tirto.id - Suku Hui berperan penting dalam penyebaran Islam di China dan beberapa wilayah Asia lainnya. Mereka merupakan keturunan dari Persia dan Arab yang bekerja sebagai pedagang, utusan, dan pelaut saat memasuki China melalui Jalur Sutra pada abad ke-7. Muslim Hui dikenal taat dalam menjalankan praktik dan mempertahankan nilai-nilai keislaman.
Saat ini, mereka termasuk kelompok minoritas terbesar di China dengan jumlah populasi sekitar 10,5 juta jiwa pada saat sensus terakhir tahun 2010.
Masuknya Islam ke China
Sejarah Islam di China cukup panjang, dimulai pada abad ke-7 ketika para utusan dari Arab datang memenuhi undangan Kaisar Gaozong dari Dinasti Tang (608-907 M). Momen ini dianggap sebagai peristiwa bersejarah datangnya Islam ke China.
Masa itu, pihak kekaisaran kerap mengirim utusan ke negeri-negeri jauh untuk berdiplomasi. Tercatat selama satu abad lebih, setidaknya ada lebih 30 kunjungan utusan Arab ke China.
Selanjutnya, para pedagang dari Arab dan Persia memperkenalkan Islam lebih jauh di China melalui Jalur Sutra pada abad ke-8. Kaum muslim mulai menetap, terutama di daerah pesisir China selatan dan timur.
Pada abad ke-10 Masehi, Dinasti Tang Akhir mengakui keberadaan kaum muslim yang didominasi Suku Hui dan saudagar-saudagar dari Timur Tengah. Kekaisaran lantas membuat wilayah khusus yang disebut Fanfang atau “Kampung Arab” dan memberikan kebebasan beribadah serta pengakuan hukum.
Pada masa Dinasti Song (960-1279 M), penyebaran Islam di China semakin pesat dengan adanya perdagangan maritim serta kegiatan misi keagamaan dari seluruh dunia muslim. Asimilasi budaya terjadi melalui pernikahan dan kelahiran yang disebut Fan Ke, sehingga kekaisaran harus terlibat dalam upaya penetapan hukum waris.
Pada era ini, kaum muslim juga sudah terlibat dalam kehidupan sosial masyarakat China, mulai dari pendidikan, pernikahan antar etnik, termasuk menduduki pos-pos pemerintahan lokal maupun dalam kekaisaran.
Selama periode Dinasti Yuan (1271-1368 M) yang dipimpin oleh Kubilai Khan, China menjadi bagian dari Kekaisaran Mongol yang juga memperluas penyebaran Islam di seluruh negeri. Di wilayah barat, keturunan muslim kemudian melahirkan etnis Hui, salah satu dari empat klan yang diakui kekaisaran selain Mongol, Uighur, dan Tatar.
Kaum muslim lebih banyak bermukim di wilayah-wilayah pedalaman China seperti Yunnan, Xinjiang, dan Gansu, ketika Dinasti Ming berkuasa (1368-1644 M). Pada masa ini, sistem dan hukum Islam mengalami evolusi yang signifikan lewat peran Imam, Khatib, dan Mu’adzin.
Sejak saat itu, Islam menyebar ke seluruh wilayah dan berpengaruh pada budaya China. Masjid-masjid dengan kultur lokal bertebaran dan populasi muslim paling pesat meningkat di Nanjing, ibukota Dinasti Ming.
Selain melalui perdagangan dan pernikahan, penyebaran Islam di China dilakukan dengan cara pengiriman pelajar ke negeri-negeri Islam dan penerjemahan Al-Quran ke dalam bahasa lokal.
Pengiriman Pelajar ke Al-Azhar
Sistem pendidikan Islam mulai bermunculan pada abad ke-10 ditandai dengan hadirnya lembaga tinggi pendidikan Islam di Kashgar, kota di barat China. Menyusul pendirian lembaga serupa di berbagai wilayah yang mempelajari pendidikan bahasa Arab, bahasa Persia, tafsir Al-Quran, ilmu fiqih, ilmu logika, sufi, hingga filsafat Islam.
Pada pertengahan abad ke-17, berbagai sekte dan aliran kemudian muncul. Sebagian muslim China adalah Sunni, termasuk Uighur yang meyakini As’ariyyah (akidah). Sementara di Xinjiang, sebagian muslimnya bermazhab Syafi’i (fikih). Di luar itu ada etnis Tajik yang beraliran Syiah (akidah), selebihnya bermazhab Hanafi (fikih).
Michael Dillon dalam China’s Muslim Hui Community: Migration, Settlement, and Sects (1999) menyebutkan saat memasuki masa revolusi peralihan dari Dinasti Qing ke Periode Republik tahun 1900-an, Muslim Hui menjadi pembaharu dalam menggerakkan budaya Islam, terutama penyesuaian sistem pendidikan tradisional ke sistem pendidikan modern.
Sekolah-sekolah umum yang menawarkan ilmu alam dan sosial banyak dicetus untuk melahirkan generasi, bukan hanya muslim, China yang berwawasan luas. Selain itu, beberapa sekolah seperti Chengda Normal School juga menawarkan pendidikan ke luar negeri, terutama ke Al-Azhar, salah satu universitas Islam tertua yang ada di Kairo, Mesir.
Pengiriman pelajar muslim China ke Al-Azhar dibagi ke dalam beberapa periode. Konflik internal Muslim China saat itu mengenai berbagai pemahaman kaum tradisional--dikenal dengan Gedimu-- dan pemikiran kaum Islam modern--dikenal dengan Yihewani, melatarbelakangi pengiriman.
Al-Azhar dianggap tepat sebagai wadah pemikiran yang modern untuk menengahi konflik.
Periode pertama merupakan periode perintis pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika beberapa sarjana Islam dari Yunnan mengunjungi dan belajar di Al-Azhar secara individu, seperti Imam Wang Jingzahi dari Tianjin dan Ha Decheng dari Shanghai.
Periode kedua adalah periode kolektif pada 1930-an, ketika Chinese Islamic Progressive Association (CIPA) mengirimkan 35 pelajar yang berasal dari berbagai provinsi di China, seperti Yunnan, Gansu, Ningxia dan Xinjiang.
Para pelajar ini belajar berbagai displin ilmu Islam seperti tafsir, hadis, fikih, syariah, sejarah, dan sastra Arab. Beberapa dari mereka juga menerjemahkan karya-karya penting dari tradisi Islam ke dalam bahasa China atau sebaliknya. Misalnya, Ma Jian menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Mandarin dan Na Zhong menerjemahkan sejarah Islam ke dalam bahasa Mandarin.
Pada periode ketiga pasca-perang pada 1940-an dan 1950-an, sejumlah pelajar dari berbagai provinsi di China datang ke Al-Azhar atas bantuan pemerintah Mesir dan Raja Faruk dari Arab Saudi yang tertarik mengirimkan 20 pelajar China ke Al-Azhar.
Periode keempat disebut juga periode stagnasi pada 1960-an hingga akhir 1970-an, ketika hubungan antara China dan Mesir memburuk akibat konflik politik dan ideologis. Mesir berada di bawah pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasser yang memiliki hubungan dekat dengan Uni Soviet, sementara China pada saat itu sedang mengalami ketegangan dengan Uni Soviet.
Pada 1964, Mesir dan Uni Soviet menandatangani Perjanjian Persahabatan yang membuat China khawatir akan kekuatan Uni Soviet di kawasan Timur Tengah. Sebagai respons, pada 1965, China menarik semua stafnya dari Kedutaan Besar China di Kairo dan memutuskan hubungan diplomatik dengan Mesir.
Dampaknya, tidak ada pengiriman pelajar China ke Mesir pada periode ini.
Periode pemulihan dimulai saat kedua negara menandatangani perjanjian untuk mengakhiri isolasi diplomatik pada pertengahan 1970-an. Hubungan keduanya terus membaik hingga sekarang, termasuk kerja sama di bidang pendidikan.
Umumnya para pelajar China yang telah menyelesaikan studi di Al-Azhar kembali ke kampung halamannya dan menjadi pemimpin intelektual serta berperan penting dalam sejarah Islam China modern.
Mereka juga berperan aktif dalam diplomasi antara China dan negara-negara muslim lainnya. Sebut saja Ma Jian yang menjadi profesor studi Arab dan Islam di Universitas Peking dan anggota Konferensi Konsultatif Politik Tiongkok (CPCC) pada 1949. Sedangkan Na Zhong menjadi duta besar Republik Rakyat China untuk Mesir pada 1956.
Upaya Penerjemahan Al-Qur'an ke Bahasa China
Sejarah penerjemahan Al-Quran ke dalam bahasa China dimulai pada abad ke-7 Masehi, ketika para saudagar Arab dan Persia yang berdagang dengan China membawa ajaran Islam. Namun, penerjemahan resmi pertama Al-Quran ke dalam bahasa China baru terjadi pada era Dinasti Tang.
Kala itu, seorang saudagar Arab bernama Sa'ad bin Abi Waqqas membawa Al-Quran ke China dan memberikannya kepada Kaisar Tang Gaozong. Kaisar tertarik dengan isi kitab suci tersebut dan meminta agar dibuatkan terjemahan ke dalam bahasa China. Terjemahan dilakukan oleh para ahli bahasa yang ditugaskan oleh Kaisar, termasuk seorang ahli bahasa Persia dan ahli bahasa Turki yang telah mempelajari bahasa Arab.
Sayang, dikutip dari Historia, penerjemahan awal ini tidak pernah utuh sampai 30 juz karena berbagai faktor seperti bencana alam, kebakaran, dan berbagai pergolakan politik.
Masyarakat China belum mengenal Islam sebagai sebuah agama (jiao), melainkan hanya sebagai aturan (fa) atau adat istiadat (su) dari orang-orang Dashi (Arab). Cendekiawan China yang tertarik dengan Islam hanya menerjemahkan surat-surat pendek atau potongan ayat Al-Qur'an ke bahasa Mandarin dengan gaya sastra klasik.
Mi Shouijiang dan You Jia dalam Islam in China (2004) menulis para penerjemah dan penulis yang muncul pada periode ini fasih dalam empat agama utama, yakni Konfusianisme, Buddhismne. Taoisme, dan Islam, sehingga mereka lebih suka menjelaskan doktrin Islam dalam cara berpikir Konfusius yang menghasilkan tafsiran dengan gaya Konfusianisme.
Penerjemahan Al-Qur'an secara lengkap dan akurat baru dilakukan pada masa Kuomintang berkuasa.
Terjemahan pertama yang utuh dan resmi adalah karya Li Tiezheng, seorang non-Muslim yang menggunakan sumber bahasa Inggris dan Jepang pada tahun 1927.
Umumnya, terjemahan Al-Quran ke dalam bahasa China pada masa Kuomintang ini dilakukan dengan menggunakan karakter China yang sudah ada, dengan menambahkan tanda diakritik atau menyesuaikan bunyi karakter agar sesuai dengan pelafalan bahasa Arab.
Dikutip dari Republika, terjemahan Muhammad Ma Jian adalah salah satu terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Mandarin yang paling populer dan diakui oleh pemerintah Arab Saudi. Terjemahan yang diterbitkan Beijing University itu terdiri dari 8 jilid mencakup 6 bab dan penjelasan ringkas.
Ia menerjemahkan Al-Qur'an selama 12 tahun dengan menggunakan kamus bahasa Arab-Mandarin yang ia buat sendiri. Kamusnya berisi lebih dari 20.000 kata dan frasa bahasa Arab yang diterjemahkan ke bahasa Mandarin dengan penjelasan makna dan contoh penggunaannya.
Kamus juga mencantumkan akar kata dan turunan kata bahasa Arab serta menyediakan indeks alfabetis. Kamus ini dianggap sebagai kamus bahasa Arab-Mandarin yang paling lengkap dan akurat hingga saat ini.
Proses pembuatan kamus bahasa Arab-Mandarin Muhammad Ma Jian dimulai ketika ia masih kuliah di Universitas Al-Azhar pada tahun 1930-an. Ia mengumpulkan berbagai sumber bahasa Arab dan Mandarin yang tersedia di perpustakaan dan pasar buku.
Ma Jian juga menerjemahkan beberapa kitab klasik dan kontemporer tentang Islam dan menjadi profesor bahasa Arab dan studi Islam di Universitas Peking.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi