tirto.id - Kasus virus corona COVID-19 di seluruh dunia terus bertambah. Hingga Kamis (9/4/2020) pukul 15.00 WIB, tercatat jumlah kasus COVID-19 mencapai 1.485.981 di seluruh dunia, menurut data dari Universitas Johns Hopkins.
Jumlah kematian yang diakibatkan COVID-19 mencapai 88.538. Italia menjadi negara dengan jumlah kematian terbanya, yaitu 17.669, jauh melebihi Cina, negara tempat virus pertama kali dideteksi.
Sementara itu untuk pasien sembuh dinyatakan sebanyak 330.782 sejak virus pertama kali diketahui pada akhir Desember 2019. Jumlah pasien sembuh terbanyak berasal dari Cina dan Spanyol.
The Chinese City yang berada di jantung pandemi Wuhan, dibuka kembali pada Rabu (8/4/2020) setelah 76 hari ditutup. Di tempat lain, dampak ekonomi, politik dan psikologis dari memerangi virus corona baru semakin jelas dan semakin sulit ditanggung.
New York City mengalami lonjakan kematian akibat virus corona COVID-19 dengan jumlah korban melewati angka yang terbunuh pada peristiwa 9/11. NYV mencatat 731 kematian akibat virus corona baru, lompatan satu hari terbesarnya, dengan jumlah korban di seluruh negara bagian hampir 5.500 kasus.
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson masih dalam perawatan intensif karena virus corona tetapi kondisinya dinyatakan membaik dan sudah bisa duduk di tempat tidur, seorang menteri senior pemerintah mengatakan Rabu, ketika Inggris mencatat lonjakan terbesar dalam kematian COVID-19 hingga saat ini.
Sekalipun kematian karena virus corona meningkat di seluruh Eropa, New York, dan tempat-tempat lainnya, AS dan pemerintah lainnya mulai membayangkan strategi keluar dari masalah dan mempertimbangkan relaksasi yang diatur secara cermat dan hati-hati dari pembatasan.
Pada saat yang sama, para politikus dan pejabat kesehatan dengan tegas memperingatkan bahwa krisis masih jauh dari selesai, dan gelombang kedua yang dahsyat bisa menghantam jika negara terlalu cepat menyelesaikan pembatasan.
Ketika pejabat kesehatan di seluruh dunia mendorong untuk meminta lebih banyak ventilator untuk merawat pasien coronavirus, beberapa dokter memilih tidak menggunakan mesin pernapasan ini ketika mereka bisa.
Alasannya, beberapa rumah sakit telah melaporkan angka kematian yang sangat tinggi untuk pasien coronavirus dengan ventilator, dan beberapa dokter khawatir mesin tersebut dapat membahayakan pasien tertentu, demikian seperti diwartakan AP News.
Editor: Agung DH