tirto.id - Pada 9 Februari 2017 silam, aktris dan penyanyi Agnez Mo mengunggah foto dirinya yang berambut cepak berwarna jingga di Instagram. Untuk kesekian kalinya, ia berganti gaya dan warna rambut yang segera mendapat aneka tanggapan di media sosial. Ada yang merespons positif dan menyatakan kesukaan mereka terhadap pilihan gaya rambut Agnez Mo, tetapi ada pula yang mengomentari dirinya lebih cocok berambut panjang atau mengecat rambutnya dengan warna lain seperti platina yang sempat ditampilkannya.
Agnez memang termasuk artis yang sering gonta-ganti warna rambut. Meski sering diprotes penggemarnya, tetapi Agnez memilih tetap bergonta-ganti gaya dan warna rambut sesuai dengan keinginannya.
Warna rambut memang menjadi salah satu bentuk ekspresi diri yang jamak dipilih masyarakat, utamanya anak muda dan perempuan. Dalam buku Encyclopedia of Hair: A Cultural History, Victoria Sherrow (2006) dituliskan, sebelumnya, pewarna rambut lazim dipakai untuk menutupi uban dan untuk alasan profesional bagi pekerja di industri hiburan. Pada pertengahan abad 20, penjualan pewarna rambut merangkak naik. Dekade 50-an, diestimasikan 4-7% penduduk AS mewarnai rambut mereka. Dua puluh tahun kemudian, persentase ini naik hingga 40%. Pada 2000, diperkirakan 55 juta penduduk Negeri Paman Sam tersebut mewarnai rambutnya. Begitu banyaknya orang yang mengganti warna rambut membuat pemerintah menghapus bagian warna rambut dari paspor AS sejak 1969.
Impresi kepribadian atau identitas tertentu menjadi tujuan mewarnai rambut selain untuk mengikuti tren masa kini. Mengapa orang menciptakan impresi dari warna rambut juga tak pernah terlepas dari konstruksi sosial, demikian pernyataan Midge Wilson, Ph.D., profesor Psikologi dari DePaul University, Chicago.
“Rambut pirang sering diasosiasikan dengan sifat tidak bisa dipercaya atau manipulatif. Hal ini tidak berubah sampai Clairol [jenama pewarna rambut] membuat kampanye ‘Blondes Have More Fun’,” papar Wilson kepada MTV News. Wilson juga menambahkan, warna rambut merupakan hal yang disoroti orang dalam membuat penilaian terhadap orang lain di samping warna kulit dan bentuk fisik secara keseluruhan.
Pernyataan Wilson ini mengindikasikan adanya stereotip karakter orang berdasarkan warna rambutnya. Jauh sebelum Wilson membuat opini ini, Kyle dan Mahler (1996) telah menyatakan hal serupa setelah melakukan penelitian tentang persepsi terhadap kemampuan perempuan berdasarkan warna rambut dan penggunaan kosmetik.
Pada awal tulisan ilmiah mereka, Kyle dan Mahler memprediksi stereotip tertentu berkontribusi terhadap penilaian seseorang dengan memperhatikan fakta bagaimana media populer mencitrakan orang-orang berbasis warna rambutnya. Si rambut pirang sebagai orang yang tak pintar dan berkemampuan rendah, berkebalikan dengan si rambut cokelat. Si rambut pirang juga disebut-sebut lebih feminin, suatu kualitas yang dipandang sebelah mata terkait dengan kemampuan kerja. Sementara pemilik rambut merah kerap dicitrakan sebagai orang temperamental dan sulit diajak bekerja sama atau berelasi. Setelah melakukan survei terhadap 136 orang, prediksi Kyle dan Mahler pun tak meleset: si rambut cokelat menjadi juara dalam evaluasi kemampuan. Maka tak heran jika banyak orang mengganti warna rambutnya demi memberi kesan tertentu.
Namun demikian, tak serta merta orang memilih warna-warna rambut standar seperti tiga warna yang disebutkan sebelumnya. Menurut Wilson, keinginan untuk tampil menonjol bagi sebagian orang membuat mereka memilih warna-warna rambut mencolok dibanding standar seperti cokelat. Penerimaan masyarakat modern terhadap variasi warna rambut sekarang ini menjadi dorongan ekstra bagi seseorang untuk mentransformasikan gaya dan warna rambutnya. Banyaknya pesohor yang tertangkap kamera mengecat rambut sewarna gula-gula turut menyokong banyak anak muda meniru penampilan mereka.
Kylie Jenner merupakan salah satu pesohor yang sempat menyatakan dirinya ketergantungan tagihan bergonta-ganti warna rambut karena membuatnya merasa seperti orang yang baru setiap waktu, demikian tertulis dalam situs Byrdie. Dari kacamata psikologi, sebenarnya sulit mengatakan mewarnai rambut sebagai suatu ketergantungan karena hal ini cuma puncak gunung es dari isu penilaian diri seseorang, menurut Vivian Diller Ph.D, psikolog dan pakar media serta pemasaran. Begitu kebutuhan memperbaiki penampilan fisik melebihi kebutuhan terhadap kesehatan, barulah hal ini mengindikasikan ketergantungan menurut Diller.
Selain membuat diri merasa seperti sosok baru, mewarnai rambut juga menjadi simbol pembangkangan bagi sebagian orang. Kelompok punk kerap ditemukan mengecat rambutnya dengan warna-warna mencolok pada dekade 70-an. Tak hanya punk, kelompok gotik, emo, dan hippies pun disebut-sebut dalam situs Sassydove sebagai kelompok-kelompok pembangkang yang menggunakan warna rambut untuk menunjukkan perbedaan identitasnya dengan orang pada umumya. Fakta bahwa berbagai tempat kerja dan institusi pendidikan melarang penggunaan cat rambut kian meneguhkan kesan pembangkangan dari pewarnaan rambut yang mencolok.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti