Menuju konten utama

ETIM: Justifikasi Cina Menindas Uighur sekaligus Dukung Taliban

Kelompok ETIM dipakai Cina untuk menindas Uighur sekaligus mendukung rezim Taliban di Afghanistan.

ETIM: Justifikasi Cina Menindas Uighur sekaligus Dukung Taliban
Presiden China Xi Jinping menghadiri Konferensi Dialog Peradaban Asia di Beijing, China, Rabu (15/5/2019). ANTARA FOTO/REUTERS/Thomas Peter/djo/hp

tirto.id - Ada satu elemen yang cukup sentral dibicarakan dalam relasi antara Cina dan Afghanistan di bawah kekuasaan Taliban: Eastern Turkistan Islamic Movement (ETIM). Organisasi itu disebut-sebut jadi salah satu alasan mengapa Cina tampak positif mendukung Taliban meski sebagian besar negara di dunia menanggapi dengan cara sebaliknya.

Dewan Keamanan PBB mendefinisikan ETIM sebagai “organisasi yang telah menggunakan kekerasan untuk memajukan tujuannya mendirikan apa yang disebut Turkistan Timur di Cina.” Ia juga disebut “terkait dengan Taliban, Al-Qaeda, dan Islamic Movement of Uzbekistan (IMU).” Atas dasar itu pada 2002 DK PBB memasukkan ETIM dalam daftar organisasi teroris.

ETIM merupakan julukan yang disematkan oleh otoritas Cina pada gerakan separatis dari minoritas muslim Uighur di daerah otonom Xinjiang. Selama 20 tahun terakhir, Cina gencar menuding kelompok ini sebagai ancaman terhadap keamanan domestik dan keutuhan negara.

Label ini tidak bisa dipisahkan dari sikap otoritas Cina terhadap masyarakat Uighur itu sendiri, yaitu etnis keturunan bangsa Turk penganut Islam yang berabad-abad mendiami Xinjiang, teritorial terbesar di kawasan barat laut Cina.

Akibatnya, suku Uighur dengan mudah dijustifikasi sebagai sasaran represi negara. Menurut laporan Uyghur Human Rights Project, sejak 2014 hingga Mei lalu setidaknya terdapat 630 imam dan pemuka agama Uighur yang ditahan atau dipenjara dengan tuduhan “menyebarkan ekstremisme”, “mengumpulkan massa untuk mengganggu tatanan sosial”, atau “memicu separatisme”.

Sementara Human Rights Watch melaporkan sedikitnya satu juta orang pernah ditahan di 300-400 fasilitas yang terdiri atas kamp “pendidikan politik”, pusat detensi prapengadilan, dan penjara. Di sana mereka jadi objek penyiksaan, indoktrinasi politik dan budaya, sampai kerja paksa. Di luar kamp detensi, orang-orang Uighur masih dimata-matai, pergerakan serta ekspresi agama dan budayanya dibatasi, bahkan dipisahkan dari keluarga.

Awal tahun ini, pemerintah Amerika Serikat beserta parlemen Belanda, Belgia, Kanada, dan Inggris kompak mengecam perlakuan Cina terhadap masyarakat Uighur sebagai genosida.

Dengan latar belakang tersebut, jika ETIM terkait dengan Taliban sebagaimana menurut DK PBB, bukankah sebenarnya pilihan politik yang lebih masuk akal bagi Cina adalah juga memusuhi Afghanistan sebagaimana banyak negara lain? Mengapa justru sebaliknya?

Sebelum menjawab itu, ada beberapa hal yang perlu dibahas terlebih dulu, yaitu terkait ETIM itu sendiri.

Merunut Gerakan Turkistan Timur Merdeka

Kejengahan Cina berakar dari riwayat gerakan aktivis Uighur yang berupaya memerdekakan Xinjiang, atau nama lamanya Turkistan Timur. Melansir ulasan Michael Dillon dari University of Durham di History Today, ketegangan antara keduanya bisa ditelusuri sejak teritorial Uighur mulai diintegrasikan ke wilayah Cina pada pertengahan abad ke-18 di era Dinasti Qing (644-1912).

Salah satu pemberontakan sukses kala itu dipimpin oleh Yakub Beg (1820-77). Pada 1867, ia berhasil mendirikan pemerintahan di kota Kashgar. Tapi rezim Yakub Beg hanya bertahan 11 tahun setelah digilas oleh pasukan Qing di bawah komando Zuo Zongtang, yang pernah meredam pemberontakan serupa oleh etnis muslim Hui.

Pada 1884, Turkistan Timur resmi dinamai Xinjiang dan menjadi provinsi milik Kekaisaran Cina.

Ada lagi sejumlah usaha sporadis untuk mendirikan Republik Turkistan Timur ketika Cina dikuasai rezim nasionalis Kuomintang (1912-49). Mereka muncul di Kashgar pada dekade 1930-an, kemudian di Ghulja (Yining) sepanjang 1944-49. Republik Ghulja kelak dilebur ke dalam Republik Rakyat Cina-nya Mao Zedong pada 1949.

Gerakan kemerdekaan Turkistan Timur di Xinjiang tak mati setelah komunis berkuasa. Ia dapat dijabarkan dalam beberapa fase, tulis David D. Wang di Journal of Chinese Political Science (1998). Fase pertama terjadi pada masa awal kekuasaan Partai Komunis Cina (CCP). Dari sekian banyak “kerusuhan kontrarevolusi” yang terjadi, salah satu yang paling besar adalah “Program Republik Islamis” pimpinan Abdul Imet di Hotan pada 1954.

Setahun kemudian, Xinjiang dijadikan semacam daerah khusus bernama Xinjiang Uighur Autonomous Region (XUAR), diregulasi seperti Tibet dan Mongolia Dalam.

Fase kedua terjadi ketika relasi Uni Soviet dan Cina retak. Karena kondisi ekonomi buruk sepanjang 1959-61, pada 1962 warga dari daerah Yili dan Tacheng memutuskan mengungsi ke Uni Soviet. Ketika dihalau oleh otoritas Cina, mereka melawan. Darah tumpah, belasan orang jadi korban jiwa.

Pada 1968, muncul perlawanan dari Partai Revolusioner Rakyat Turkistan Timur (ETPRP), faksi berhaluan Marxis-Leninis sokongan Soviet untuk menandingi CCP. Salah satu usaha pemberontakan ETPRP pada 1969 berhasil diredam tentara Cina. Wang menulis hingga pengujung dekade 1970-an, Xinjiang berperan sebagai garda terdepan Cina untuk melawan “revisionis modern” Soviet.

Fase ketiga perkembangan gerakan kemerdekaan Turkistan Timur diakhiri dengan pertumpahan darah antara aktivis Uighur dan tentara Cina di Desa Baren, selatan kota Kashgar pada 1990. Menurut Wang, insiden ini menandai kali pertama otoritas Cina menuduh satu kelompok Islamis sebagai pemicu pemberontakan terencana berbasis agama, yakni East Turkistan Islamic Party (ETIP) .

Kejadian ini dibahas lebih dalam oleh antropolog Sean R. Roberts dalam buku The War on the Uyghurs: China's Campaign Against Xinjiang's Muslims (2020). Menurut Roberts, meski otoritas Cina menuding aksi ini sebagai usaha awal ETIP untuk mengambil alih negara, namun bukti-bukti menunjukkan bahwa pemimpin gerakan protes, Zäydin Yüsüp, sengaja mendirikan ETIP untuk mempersenjatai orang-orang Uighur dalam usaha memerdekakan Xinjiang.

Roberts juga menyorot bagaimana semangat merdeka di kalangan Uighur diinspirasi oleh keruntuhan Uni Soviet pada 1991, sebab peristiwa itu mendorong berdirinya negara pecahan bangsa-bangsa keturunan Turk di Asia Tengah seperti Uzbekistan, Kazakhstan, dan Kyrgyzstan.

Pemerintah Cina pun mulai melancarkan kampanye untuk meredam ekspresi nasionalis dan ekspresi keagamaan Uighur. Sejak 1990 sampai 1995, lebih dari 1.800 orang ditahan karena dituding anggota “organisasi-organisasi separatis kontrarevolusioner, organisasi ilegal, dan geng-geng reaksioner.”

Pada 1996, terungkap Dokumen No. 7 yang isinya menegaskan bahwa represi terhadap suku Uighur dilakukan secara sistematis. Dokumen ini berisi strategi pemerintah pusat Cina untuk mengintegrasikan masyarakat Uighur dengan RRC melalui pembangunan dan liberalisasi ekonomi, dan pada waktu sama mengakhiri “separatisme” dan “aktivitas keagamaan tanpa izin” di kalangan masyarakat Uighur.

Masih melansir temuan Roberts, penerapan Dokumen No. 7 diduga mendorong demonstrasi yang direspons dengan keras oleh aparat keamanan pada Februari 1997 di utara Ghulja, dekat perbatasan Kazakhstan.

Beberapa minggu kemudian terjadi tiga kasus pengeboman bus di kota Urumqi yang memakan sedikitnya sembilan korban jiwa. Meski tidak diketahui siapa pelakunya, namun karena bertepatan dengan upacara mengenang kematian pemimpin Cina Deng Xiaoping, otoritas semakin gencar menangkapi dan membatasi Uighur.

Cina Ambil Kesempatan dalam Global War on Terror

Serangan Al-Qaeda ke gedung pencakar langit di New York pada 11 September 2001 kelak dijadikan momentum bagi otoritas Cina untuk semakin memojokkan Uighur. Mereka ikut mendompleng kampanye Global War on Terror (GWOT) yang dilancarkan Presiden AS George W. Bush dengan mengaitkan “separatisme” suku Uighur dengan “ancaman teroris” yang menghantui dunia.

Penting untuk dicatat bahwa musuh-musuh yang dimaksud AS dalam perang melawan terorisme ini lingkupnya luas dan ambigu, mulai dari grup teroris Al-Qaeda, rezim pemberi suaka teroris Taliban, sampai negara yang diduga berpotensi punya senjata pemusnah masal (Irak). Akibatnya, “musuh” bisa dimaknai secara beragam oleh tiap-tiap pihak yang berkepentingan.

Hanya lima pekan pasca-11 September, masih mengutip The War on Uyghurs, pemerintah Cina merilis dokumen yang menyatakan “pasukan Turkistan Timur” bekerja sama dengan organisasi-organisasi teroris dunia untuk menyerang Cina dan negara-negara tetangga. Dalam dokumen itulah tercantum nama Eastern Turkistan Islamic Movement (ETIM). Roberts, yang sudah aktif meriset Xinjiang sejak awal dekade 1990, mengaku baru pertama kali mendengarnya—meskipun tidak menampik kemungkinan adanya grup-grup militan di lokasi selain Xinjiang. Pengakuan serupa disampaikan kalangan akademisi internasional.

Dokumen tersebut mengklaim ETIM dipimpin oleh Häsän Mäkhsum dan menerima dana 300 ribu dolar AS dari Osama bin Laden dan Taliban. Pasukan ETIM dilatih di Afghanistan dan terlibat pertempuran di sana, Chechnya, Uzbekistan, atau pulang ke Xinjiang untuk melancarkan terorisme dalam negeri. Disebutkan pula pada dokumen lain beberapa bulan kemudian bahwa ETIM sudah melancarkan 200 serangan di Xinjiang dan menimbulkan 162 korban jiwa dan 440 luka.

Klaim-klaim di atas memang penting untuk meningkatkan kewaspadaan tentang potensi gerakan suku Uighur yang bekerja sama dengan Al-Qaeda. Namun demikian, Roberts menegaskan, nyaris tidak ada bukti-bukti tentang ETIM di luar dokumen dari otoritas Cina, sehingga sulit dibuktikan apakah militan-militan Uighur memang berada di Afghanistan dan punya koneksi dengan Al-Qaeda atau tidak.

Namun toh otoritas Cina terus mempromosikan ETIM sebagai ancaman global. Pada 2002, pemerintah AS resmi memasukkan ETIM dalam daftar “organisasi teroris”. Langkah tersebut disinyalir berkaitan dengan kesediaan Cina untuk mendukung program GWOT pemerintah AS, yang kala itu tengah menggalang dukungan untuk menginvasi Irak. Tak hanya AS, PBB ikut memasukkan ETIM dalam daftar terorisnya juga.

Menurut Roberts, labelisasi ETIM sebagai “organisasi teroris” menjustifikasi represi Cina terhadap masyarakat Uighur: atas nama “kontra-terorisme”. Roberts menyimpulkan bahwa ETIM yang dicap sebagai “organisasi teroris” tak lebih dari gerakan militan Uighur yang terinspirasi ajaran agama dan terfragmentasi yang tidak menimbulkan ancaman nyata bagi Cina atau komunitas internasional dalam 10 tahun pertama dimulainya kampanye GWOT. Roberts juga tidak mendapati bukti bahwa gerakan ini pernah mengerahkan kekerasan politik kepada warga sipil.

Di samping itu, di balik berbagai motivasinya untuk memerdekakan Xinjiang, sampai saat ini pun gerakan mereka dipandang tidak memberikan dampak apa pun pada status teritorial tersebut.

Pada 2020 silam, pemerintah AS di bawah administasi Donald Trump menghapus ETIM dari daftar organisasi teroris. Alasannya sederhana: sudah lebih dari sepuluh tahun tidak ada bukti yang menunjukkan ETIM masih eksis.

Menanggapi hal tersebut, profesor sejarah Cina dari Australian National University di Canberra Michael Clarke menyampaikan kepada Voice of America bahwa ETIM sudah kehilangan taringnya sejak ditinggal mati pemimpinnnya, Häsän Mäkhsum, pada 2003.

Pada 2004, organisasi bernama Turkestan Islamic Party (TIP) merilis video yang mengumumkan bahwa mereka menggantikan ETIM. Berbeda dari ETIM yang tidak pernah mengeluarkan pernyataan lewat media, TIP punya sumber daya untuk merilis video dan situs di internet. Tahun 2008, menjelang Olimpiade Musim Panas Beijing, TIP kembali merilis video yang melarang komunitas internasional menghadiri perhelatan olahraga tersebut.

Di samping itu, Clarke berpendapat bahwa penunjukan ETIM sebagai grup teroris tak lebih sebagai blanket term 'istilah selimut' bagi otoritas Cina dalam rangka “mendelegitimasi keluhan Uighur dan menjustifikasi represi yang meningkat.”

Beralih ke Taliban

Kembali ke pertanyaan di awal, mengapa Cina mendukung Afghanistan yang dikelola Taliban?

Jawabannya, Negeri Tirai Bambu berusaha pragmatis menyikapi kebangkitan kelompok yang punya riwayat panjang menindas hak sipil dan perempuan ketika berkuasa di periode pertama (1996-2001). Pemerintah Cina berharap besar pada rezim militan Islamis tersebut untuk memutus hubungannya dengan ETIM dengan iming-iming ekonomi.

Infografik Eastern Turkistan Islamic Movement

Infografik Eastern Turkistan Islamic Movement. tirto.id/Fuad

Tak lama setelah ibu kota Kabul jatuh ke tangan Taliban, Senin (16/8/2021), Kementerian Luar Negeri Cina menyatakan mereka siap “mengembangkan hubungan persahabatan yang ramah dan kooperatif dengan Afghanistan,” di antaranya melalui rekonsiliasi, rekonstruksi, dan pembangunan. Pada waktu yang sama, pemerintah Cina berharap Taliban serius menghalau gerakan teroris ETIM agar tidak mekar di Aghanistan sehingga mereka tidak mungkin melancarkan serangan kepada Cina.

Taliban memang tampak betul berupaya menampilkan wajah yang berbeda, yang lebih ramah dan damai, meski tetap tak dipercaya.

Mengutip artikel Asia Times awal Agustus kemarin, anggota-anggota ETIM dan grup militan bersenjata asal Pakistan, Tehreek-e-Taliban Pakistan (TTP), dikabarkan pindah ke perbatasan Afghanistan dari kawasan pegunungan Waziristan Utara di Pakistan setelah operasi militer Pakistan Zarb-e-Azb pada 2014. Petinggi ETIM dan TTP saat ini juga dilaporkan dapat suaka dan dukungan logistik di kawasan timur laut dan barat daya Afghanistan yang dikuasai Taliban.

Seiring PBB melaporkan Taliban belum benar-benar memutus hubungannya dengan Al-Qaeda, pengamat pun tidak yakin kesepakatan Cina-Taliban akan berjalan mulus seperti intelektual dan aktivis Pashtun, Afrasiab Khattak, kepada Asia Times. Menurutnyaharapan Cina bahwa Taliban akan memutus hubungan dari ETIM mungkin cuma angan-angan.

“Taliban belum melakukannya (memutus hubungan) dengan Al-Qaeda, Islamic Movement of Uzbekistan (IMU), TTP, dll. Mengapa mereka mau melakukannya dengan ETIM?”

Baca juga artikel terkait UIGHUR atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino