tirto.id - Aku berusaha keras menahan air mata selagi ujung mata pensil alis menggarisi mataku. Aku berusaha untuk tak menggaruk hidungku saat sikat menggelitikinya. Tapi saat aku berbalik badan, hampir saja cerminnya kuberi bogam. Tak mungkin bayangan itu diriku. Mataku terlihat bercahaya dan berkilau, diapit bulu mata kemoceng yang tebal amat. Bibirku tampak mewah sekaligus empuk, dalam nuansa merah muda yang lembut. Aku tak cuma berasa cantik atau tampan, tapi kelihatannya memang begitu. Aku agak mundur, jalan, dan berlari ke arah cermin, tamak untuk melihat diriku sendiri dari sudut lain.
Pengalaman di atas milik Killian Wright Jackson, seorang penulis lepas untuk Teen Vouge, yang juga pengamat dunia gaya. Dalam tulisan berjudul "My Experience Weading Makeup as A Man", ia ingin merasakan fenomena pria berdandan yang belakangan punya panggung sendiri di media sosial.
Hasilnya, Jackson yang semula ragu pada pengaruh mekap mulai mempertanyakan kebiasaan masyarakat mengkritisi riasan wajah. Jackson empertanyakan konstruksi sosial yang membuat pria seolah-olah tak perlu dandanan secara alamiah, sementara wanita butuh itu untuk dianggap cantik. Ia mempertanyakan ketimpangan gender yang diciptakan dunia patriarki itu.
Ia sendiri merasakan keajaiban mekap. Kepercayaan dirinya meningkat saat melihat polesan di wajahnya.
Ini pula yang dirasakan sejumlah pria berdandan yang tenar di panggung media sosial. Patrick Starrr, Manny Guttierez, James Dickinson, Alan Macias, dan Alexander Rivera adalah sejumlah nama itu. Dalam artikel Marie Claire, berjudul “The Beauty Boys of Instagram” kelimanya sepakat kalau mekap memang meroketkan percaya diri mereka. Sebagiannya bahkan mengaku merias wajah adalah medium mereka untuk berseni.
Namun, kesenangan mereka untuk berdandan sering disalahpahami sebagai bagian dari seksualitas. Alasannya karena pria-pria berdandan banyak datang dari para transgender alias waria, atau orang-orang yang merasa lahir di tubuh yang salah.
Alan Macias, pemuda 16 tahun dari Anaheim, California yang lebih dikenal di Instagram sebagai Alannized punya cerita menarik tentang hal di atas. Kebiasaannya berdandan membuat orangtuanya bertanya-tanya tentang orientasi seksual putranya. Mereka tak keberatan kalau anaknya mau menjalani proses transisi kelamin, jika diperlukan. Tapi jawaban dari Alan malah mengejutkan mereka: “Aku pria yang bermekap. Aku bukan trans. Aku bukan waria,” katanya tegas.
“Aku menikmati seni berdandan, dan jadi pria yang melakukannya,” ungkap Alan pada Marie Claire.
Pengalaman serupa juga dialami James Dickinson, bocah 16 tahun dari Glenmont, New York. Orangtuanya juga mempertanyakan kecenderungan putranya adalah transgender yang ingin jadi wanita, saat mereka mulai memperhatikan kesukaan James bermain dengan alat kosmetik. “Membutuhkan banyak sekali percakapan untuk menjelaskan ke mereka kalau semua ini (mekap dan riasan wajah) adalah seni bagiku. Aku percaya diri sebagai pria dan aku akan selalu jadi pria. Aku tetap percaya diri dengan atau tanpa mekap,” kata James.
Padahal kalau dikaji dari riwayat sejarah, kedekatan pria dan riasan wajah sudah ada sejak zaman Firaun. Lelaki bangsawan Mesir kuno memakai celak di garis kelopak mata mereka untuk tujuan bergaya ataupun keagamaan. Fakta itu ditulis dalam Journal of Egyptian Archaeology dengan judul “Kosmetik, Wewangian, dan Kemenyan dalam Mesir Kuno”.
Celak atau Eyeliner bukan jenis kosmetik bagi perempuan. Setidaknya sejak 13 tahun sebelum Masehi, eyeliner menjadi alat perias mata yang lazim dipakai laki-laki. Tentang kebiasaan dandan laki-laki di masa lalu ini bisa dibaca lewat artikel Tirto berjudul Eyeliner yang Tak Bergender.
Sejarah yang lebih dekat bisa ditarik dari dari tahun 1970-an, ketika musik gotik dan punk merebak sebagai bentuk protes pada kekuasaan. Anak-anak band yang mayoritasnya adalah pria mulai memakai riasan wajah saat tampil di atas panggung. Robert Smith dari Cure, band yang legendaris itu, salah satu contohnya.
“Aku mulai memanjangkan rambut dan pakai mekap dan lain-lainnya karena aku dilarang begitu dulu waktu sekolah,” katanya dalam wawancara dengan The Guardian, 2004 silam.
Setelah Smith, ada David Bowie, Freddie Mercury, Steven Tyler, Boy George. Dari generasi lebih muda ada Johnny Depp, Jared Leto, Brandon Flowers. Tak semuanya homoseksual macam Freddie Mercury atau Boy George. Kebanyakan pria-pria itu adalah heteroseksual yang menolak pelabelan dalam masyarakat. Mereka menunjukkan kalau mekap tak ada kaitannya dengan orientasi seksual.
Dimanfaatkan Jenama Mekap
Fenomena pria-pria berdandan ini turut dirayakan sejumlah jenama kosmetik ternama. Mereka merekrut pria-pria berdandan sebagai duta mereknya untuk merayakan kebebasan berekspresi sekaligus memperluas segmentasi konsumen.
Awal Januari ini jadi kabar menggembirakan bagi Manny Gurtirrez. Ia dipilih Maybeline New York sebagai ambasador pria pertama untuk mekap mereka. Ini adalah salah satu cara pemasaran terbaru mereka, tak jauh beda dengan yang dilakukan Covergirl Oktober silam, saat menunjuk James Dickinson sebagai duta pria pertama mereka.
Sebelumnya, bintang Instagram Patrick Starrr yang juga teman Manny, dipilih jadi duta Formula X dan NYX Cosmetics.
Seperti yang dikabarkan BBC, para jenama ini ingin membuktikan kalau produknya bisa dipakai siapa saja, dan menakjubkan untuk siapa saja. Fenomena ini tampaknya akan jadi tanda masih panjangnya sejarah hubungan antara pria dan riasan wajah.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti