Menuju konten utama

Dan Islam Pun Semakin Berkembang di Negeri Cina

Survei menunjukkan 22,4 persen anak muda Cina memeluk agama Islam. Meski masih menjadi agama minoritas namun survei Pew mengungkapkan bahwa jumlah penganut Islam akan terus bertambah bahkan akan menjadi 29,9 juta pada tahun 2030. Bagaimana Islam masuk dan berkembang di Cina?

Dan Islam Pun Semakin Berkembang di Negeri Cina
Warga muslim di Cina berbuka bersama di Masjid Beijing saat bulan ramadhan. REUTERS

tirto.id - Islam tidak hanya berkembang di Timur Tengah, tetapi di wilayah lainnya termasuk Cina. Meski kini masih menjadi agama minoritas, tetapi Islam semakin populer terutama di kalangan generasi muda Cina.

Islam mulai masuk ke Cina pada abad ke-7. Menurut penulis Muslim Cina, Lui Tschih yang menulis tentang Kehidupan Nabi pada abad ke-18 dan dikutip Mohammed Khamouch dalam jurnal bertajuk Jewel of Chinese Muslim's Heritage, Islam masuk ke Cina dibawa olah Sa'ad Ibn Abi Waqqas.

Catatan tersebut mengungkapkan Abi Waqqas bersama tiga sahabat lainnya datang ke Cina dari Abyssinia yang sekarang dikenal dengan Ethiopia. Kala itu, Abyssinia atau Ethiopia adalah tanah bagi mereka yang melarikan diri dari penganiayaan suku Quraysh di Makkah. Mereka diberikan suaka politik oleh Raja Abyssinia, al-Habashi King Atsmaha Negus di kota Axum.

Perjalanan Abi Waqqas dan sahabat-sahabatnya ke Cina didukung oleh Raja Abyssinia. Setelah kunjungan pertama ke Cina, Abi Waqqas pergi ke Arab. Setelah 21 tahun di Arab, Abi Waqqas dan sahabat-sahabatnya kembali ke Cina. Kepergiaan kali ini atas perintah Khalifah ke-3 Utsman bin Affan. Mereka membawa salinan Alquran ke Cina untuk disebar ke negara tersebut.

Kedatangan kedua Abi Waqqas berlayar melalui Samudera Hindia ke Laut Cina menuju pelabuhan laut Guangzhou. Kedatangan Abi Waqqas diterima oleh Kaisar Kao Tsung dari Dinasti Tang. Ada perbedaan nama kaisar yang menerima Abi Waqqas dalam catatan masuknya Islam ke Cina.

Dalam buku Hamka yang berjudul Sejarah Umat Islam, dijelaskan bahwa kunjungan Abi Waqqas diterima oleh Kaisar Yong Hui pada 651 M. Sumber lain yakni BBC menyebutkan kaisar yang menerima Abi Waqqas adalah Yung Wei pada 650 M. Meski ada perbedaan nama kaisar, namun semuanya sama-sama menyebutkan kaisar dari Dinasti Tang.

Abi Waqqas memang diterima oleh Kaisar Cina, namun ajaran Islam tidak begitu saja diterima oleh sang kaisar. Setelah melalui proses penyelidikan dan dirasanya sesuai dengan ajaran Konfusius, barulah kaisar memberi izin untuk menyebarkan Islam.

Sang kaisar sendiri tidak memeluk Islam karena merasa bahwa kewajiban salat lima kali sehari dan puasa sebulan penuh terlalu berat baginya. Namun, Abi Waqqas dan sahabat-sahabatnya tetap diizinkan menyebarkan agama Islam di Guangzho.

Kaisar juga memberi izin untuk membangun masjid di wilayahnya. Masjid itu dikenal dengan Masjid Huaisheng atau dikenal dengan Lighthouse Mosque atau the Great Mosque of Canton. Masjid itu juga disebut sebagai Masjid Memorial yang merupakan masjid pertama di daratan Cina.

Di Cina, Abi Waqqas tidak hanya menyebarkan agama Islam. Ia juga memperkenalkan kondisi Arab dan perkembangan islam di Arab pada masa itu. Mereka juga mendapat pengetahuan soal kondisi Cina dan perkembangan ekonomi, agama dan kebudayaan yang disebut menjadi salah satu perhatian nabi Muhammad SAW saat hidup.

Memasuki usia 80 tahun, Abi Waqqas tutup usia. Catatan kematian Abi Waqqas memiliki dua versi. Menurut sejarawan Muslim Cina, Abi Waqqas meninggal di Guangzhou dan dikuburkan di daerah tersebut. Namun, ulama Arab mengungkapkan jika Abi Waqqas meninggal dan dimakamkan di pemakaman Jannatul Baqi' yang merupakan pemakaman utama di Madinah, Arab Saudi.

Dalam perkembangan berikutnya, ada dua jalur utama penyebaran Islam di Cina. Melalui penyebaran langsung ajaran agama Islam dengan dakwah dan adanya asimilasi pedagang Arab dengan penduduk Cina. Kong Yuan Zhi dalam tulisannya Muslim Tionghoa Cheng Ho mengungkapkan bahwa para pedagang Arab yang datang ke Cina umumnya kaum lelaki.

Dalam kebudayaan Cina, kaum perempuan menempati tempat kedua dari laki-laki yang juga sama dengan kebudayaan Arab yang menganut sistem patrilinial, di mana perempuan harus mengikuti suaminya setelah menikah. Atas dasar itulah perempuan-perempuan Cina yang menikah dengan pedagang Arab mengikuti agama suaminya. Ini menjadi salah satu cara yang ampuh dlaam penyebaran agama Islam di Cina. Tidak hanya pedagang Arab, sejarah mencatat pedagang Persia juga turut andil dalam penyebaran Islam di Cina.

Dari waktu ke waktu, Islam terus berkembang di negeri Tirai Bambu tersebut. Hingga saat ini ada 10 etnis minoritas di Cina yang memeluk agama Islam, seperti dilaporkan Antara. Sebagian besar etnis Hui dan Uygur. Berdasarkan riset Pew Forum on Religion & Public Life, pemeluk agama Islam di Cina mencapai 23,3 juta pada 2010. Xinjiang adalah wilayah dengan jumlah penganut Islam terbesar di Cina. Menurut CNN, ada sekitar 10 juta warga Muslim di wilayah tersebut.

Selain itu, ada sekitar 30 ribu masjid berdiri di tanah Cina dengan memiliki sekitar 40 ribu imam dan pengajar muslim. Menurut Asosiasi Islam Cina, sejak 1980 sudah ada sekitar 40 ribu Muslim Cina yang menunaikan ibadah haji.

Meski secara keseluruhan Islam masih menjadi minoritas di Cina, namun The China Religion Survey 2015 yang dirilis oleh National Survey Research Center (NSRC), Renmin University of China mengungkapkan, Islam adalah agama yang populer di kalangan anak muda Cina.

Infografik Islam di Cina

Survei menemukan bahwa di antara lima agama besar di Cina (Buddha, Islam, Tao, Katolik dan Protestan), Islam adalah agama dengan pemeluk muda yang berusia di bawah 30 tahun terbanyak, yakni 22,4 persen.

"Islam cenderung memiliki pemeluk lebih muda. Kebanyakan pemeluk Islam adalah kelompok etnis minoritas dan wanitanya biasa memiliki beberapa anak. Anak-anak mereka juga menjadi Muslim sementara sangat jarang orang dewasa yang masuk Islam," kata Wei Dedong, professor studi agama Buddha di Sekolah Filsafat di Universitas Renmin China, dikutip dari Global Times.

Katolik menempati posisi kedua pemeluk muda terbanyak dengan 22 persen. Sementara Buddha dan Tao, memiliki jumlah pemeluk terbesar di atas usia 60 tahun, meliputi 54,6 dan 53,8 persen dari total jemaah.

Survei juga menunjukkan bahwa Badan Pemerintahan Urusan Agama Cina mengunjungi tempat ibadah 3,8 kali per tahun dan Departemen Persatuan Front Pekerja (UFWD) mengunjunginya 1,8 kali dalam setahun. Menurut Wei Dedong, hal itu dilakukan untuk memperkuat hubungan antara pemerintah dan kelompok keagamaan.

Pemerintah Cina juga menerbitkan kertas putih terkait kebebasan berkeyakinan untuk emmebri kebebasan kepada penduduknya emmeluk agama termasuk agama Islam. Konstitusi Republik Rakyat Cina menyatakan "Republik Rakyat Cina menjamin warga negara memiliki kebebasan beragama," dan "Tidak ada organ negara, organisasi masyarakat atau individu dapat memaksa warga untuk percaya pada agama atau tidak beragama, tidak mendiskriminasikan warga negara beragama dengan warga negara yang tidak beragama."

Menurut konstitusi, "Negara melindungi kegiatan agama secara baik, namun tidak ada yang bisa memanfaatkan agama untuk mengganggu ketertiban umum, merusak ketentraman warga atau mengganggu sistem pendidikan negara."

Meski demikian, perkembangan Islam di Cina diwarnai dengan adanya berbagai diskriminasi. Misalnya larangan berpuasa pada Muslim Xinjiang yang notabene memiliki populasi muslin terbesar di Cina. Oktober lalu, pemerintah Cina melarang segala bentuk aktivitas keagamaan di sekolah-sekolah.

Menurut laporan Reuters, Pemerintah Cina menerapkan kebijakan pendidikan baru yang melarang para orang tua dan guru menyertakan anak-anak mereka dalam berbagai aktivitas keagamaan. Peraturan baru ini berlaku mulai November lalu.

Meski adanya pelarangan yang merugikan penganut agama Islam, namun popularitas Islam akan semakin meningkat di negera tersebut. Pew Forum on Religion & Public Life memperkirakan jumlah penganut Islam di Cina akan meningkat menjadi 29,9 juta di tahun 2030.

Baca juga artikel terkait ISLAM atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti