tirto.id - “Ayam, putih telur, ikan—kecuali salmon—gandum, beras merah—tapi enggak boleh lagi setelah jam 6 sore. Enggak boleh mentega atau minyak, dan enggak boleh soda,” kata Sam sambil melakukan teknik knee raise di gim sekolah.
“Kamu cuma makan itu?” Finn yang mendengarkan protes.
“Enggak ada cara cepat untuk jadi seksi, man,” kata Sam sambil elus-elus perut kotak enamnya.
“Betul!” sahut Artie.
“Enggak tahu sih. Aku enggak pernah mikiran sampai sana, man,” timpal Finn lagi. “Kita kan cowok. Sejak kapan yang beginian jadi penting banget?”
“Gara-gara internet!” kata Artie. “Sejak pornografi ada di internet, cewek-cewek juga bisa nonton, [dan lama-lama] jadi enggak perlu malu-malu membeli bokep. Pornografi pasti juga ngaruh ke otak perempuan, bikin mereka jadi lebih cowok, lalu mereka jadi lebih fokus untuk melihat bentuk badan kita.”
Sam memang sedang mengajarkan kedua kawannya itu untuk punya tubuh seksi seturut definisi yang mereka karang sendiri: perut kotak-kotak, bisep dan trisep menonjol, serta otot dada yang bidang. Mereka melakukannya agar cewek-cewek tertarik. Obrolan itu ada dalam episode kelima pada musim kedua serial Glee. Anak-anak sekolah menengah atas itu memang di usia pubertas. Gejolak hormon bikin mereka ingin tampil menarik, terutama untuk menggaet calon pacar.
Telaah Artie kental dengan latar belakang pemikiran patriarkal yang keliru. Faktanya, perempuan juga punya dorongan seksual yang sama besarnya seperti pria. Bahkan sejumlah studi menunjukkan dorongan itu lebih besar pada perempuan. Hanya saja, gairah seks perempuan diintervensi keadaan sosial dan budaya sekitar yang membikin urusan seksualitas pada perempuan menjadi tabu. Maka, industri pornografi dan internet pun tak bisa dituduh sebagai penyebab langsung perempuan menjadi "perhatian" pada bentuk pria.
Namun, percakapan dalam serial itu menunjukkan gejala yang sungguh terjadi di dunia nyata: ada tren para pria yang semakin memperhatikan keindahan dirinya.
Perkakas kecantikan pria yang semula cuma sampo, deodoran, krim cukur berkembang pelembab, pembersih wajah, concealer, serum mata, bronzer, dan krim perawatan kulit (termasuk di dalamnya krim anti-keriput dan lotion pemutih serta pemulus kulit).
Investigasi Alexander Fury dari Independent menyebut, setidaknya pada 2016 industri ini secara global bernilai 14,8 miliar poundsterling. Sementara menurut prediksi yang dipacak Statista, pada 2017 industri kecantikan pria akan meroket mencapai angka $20,52 miliar.
Fury menyatakan perkembangan industri ini dimulai sejak 2013. Ia melihat peningkatan signifikan pembelian perkakas mandi pria pada tahun itu. “2013 adalah puncaknya, tahun pertama kalinya para pria mengeluarkan duit lebih untuk perlengkapan mandi, ketimbang perkakas mencukur,” tulisnya.
Angka-angka itu tentu saja menarik perhatian para produsen produk kecantikan. Jenama besar macam Estée Lauder, Clarins, dan Kiehl's bahkan sudah bertahun-tahun membuka cabang khusus produk kecantikan pria. Sementara jenama lain yang biasa fokus pada wanita, juga mengikuti jejak itu, misalnya Dove yang mulai memperkenalkan produk perawatan pria mereka pada 2010.
Pertumbuhan industri ini juga membuat jenama-jenama perawatan pria makin semarak. Di Indonesia, menurut data terakhir Euromonitor dalam survei tahunan mereka, Gatsby masih menjadi jenama kepercayaan pertama laki-laki sini. Sebab ialah yang pertama kali hadir sehingga jadi lebih familiar. Pendapatannya meroket sampai 13 persen pada tahun lalu.
Ditantang Maskulinitas
Namun, meski pertumbuhannya baik, ahli pemasaran produk kecantikan pria harus tetap jeli mempromosikan dagangannya. Budaya patriarkal yang menimpakan label maskulinitas pada pria masih menjerat prospek industri ini. Jika para pria merasa dilunturkan maskulinitasnya, perkembangan penjualan produk ini bisa saja goyang.
Hal itu disebut Elizabeth Segran dari Racked. Ada kecenderungan para pria lebih senang melihat produk-produk perawatan tubuh itu sebagai solusi sebuah masalah, ketimbang pengalaman memanjakan diri. Di Amerika, negeri tempat konsep kesetaraan gender dan seksualitas lebih berkembang, jenis pria yang berpikiran semacam itu masih dominan. Meski mereka jelas-jelas membeli dan memakai produk perawatan tubuh, kebanyakan masih mengidentikkan urusan rias-merias sebagai domain wanita.
“Kuncinya [dalam memasarkan] adalah untuk tidak terdeteksi,” kata Michele Probst, pemilik jenama mekap dan penata rias yang pernah mendadani Barack Obama, John Travolta, dan Kid Rock.
Menurutnya, menjual produk kosmetik pada pria membutuhkan cara yang berbeda dari cara menjual pada wanita. Ia mencontohkan sejumlah komplain pelanggan pria yang keberatan dengan kemasan paket yang mereka anggap sedikit ‘girly’. Hal itu membuat Probst mewajibkan karyawannya membungkus produk kosmetik pria mereka dengan warna cokelat.
Ia juga selalu menamai produk-produknya dengan nama yang sangat amat maskulin demi kenyamanan pelanggan.
Di dunia tempat para pria dimanjakan patriarki, tak semua laki-laki bisa merasa bebas memakai produk kosmetik. Padahal, kedekatan pria dengan perkakas kecantikan sudah ada sejak lama. Sejarah itu bisa dilacak sampai zaman Firaun, ketika lelaki Mesir baru akan percaya diri ketika memakai celak. Semakin lama, cuma pekerjaan-pekerjaan tertentu dengan keterlibatan kamera yang mewajarkan pemakaian kosmetik pada pria, semisal penyanyi rock atau politisi atau aktor.
Pada 1970-an, ketika musik gotik dan punk merebak sebagai bentuk protes pada kekuasaan. Anak-anak band yang umumnya pria mulai memakai riasan wajah saat tampil di atas panggung. Robert Smith dari The Cure adalah salah satu contohnya.
“Aku mulai memanjangkan rambut dan pakai mekap dan lain-lainnya karena aku dilarang begitu dulu waktu sekolah,” katanya dalam wawancara dengan The Guardian, 2004 silam.
Setelah Smith, ada David Bowie, Freddie Mercury, Steven Tyler, Boy George. Dari generasi lebih muda ada Johnny Depp, Jared Leto, Brandon Flowers. Tak semuanya homoseksual macam Freddie Mercury atau Boy George. Kebanyakan pria-pria itu adalah heteroseksual yang menolak pelabelan dalam masyarakat. Mereka menunjukkan bahwa rias muka tak ada kaitannya dengan orientasi seksual.
Baca juga: Mereka Bukan Waria, tapi Pria yang Senang Berdandan
Dalam Analisis Tren Industri Kecantikan 2017 Franchise Help, diestimasikan 75 persen pria memang tak memakai perkakas perawatan wajah dan kulit. Namun di saat yang sama, angka pertumbuhan pasar di sektor ini terus meningkat.
Fung Global Retail Tech memang mencatat Eropa Barat sebagai daerah paling besar pertumbuhan industri perawatan tubuh prianya. Angkanya mencapai $12,4 miliar pada 25 dan diprediksi akan jadi $14,4 miliar pada 2020. Namun, pertumbuhan pesat juga terjadi di Asia Pasifik, dan Indonesia masuk hitungan.
Korea Selatan masih jadi negara pemimpin di kawasan tersebut. Ia bahkan masuk daftar 10 negara di dunia dengan pertumbuhan industri kecantikan pria tertinggi. Euromonitor mencatat, tiap pria Korea rata-rata menghabiskan 39 dolar AS per tahun untuk merawat kulitnya. Ini sejalan dengan budaya masyarakatnya yang tak terlalu ricuh perkara pria bersolek atau pria yang merawat diri.
Baca juga:Pria Masa Kini Pria Mestroseksual
Namun Joseph Grigsby, ahli pemasaran dari Lab Series milik jenama Estée Lauder, melihat ada perubahan tabiat yang dibawa milenial dan generasi lebih muda. Mereka yang punya pikiran lebih terbuka dari generasi sebelumnya. Sudah mulai mempraktikkan konvergensi maskulinitas dan femininitas. Hal itu ada kaitannya dengan penerimaan mereka pada figur perempuan dan konsep kesetaraan gender yang lebih maju dari generasi sebelumnya.
Grigsby melihat kini ada budaya baru yang dibawa para pria muda milenial. “Kalau bicara kecantikan perempuan, biasanya kan ibu yang mengajari para anak perempuan mereka tentang ritual kecantikan mereka. Kalau di kalangan laki-laki, biasanya paling diajari cara bercukur. Tapi sekarang, para milenial mengajari ayah mereka untuk mengatasi kulit kering atau mata panda,” kata Grigsby pada Racked.
Perubahan itu yang juga menjadi sinyal baik bahwa industri ini makin cerah. Data pada Statista memprediksi, pada 2023, nilai keuntungan industri ini akan menembus $27,76 miliar.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Maulida Sri Handayani