan dana luar biasa besar—dan tak masuk akal—untuk Paris Saint-Germain (PSG), klub ternama dari kota berpenduduk 2.167.994 itu.

Dengan dana bejibun, para taipan minyak itu hendak membangun tim jawara yang berambisi menguasai jagat sepakbola dunia. Sebuah ambisi yang terinspirasi dari proyek Los Galacticos ala Florentino Perez semasa memimpin Real Madrid.

Dari situ, Paris kemudian jadi destinasi baru dan tempat cari duit bagi pesepakbola kelas wahid. Mulai David Beckham, Thiago Silva, Zlatan Ibrahimovic, hingga yang terbaru adalah mahabintang asal Brazil, Neymar, yang dibeli dari Barcelona seharga $263 juta atau senilai Rp3,1 triliun dan menjadikannya pemain bal-balan termahal di muka bumi.

Maka, tak heran apabila media, publik, hingga penggemar bola memusatkan perhatiannya ke PSG guna melihat sepak terjang mereka sembari menunggu kejutan apa lagi yang bakal disajikan klub ini.

Yang tidak banyak diketahui orang, Paris sebenarnya tumbuh dengan banyak klub sepakbola di dalamnya. Dari kelas kroco yang amatiran sampai klub-klub profesional yang berlaga di papan atas; dari yang masih eksis maupun sudah karam ditelan zaman seperti, Athletic Club de Boulogne-Billancourt, FCM Aubervilliers, Club Francais, Gallia Club Paris, Paris FC, Maccabi Paris, The White Rovers, hingga US Suisse Paris.

Namun, di antara nama-nama itu, terselip satu klub yang kaya akan sejarah, menjunjung tinggi nilai-nilai adiluhung sepakbola, serta jadi paguyuban bola tertua di Paris. Klub ini bernama Red Star Football Club atau dikenal juga dengan Red Star Paris.

Dibentuk Anak-Anak Muda

Red Star dibentuk pada 1897 di Paris oleh Jules Rimet, pemuda 24 tahun putra pemilik toko kelontong yang memulai karier sebagai pengacara tapi banting setir mengurusi sepakbola. Kelak, ia terpilih sebagai Presiden FIFA dan menjadi inisiator lahirnya Piala Dunia. Rimet punya latar belakang bermain anggar serta lari. Namun, hatinya tertancap pada sepakbola. Sebab ia percaya bahwa dengan sepakbola, dunia dapat disatukan.

Pemikiran itu lantas dituangkan Rimet dengan membentuk Red Star. Di klub bikinannya ini, Rimet menolak mendiskriminasi anggotanya berdasarkan kelas. Bagi Rimet, semua orang berhak untuk berkontribusi kepada klub.

Tak perlu waktu lama bagi Red Star menarik minat masyarakat Paris (terutama kelas pekerja sayap kiri) untuk bergabung dalam klub. Alasan mereka bergabung sejalan dengan pemikiran Rimet ditambah lagi logo serta nama Red Star identik akan komunisme—kendati pada kenyataannya, inspirasi simbol Red Star berasal dari pengasuh Inggris-nya semasa kecil, Miss Jenny.

Mark Godfrey dalam “Red Star: The Oldest, Hippest, and Most Political Football Club in Paris” yang dipublikasikan The Guardian mengatakan, koneksi klub dengan kelas pekerja sayap kiri semakin kuat kala Nazi mengeksekusi Rino Della Negra, putra imigran Italia sekaligus anggota Red Star dan kelompok pembebasan Manouchian, pada 1944.

Dalam surat terakhir yang diberikan kepada saudaranya, Della Negra menulis: “Halo dan selamat tinggal untuk Red Star.” Kisah perjuangan serta pengorbanan itu kemudian menjadi simbol relasi Red Star dengan kelompok sayap kiri.

Sepak terjang Red Star dimulai dengan bergabung dalam divisi tiga liga Union des Sociétés Françaises des Sports Athlétiques pada 1898. Enam tahun berselang, Red Star naik ke divisi pertama dan mengubah namanya menjadi Red Star Amical Club selepas menggabungkan diri bersama Amical Football Club. Sepanjang waktu itu, Red Star bermain di Grenelle selama tiga tahun sebelum pindah ke Saint-Ouen, wilayah suburban di utara Paris, sampai sekarang.

Masa jaya Red Star terjadi pada 1920-an ketika Rimet sudah menjabat sebagai orang nomor satu di FIFA. Di masa ini, mereka memenangkan empat gelar Coupe de France. Kejayaan tersebut menuntun pada bergabungnya Red Star bersama klub Perancis lainnya macam Nice, Rennes, sampai Sochaux untuk membentuk kompetisi tingkat utama, Divisi 1 Perancis—cikal bakal Ligue 1 saat ini. Tapi, kerasnya persaingan kompetisi di level tertinggi membuat Red Star tertatih-tatih dan berkali-kali terdegradasi ke divisi bawah.

Keadaan serupa juga terjadi setelah Perang Dunia II. Seperti dicatat James Robinson dalam “Red Star Paris: The Other Parisian Club” yang terbit di These Football Times, Red Star bolak-balik berlaga di lima kasta sepakbola Perancis selama kurun waktu 30 tahun terakhir serta belum pernah memenangkan trofi besar sejak 1942. Tim ini bahkan sempat turun hingga divisi keenam Perancis dan terancam bangkrut pada 2003.

Memasuki 2006, Red Star perlahan bangkit. Dari divisi enam, mereka naik ke divisi empat sampai 2011, hingga akhirnya bercokol di Ligue 2 pada 2015. Berlaganya mereka di Ligue 2 mendatangkan konsekuensi lain: Red Star tidak bisa memainkan pertandingan di Stade Bauer karena berdasarkan regulasi markas mereka ini dianggap tidak layak. Hasilnya, Red Star harus jadi tim eksil dengan memainkan tiap laga mereka di Beauvais.

Guna mengatasi situasi itu, Patrice Haddad, presiden klub sejak 2008 yang juga sineas Perancis, mengusulkan rencana pembangunan stadion baru senilai €200 juta. Namun, rencana tersebut ditentang para fans. Mereka beranggapan, membangun stadion baru sama saja dengan menghilangkan Stade Bauer sebagai identitas klub.

Rencana tersebut memang urung terealisasi. Selain karena penolakan keras dari fans, Red Star juga terdegradasi dari kompetisi Ligue 2 di akhir musim 2015-2016.

Infografik Red Star FC

Langkah Kreatif Memajukan Klub

Pembangunan stadion baru hanya secuil langkah terobosan Haddad ketika duduk di kursi presiden Red Star. Beberapa keputusan lainnya yang pernah diambil Haddad ialah menunjuk David Bellion, mantan penyerang Manchester United, untuk menjadi Direktur Kreatif Red Star. Kerja Direktur Kreatif yakni membangun hubungan antara Red Star dengan dunia budaya, seni, dan gaya hidup.

“Red Star adalah klub bola underground, romantis, dan populer di mana dalam klub ini sama sekali tidak ada status sosial. Orang-orang suka dengan Red Star karena klub ini masih punya sejarah yang panjang. Red Star tidak dibangun hanya untuk kemenangan dan kemenangan. Red Star adalah simbol kebebasan dan kreativitas. Tidak banyak klub seperti kami,” ujarnya seperti dilansir The Guardian.

David lalu merealisasikan ide-ide di kepalanya lewat beragam cara. Ia mengadakan Red Star Lab yang bertujuan untuk mengedukasi anak-anak akademi Red Star dalam bidang fotografi, jurnalistik, memasak, sampai menari; bekerjasama dengan studio fesyen, Racket Paris, untuk mendesain jersey Red Star; meminta bantuan Hotel Radio Paris dan Airplane Mode V1 guna menyusun musik di berbagai acara maupun pertandingan Red Star; hingga meneken kontrak sponsor dengan media hipster asal Kanada, VICE, di musim 2017-2018.

“Kami memiliki pendukung paling unik. Mereka benar-benar terlibat secara sosial, membantu orang-orang dalam kesulitan. Ya, mereka aktif secara politik—dalam artian kegiatan politik mereka ditujukan untuk menumbuhkan toleransi terhadap semua orang. Dan, yang terpenting mereka menyanyi dan mendukung para pemain tidak peduli berapapun skornya. Itu sangat tidak biasa di Perancis,” tambah David.

Apa yang dilakukan manajemen Red Star dengan langkah-langkah yang dekat dengan para fans itu membuat stadion, di tiap akhir pekan, makin ramai dipadati penonton. Tak sebatas mereka yang suka sepakbola, melainkan dari berbagai lapisan masyarakat. Anak-anak, keluarga, perempuan, imigran, dan lainnya berkumpul di satu lokasi untuk menyaksikan bagaimana sepakbola bukan semata olahraga tapi juga perihal keberagaman serta kebersamaan sosial.

“[…] Kita harus berbeda dan jadi alternatif! Janji kami adalah mewujudkan klub sepakbola seperti St. Pauli di Jerman dan beberapa klub Argentina dan Brazil. Kami harus menjaga tujuan bahwa Red Star adalah klub yang terbuka, humanis, populer, dan anti-rasis,” tegas sang presiden klub, Haddad. “Toleransi dan anti-diskriminasi adalah basis kami. Di Bauer, kami menyambut semua orang.”

Mimpi dan Idealisme di Tengah Komersialisasi

Dari Red Star kita bisa belajar bahwa di tengah gempuran komersialisasi sepakbola dengan segala pundi-pundi uang dan target keuntungan, masih ada klub yang hidup dari mimpi sederhana. Sepakbola, sekali lagi, bukan cuma soal kepuasan mengangkat piala dan meraih kemenangan.

Sepakbola, dalam perspektif Red Star, merupakan perwujudan sikap hidup yang menjunjung tinggi integritas, keberagaman, serta menentang keras segala bentuk pemisahan-pemisahan yang didasarkan pada ras, suku, agama, atau dari mana kita berasal.

“Red Star punya integritas dan para penggemar menghargai nilai-nilai sejati sepakbola. Kamu tidak mendukung untuk Red Star untuk menjadi glory hunter,” ujar John Hanson, fans Red Star sejak 1996 kepada BBC.

Saat ini, Red Star Paris duduk di puncak klasemen sementara divisi tiga. Harapan untuk promosi ke level atas begitu terbuka lebar. Namun, yang paling penting, prestasi besar Red Star bukanlah berjaya di kompetisi sepakbola Perancis, tapi mempertahankan mimpi Jules Rimet 121 tahun silam: sebuah klub yang menyatukan perbedaan dan memandang sepakbola lebih dari adu fisik-taktik-teknik 22 orang.

Red Star berhasil melakukannya.

Baca juga artikel terkait LIGA PRANCIS atau tulisan lainnya dari M Faisal

tirto.id - Olahraga
Reporter: M Faisal
Penulis: M Faisal
Editor: Ivan Aulia Ahsan