tirto.id - Di tengah perbincanganku dengan seorang teman laki-laki, terdengar notifikasi dari ponselnya. “Sebentar, pacar gue [mengirim] Whatsapp,” ucap temanku, yang kemudian mengetik sambil mengernyitkan dahi dan sesekali berdecak.
“Lagi PMS nih dia,” ujarnya tak lama berselang, merujuk pada premenstrual syndrome, kumpulan gejala psikis dan fisik pada perempuan menjelang menstruasi.
Kali lain, saat aku makan bersama dua kawan dekat perempuan, salah satunya berceloteh soal kekasihnya. Di tengah-tengah cerita, ia berujar “…mana gue lagi PMS...jadi pas dia ngomong gitu, gue langsung nangis.”
PMS acapkali dilekatkan dengan kondisi emosional seorang perempuan, baik oleh perempuan itu sendiri maupun laki-laki.
Sudah sering sejumlah sumber informasi medis membahas pengaruh PMS terhadap kondisi perempuan menjelang menstruasi.
Menurut MayoClinic, selain perubahan mood, PMS juga mencakup gejala-gejala psikis dan fisik lain seperti penurunan konsentrasi, perasaan tegang atau cemas, perubahan nafsu makan, nyeri otot atau payudara, kembung, gampang letih, sakit kepala, penambahan cairan dalam tubuh, konstipasi atau diare, sampai kemunculan jerawat.
Gejala di atas bisa timbul karena perubahan level hormon progesteron dan estrogen seusai ovulasi sampai hari pertama menstruasi berikutnya (sekitar minggu ketiga dan keempat siklus).
Tingkat ketidaknyamanan atau nyeri yang diderita saat PMS pun berbeda-beda. Kondisi PMS akut dikenal sebagai premenstrual dysphoric disorder (PMDD).
Dikutip dari WebMD, perubahan mood dan fisik yang kamu alami bisa dikategorikan PMS apabila gejalanya timbul sebelum menstruasi secara rutin, bukan di periode lain.
Kamu juga bisa disebut lagi PMS apabila sedang tidak mengonsumsi obat-obatan atau alkohol, atau punya kondisi medis lain, yang berpotensi juga mempengaruhi mood dan fisikmu.
Kondisi mood perempuan yang memburuk memang sebuah fakta ilmiah, namun di lain sisi, keyakinan dan generalisasi tentang hal tersebut melahirkan label bahwa perempuan adalah makhluk yang emosional.
Faktor-faktor lain terkait sisi psikis perempuan—seperti stres, tekanan pekerjaan, masalah asmara—cenderung dilupakan sehingga faktor hormonal atau PMS-lah yang kelak dikambinghitamkan.
Hal ini diterangkan dalam studi berjudul “Women's beliefs about the prevalence of premenstrual syndrome and biases in recall of premenstrual changes” (2001) oleh María Luisa Marván dan Sandra Cortés-Iniestra.
“Banyak perempuan memiliki persepsi keliru tentang makna PMS; akibatnya, mereka menguatkan ingatan mereka tentang perubahan-perubahan selama masa pramenstruasi, yang mencerminkan stereotip budaya alih-alih pengalaman nyata mereka.”
Persepsi keliru tentang PMS membuat perubahan psikis perempuan bisa dipandang sebelah mata. Mungkin tak sedikit orang sekitar yang menanggapi kondisimu menjelang menstruasi dengan kalimat begini, “Sudahlah, kamu cuma lagi PMS, nanti mood-mu juga bakal membaik,” atau “Coba makan cokelat, ini bisa memperbaiki mood.”
Padahal, gejala mood memburuk, kesulitan tidur, atau kecemasan berlebih mungkin saja berhubungan dengan depresi.
Sejauh mana siklus menstruasi mempengaruhi mood merupakan topik bahasan yang menantang untuk terus dipelajari oleh kalangan peneliti.
Dalam studi yang dimuat di jurnal Gender Medicine (2012), Sarah Romans dan koleganya berusaha mengumpulkan bukti-bukti ilmiah tentang asosiasi mood dan siklus menstruasi dengan meninjau 47 hasil penelitian selama tahun 1971-2007.
Terungkap sebanyak 18 penelitian (38,3 persen) tidak menunjukkan asosiasi mood negatif yang dirasakan responden dengan tahap siklus menstruasi apa pun, 18 penelitian lain menunjukkan asosiasi mood negatif dengan tahap pramenstruasi dan tahap menstruasi lainnya, 7 penelitian (14,9 persen) menunjukkan asosiasi mood negatif dengan tahap pramenstruasi saja dan 4 penelitian (8,5 persen) menunjukkan asosiasi mood negatif dengan tahap di luar pramenstruasi.
Meskipun temuan di atas terdengar menarik, kesimpulannya perlu dibaca dengan hati-hati karena berbagai studi yang ditinjau punya kualitas beragam dan memakai metodologi berbeda-beda.
Studi yang memberi gambaran alternatif tentang PMS pernah disampaikan Robyn Stein DeLuca dalam buku The Hormone Myth: How Junk Science, Gender Politics and Lies about PMS Keep Women Down (2017).
Dosen psikologi Stony Brook University, New York ini meyakini bahwa efek-efek PMS telah dilebih-lebihkan lewat media dan komunitas kesehatan.
Nyatanya, letih fisik maupun emosi yang bergejolak pada perempuan menjelang menstruasi lebih mungkin terjadi karena mereka percaya PMS benar-benar dahsyat pengaruhnya terhadap diri mereka.
Perempuan dapat mengemban tanggung jawab berlapis-lapis, mulai dari urusan kantor sampai pekerjaan rumah tangga dan kesehatan keluarga. Ketika salah satu tanggung jawab itu terbengkalai, rasa bersalah atau menjadi perempuan “gagal” akan mengikuti diri mereka.
Karenanya, sebagian perempuan akan berlari menunjuk kodratnya mengalami PMS untuk melepaskan diri dari perasaan tak nyaman demikian. PMS bagaikan “kartu bebas penjara” yang dipakai perempuan, imbuh DeLuca.
* Artikel ini pernah tayang di tirto.id pada 21 Februari 2018. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk keperluan redaksional Diajeng.
Editor: Maulida Sri Handayani & Sekar Kinasih