tirto.id - Pada zaman Cleopatra berjaya di Mesir, negara tersebut pernah dipandang sebagai tempat yang memberi kebebasan bagi para wanita. Makalah "How Knowledge of Ancient Egyptian Women Can Influence Today’s Gender Role: Does History Matter in Gender Psychology?” mengungkap bahwa dari sisi pendidikan, peradaban Mesir kuno punya 100 wanita yang ahli di bidang farmasi. Pada masa itu sejak kecil wanita dilatih untuk mempelajari ilmu ilmu pasti dan geometri. Kebebasan ini juga bermuara pada pilihan karier lain.
Banyak wanita era Mesir kuno yang bekerja sebagai pembuat wig. Bahkan di masa itu, wig adalah benda penting yang kerap dipakai wanita kerajaan saat menghadiri berbagai acara. Tujuan utamanya, antara lain, untuk menutup uban. Biasanya wig dihiasi dengan aksesori yang menandakan status sosial penggunanya. Tak jarang, wig memperlihatkan jenis rambut berombak atau keriting.
Jika dulu rambut keriting maupun berombak dianggap biasa saja, justru itu tak terjadi di Mesir era kiwari. Para wanita Mesir sekarang harus berani dan punya tekad kuat untuk tampil dengan rambut keriting. Beberapa hari lalu BBC menulis berita tentang Eman El-Deeb, wanita 26 tahun yang pindah dari Mesir karena sudah tidak tahan terhadap ejekan yang ditujukan padanya terkait rambut keritingnya. Di Mesir ia sempat bekerja di sebuah bank. Setiap hari salah satu kolega mengimbau Eman untuk meluruskan rambut. Buat Eman, perkataan si rekan kerja bukan hal sepele.
Eman memutuskan pindah ke Spanyol. Di negara tersebut, rambutnya dipuja. Ia bukan satu-satunya wanita Mesir yang menderita karena rambut. Kaum milenial Mesir beranggapan negara tersebut masih berpegang pada standar kecantikan ras Kaukasia sehingga rambut keriting kurang dihargai meski itu adalah jenis rambut asli masyarakat Mesir. Hal itu membuat rambut keriting punya citra negatif.
"Keputusan untuk pindah itu bikin sedih. Aku tak pernah membayangkan akan pindah dari Mesir. Tapi aku lelah. Aku sudah mencapai titik, aku ingin hidup damai di tempat yang tak terganggu oleh penampilanku," kata Eman.
Pihak pertama yang merasa kurang nyaman dengan pandangan masyarakat terhadap rambut keriting ialah para orangtua. Egyptian Streets pernah memuat pengalaman Nehal Emeligy. Saat anak-anak, ia punya ritual sebelum tidur. Sang ibu akan me-roll rambut Emeligy dan menyuruhnya tidur dalam kondisi kepala penuh roll rambut.
"Tak pernah ada yang bicara blak-blakan soal penampilanmu. Tapi adanya usaha untuk mengubah sesuatu dalam diri, itu memberi pesan bahwa kamu tak bisa tampil apa adanya. Karena itu pula, saya jadi beranggapan bahwa makin lurus rambut, itu makin baik," ujar Nehal yang sering dibawa ke salon untuk meluruskan rambut.
Karena tekanan sosial itu, para pemilik rambut keriting juga mempraktikkan sejumlah siasat agar terhindar dari ejekan. Caranya beragam, mulai dari menggunakan minyak zaitun setiap minggu agar rambut terlihat lebih teratur, sampai menggunakan berbagai produk pelurus rambut.
Datang ke salon tidak selalu jadi pilihan baik. Para pekerja di salon tak segan melontarkan komentar tidak menyenangkan saat melihat rambut pelanggan yang keriting. Terlebih apabila jenis keriting yang disebut gaya rambut afro. Para pemilik jenis rambut ini kerap mengeluh karena pekerja salon terkesan menata rambut dengan asal-asalan. Selain menghasilkan model rambut yang tidak maksimal, perbuatan para penata rambut juga membuat si pelanggan menangis.
“Saya tidak pernah menemukan penata rambut di Kairo yang dengan senang hati menggunting dan menata rambut asli saya. Mereka tidak tahu caranya. Setiap orang diprogram untuk meluruskan rambut. Saya tetap menerima reaksi yang buruk dari orang-orang yang melihat rambut saya,” kata Nour Ibrahim dalam Egypt Today.
Orang-orang di sekitar Ibrahim menjulukinya kishin, yang artinya keras dan rusak. Perkataan itu justru sering diucapkan anggota keluarga dan penata rambut. Pada usia 12 tahun, sang ibu memberinya hair dryer, alat catok rambut, dan berbagai produk pelurus rambut. Setiap hari ia menggunakan berbagai produk tersebut
“Saya tidak memiliki rambut orang kulit putih dan hal itu membuat saya merasa jelek. Butuh waktu bertahun-tahun untuk bebas dari konsep kecantikan ideal wanita Eropa,” lanjutnya. Pada usia 16 tahun Ibrahim berhenti menggunakan seluruh produk tersebut dan mulai menumbuhkan rambut aslinya. Ia tak ingin terus terjerat dalam penggunaan produk-produk mahal dan ingin menunjukkan kecantikan asli wanita Mesir.
Beberapa kasus diskriminasi ini membuat Doaa Gawish mendirikan komunitas daring Hair Addict di media sosial Facebook. Ia juga merupakan korban ejekan bentuk rambut. Komunitas ini bertujuan sebagai kelompok dukungan bagi para korban perisakan lain. Mereka juga ingin memotivasi para anggota untuk merawat bentuk asli rambut.
Di Mesir, harapan-harapan ini tersemai perlahan. Semisal adanya salon seperti The Curly Studio, yang dikhususkan untuk wanita berambut keriting. Egypt Today mengisahkan bahwa salon tersebut hendak membebaskan tamunya dari produk-produk berbahan kimia dan panasnya peralatan kecantikan yang biasa digunakan untuk meluruskan rambut.
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Nuran Wibisono