Menuju konten utama

Gaya Rambut Kepang Zendaya yang Tak Pernah Lekang

Gaya rambut sebagai simbol kerukunan, tanda kesiapan menuju perang, dan sekarang menjadi salah satu pengingat pada akar nenek moyang sekaligus menjadi gaya mode.

Gaya Rambut Kepang Zendaya yang Tak Pernah Lekang
Ilustrasi trend rambut kepang. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - London Fashion Week 2018 berakhir beberapa hari lalu. Zendaya, penyanyi dan aktris pendatang baru, menjadi sorotan media saat acara itu berlangsung. Pada peragaan busana koleksi Burberry, rumah mode Inggris, ia menempati kursi paling depan. Media massa menyorot gaya rambut kepangnya hari itu.

Menurut pengamatan Vogue, Zendaya adalah salah satu selebritas yang gemar mengeksplorasi gaya rambut. Meski demikian gaya rambut kepang cornrow, istilah bagi model kepang kecil-kecil yang menempel di kulit kepala, menjadi salah satu gaya rambut yang kerap ia gunakan saat menghadiri perhelatan mode dan acara besar lain.

“Zendaya menunjukkan bahwa gaya kepang cornrow yang sesuai dengan budayanya bisa dipakai di segala situasi. Ia menggali potensi tekstur asli rambutnya dan membuktikan bahwa rambut lurus bukanlah standar,” tulis Vogue.

Artikel History of Cornrow Braiding menyebut kepang cornrow pertama kali ditemukan pada sebuah patung tanah liat yang dibuat pada zaman peradaban Nok di Nigeria, sekitar 500 Sebelum Masehi. Model rambut cornrow menjadi jenis kepang tertua di Afrika. Setelahnya muncul beberapa variasi kepang. Pada zaman lampau, gaya rambut kepang di Afrika membawa berbagai makna.

Kepang menjadi penanda bagi wanita yang memasuki masa puber, para pria yang yang menyambut masa dewasa muda, dan wanita yang berniat menarik hati calon pasangan. The Conversation menulis wanita yang berasal dari Madagaskar akan meminta tolong saudari iparnya untuk mengepang rambut sebagai simbol kuatnya ikatan pernikahan dalam keluarga.

Kepang cornrow menjadi tradisi yang diturunkan dalam keluarga. Oleh karena itu jenis kepang ini terbawa ke daerah lain seiring terjadinya perpindahan orang-orang Afrika ke benua lain. Gaya rambut ini juga menjadi lebih dikenal saat hip-hop muncul ke permukaan. Saat ini, gaya cornrow telah menjadi bagian dari budaya populer dan ditiru para selebritas non Afrika seperti Kim Kardashian, Kendall dan Kylie Jenner, dan Cara Delevigne.

Cornrow ialah salah satu cara kami untuk terkoneksi dengan tanah kami yang telah hilang,” kata Michaela Angela Davis , kritikus budaya dan penulis di kota New York.

Namun, tidak semua pihak bisa menerima tren ini. Dalam artikel "Braid Rage: Is Cultural Appropriation Harmless Borrowing or a Damaging Act?", Jennifer Whitney, dosen Universitas Cardiff menyatakan adanya kontras antara crownrow yang dikenakan selebriti dengan yang dikenakan oleh orang Afrika di Amerika Serikat. Artikel itu mengutip Teen Vogue yang menganggap adanya perlakuan berbeda terhadap pengguna gaya rambut ini.

"Ketika Kylie Jenner mengenakan cornrow, hal itu dianggap edgy dan keren. Namun saat orang kulit hitam memakai gaya itu, mereka diminta keluar kelas dan tak mendapat pekerjaan," tulis artikel itu.

Sebetulnya Amerika juga punya asal usul kepang tersendiri, seperti yang dipakai oleh para penduduk asli Amerika. Ace of Braids menulis kepang digunakan oleh wanita penduduk asli Amerika pada hari pernikahan mereka. Sementara para pria mengepang rambutnya untuk mempersiapkan diri secara fisik dan spiritual saat hendak pergi berperang.

Kini, para pria native American berusaha untuk mempertahankan tradisi kepang. Michael Linklater, pria keturunan suku asli Amerika menggagas gerakan #BoysWithBraids untuk mempertahankan tradisi kepang. Baginya kepang adalah sebuah cara untuk menghargai para leluhur dan budaya. Michael membiarkan rambutnya tumbuh panjang sejak anak-anak.

Ia kerap menjadi sasaran risak di sekolah. Ia punya teman-teman senasib sependeritaan. Oleh karena itu ia yakin untuk membuat gerakan ini. Salah satu kawannya, Daniel Garcia berkata, “Kepang ialah salah satu cara untuk mendekatkan diri dengan anak laki-laki saya. Saat mengepang, saya mengungkap doa dan syukur,” katanya.

infografik tren kepang

Selain di Afrika dan Amerika, benua Eropa dan Asia juga punya cerita tentang kepang. Ace of Braids menulis bahwa di Eropa, kepang digunakan sebagai salah satu cara untuk menjaga kebersihan rambut. Kepang populer pada abad pertengahan.

Di masa itu, wanita dilarang menggerai rambutnya di muka publik. Para wanita lantas membelah rambutnya menjadi dua bagian dan mengepangnya. Kepang itu lantas ditutup oleh hiasan rambut serupa hairnet dekoratif. Hiasan pada hairnet menandakan status sosial pemakainya. Hiasan ini biasanya berasal dari emas, mutiara, dan beragam jenis batu.

Di dataran Asia, kepang dianggap muncul dari budaya Mongol sejak abad ke-13. Kepang adalah elemen dekorasi dari hiasan rambut anggota Kerajaan Mongol, tak hanya digunakan oleh kaum perempuan, tapi juga kaum pria. Bentuk rambut yang ada saat itu serupa tanduk besar di kedua sisi kepala yang bagi mereka mengingatkan pada sosok makhluk mistis. Sampai kini, wanita Mongol masih membuat jenis hiasan rambut tersebut.

Kepang juga muncul di masyarakat Tiongkok pada dinasti Tang. Di zaman tersebut kepang menjadi gaya rambut para pria. Pada wanita Tiongkok, kepang menjadi gaya rambut perempuan di bawah usia 15 tahun. Pada 1950an gaya kepang bukan jadi hal populer. Saat itu wanita diimbau untuk memotong pendek rambutnya sebagai bukti bahwa mereka ikut dalam gerakan sosial melawan rezim yang sudah lama berkuasa.

Kepang di Panggung Mode

Gaya rambut kepang memang tak pernah hilang. Di 2018 ini label fesyen seperti Vivienne Westwood, Jill Sander, Delpozo, Philip Lim, dan Naeem Khan memunculkan kembali gaya rambut kepang saat mereka melansir koleksi busana untuk musim semi 2018 di ajang pekan mode.

Modelnya merupakan modifikasi dari gaya kepang di berbagai negara yang telah disebut pada bagian awal tulisan. Bagi sosok yang berprofesi sebagai penata gaya rambut, model rambut yang disematkan pada model fesyen itu turut menandakan tren sepanjang tahun ini.

“Kepang itu salah satu gaya rambut yang selalu muncul kembali. Karena itu saya gemar melakukan variasi pada gaya rambut ini. Jenisnya saja sudah ada beberapa seperti kepang tunggal, kepang variasi dengan ukuran berbeda, kepang longgar, kepang Afrika, Frech Braid, Dutch Braid, dan kepang messy (gaya kepang tidak rapi seperti para model yang ada di pekan mode) yang tahun ini sedang diminati,” tutur Qiqi Franky, penata rias wajah dan rambut yang telah berkarya selama 20 tahun.

Sepuluh tahun terakhir Qiqi bertugas sebagai Consultant & Director of Makeup & Hairdo Jakarta Fashion Week. Tugas itu mengharuskan Qiqi mengamati tren rambut global. Kini ia tengah mengeksplorasi tren rambut, salah satunya kepang untuk diaplikasikan pada para klien. Kliennya ialah individu yang hendak menikah, majalah-majalah mode, pemilik agen model, serta berbagai perusahaan yang membutuhkan penata rias untuk keperluan iklan.

“Salah satu buku yang jadi pedoman ialah Hair by Decade. Dari buku tersebut saya melakukan eksplorasi model kepang. Buat saya, kepang adalah salah satu gaya rambut yang bisa diaplikasikan di segala usia dan segala situasi."

"Tahun ini teknik kepang dari bawah ke atas jadi salah satu hal yang saya eksplorasi. Lantas saya juga mengeksplorasi teknik double flower braid yaitu gaya kepang yang kemudian digulung sehingga timbul efek seperti bunga. Ada pula teknik curly braid. Rambut dikeriting terlebih dahulu kemudian dikepang dua dan kemudian disatukan. Untuk teknik yang satu ini saya terinspirasi dari tokoh Pocahontas,” lanjut Qiqi yang juga mengambil inspirasi dari penata gaya rambut di berbagai negara.

Untuk pemotretan dalam majalah mode ia pernah menciptakan kepang yang disebutnya avant garde . Istilahnya ini terinspirasi oleh gaya rambut wanita Mongolia. Tentu ia tambahkan dengan modifikasi karena baginya menata rambut sama seperti karya seni, butuh inovasi dan eksplorasi diri. Kini Qiqi tengah mempersiapkan koleksi rambut yang akan ia bawa di panggung mode Jakarta.

Baca juga artikel terkait GAYA RAMBUT atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Joan Aurelia
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Nuran Wibisono