Menuju konten utama

Upaya Melemahkan KPK di Kasus Korupsi e-KTP

Upaya melemahkan KPK sebagai lembaga penegak hukum perkara korupsi kembali terasa, di tengah proses hukum skandal mega korupsi e-KTP yang sedang bergulir. Persoalan ini bukan terjadi kali ini saja.

Upaya Melemahkan KPK di Kasus Korupsi e-KTP
Penggiat anti korupsi melihat spanduk berisikan replika Kartu Tanda Penduduk (KTP) Elektronik di jalan Andi Pangeran Pettarani, Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (16/3). Lembaga Anti Coruption Committee (ACC) Sulawesi mendesak KPK untuk mengusut tuntas kasus mega korupsi e-KTP yang diduga melibatkan sejumlah anggota dan mantan anggota DPR yang merugikan negara hingga Rp2,3 triiliun. ANTARA FOTO/Darwin Fatir/ama/17.

tirto.id - "Setiap kali ada tersangka kasus korupsi juga kok dibela? Itu juga tidak tepat, mari kita bangsa bersama-sama agar korupsi harus dihilangkan dari negara kita. Langkah-langkah KPK jangan kemudian dihalangi seperti itu."

Perkataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo ini menanggapi tudingan miring yang dialamatkan kepadanya secara pribadi yang datang dari Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah.

Fahri Hamzah menilai Ketua KPK Agus Rahardjo punya konflik kepentingan dalam menangani kasus korupsi yang diduga merugikan negara sebesar Rp2,3 triliun. Tudingan itu didasarkan pada posisi Agus yang pernah menjabat sebagai Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP) yang memberikan pendapat mengenai pengadaan e-KTP. Fahri juga mengusulkan DPR menggunakan hak angket terkait kasus e-KTP.

“Kepentingan Agus Rahardjo sangat nampak, karena setelah audit BPK menyatakan kasus ini bersih, tetapi begitu Agus Rahardjo menjadi ketua KPK, kasus ini dijadikan kasus korupsi,” kata Fahri.

"Saya lihat yang tidak bersih itu ketua KPK. Karena itu dia harus mengundurkan diri. Dia tidak boleh terlibat dalam kasus ini," kata Fahri dikutip dari Antara.

Suara dari parlemen ini tentu menuai respons, selain Agus Rahardjo sebagai pihak yang ditunjuk langsung hidungnya, Kepala Biro Humas KPK, Febri Diansyah juga buka suara. Febri menegaskan tidak ada intervensi dari pimpinan KPK dalam penyidikan kasus dugaan korupsi e-KTP di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tahun anggaran 2011-2012.

“Kalau [disebut-sebut] ada intervensi tidak akan bisa dimungkinkan. Pimpinan sekarang terpilih akhir 2015, sedangkan penyidikan sejak 2014, penyelidikan sudah sejak sebelumnya. Jadi terlalu jauh kalau dihubungkan dengan personal pimpinan KPK,” kata Febri.

Sikap KPK ini memang cukup beralasan, selama beberapa tahun terakhir KPK sebagai lembaga yang menjadi andalan untuk memberantas korupsi menghadapi pelbagai kendala. Febri berharap pihaknya mendapat dukungan publik dalam menuntaskan kasus yang menyeret sejumlah politikus Senayan ini.

“Kami meminta pengawalan dari publik untuk penuntasan kasus ini karena berdasarkan pengalaman sebelumnya ketika KPK menangani perkara besar, KPK selalu mendapatkan perlawanan untuk melemahkan,” ujarnya.

Beberapa upaya-upaya melemahkan lembaga antirasuah ini memang sempat mencuat. Adanya desakan untuk merevisi undang-undang tentang KPK, hingga kriminalisasi kepada pimpinan KPK sempat mewarnai perjalanan lembaga ad hoc yang lahir dari Undang-undang (UU) nomor 30 tahun 2002 era pemerintahan Presiden Megawati.

INFOGRAFIK Usaha Pelemahan KPK

Upaya-upaya Melemahkan KPK

Upaya-upaya melemahkan KPK ini sudah terendus sejak lama. Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), terdapat sejumlah upaya pelemahan terhadap KPK yang dilakukan para koruptor maupun jaringannya.

Salah satunya adalah pengajuan permohonan uji materiil (judicial review) UU KPK ke Mahkamah Konstitusi. Menurut aktivis ICW, Emerson Yuntho sedikitnya ada 7 uji materi UU KPK dan berpotensi melemahkan KPK, seperti uji materi oleh mantan Ketua MK Akil Mochtar, khususnya mengenai kewenangan KPK dalam menuntut pelaku korupsi dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Usaha lain adalah pengkerdilan KPK, cara menghalang-halangi proses penyidikan dan penuntutan, seperti dalam kasus korupsi pengadaan simulator sim Mabes Polri. Kasus lainnya adalah upaya yang dilakukan sejumlah anggota Komisi III DPR yang mencoba menggagalkan pemindahan persidangan Wali Kota Semarang, Soemarmo dari pengadilan Tipikor Semarang ke Tipikor Jakarta pada 2012.

Cara melemahkan KPK lainnya yang kerap terjadi adalah kriminalisasi. Misalnya kriminalisasi dan rekayasa hukum terhadap pimpinan atau pegawai KPK, seperti yang dialami Bibit Samad dan Chandra Hamzah, serta penyidik KPK Novel Baswedan.

“Intimidasi terhadap pegawai, pejabat dan pimpinan KPK seperti ancaman bom terhadap gedung KPK dan pengepungan gedung KPK pada 5 Oktober 2012 untuk menangkap Novel Baswedan,” kata Emerson.

Namun, dari sekian banyak upaya melemahkan yang kerap memicu polemik adalah melalui revisi undang-undang. Upaya ini telah muncul sejak 2010 dan selalu mendapat penolakan publik hingga saat ini. Berdasarkan catatan ICW, misalnya, pada 4 Oktober 2012, rapat pleno Komisi III DPR menyetujui untuk melanjutkan naskah RUU Perubahan UU tentang KPK. Akan tetapi, pada 16 Oktober 2012, Panja revisi UU KPK akhirnya memutuskan menghentikan pembahasan revisi tersebut.

Tiga tahun berikutnya, yakni awal Oktober 2015, beredar naskah Revisi UU KPK yang diduga berasal dari gedung parlemen di Senayan. Akan tetapi, lagi-lagi pemerintah dan DPR akhirnya sepakat menunda pembahasan revisi UU KPK. Namun, pada 1 Februari 2016 revisi UU KPK mulai dibahas kembali dalam rapat harmonisasi Badan Legislasi di DPR RI.

Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyangkal bahwa upaya sosialisasi RUU KPK dikaitkan dengan pengungkapan kasus dugaan korupsi e-KTP, karena sejak 2016 rencana tersebut sudah dibahas di DPR.

“Saya kira ini sekadar tugas rutin dari BKD (badan keahlian Dewan) bukan hanya RUU KPK namun UU yang lain,” kata Fadli, seperti dikutip Antara.

Soal upaya melemahkan KPK juga sempat muncul terkait upaya mengurangi kewenangan KPK, misalnya KPK tidak boleh melakukan penyadapan. Artinya bila ide ini lolos dalam sebuah revisi UU KPK, maka lembaga anti korupsi ini tidak bisa lagi melakukan operasi tangkap tangan (OTT) yang selama ini jadi andalan KPK untuk membuktikan sebuah kasus korupsi.

Bagi perspektif penyelenggara KPK, UU KPK saat ini sudah dianggap cukup. Sehingga Kepala Biro Humas KPK, Febri Diansyah berharap kerja yang dilakukan KPK dalam menangani berbagai kasus korupsi, termasuk e-KTP atau kasus-kasus lain tidak diganggu dengan upaya-upaya pelemahan dari berbagai pihak termasuk dari DPR.

“Kami berharap kewenangan KPK jangan diganggu lagi oleh sejumlah pihak apalagi terkait dengan revisi Undang-Undang KPK dan ini bukan pertama kali berbagai pihak ingin bergerak, kalau kita baca rumusannya itu sebagian besar melemahkan KPK,” kata Febri.

Orang-orang ingin melemahkan KPK perlu mengingat kembali ucapan Presiden ke-5 Megawati setahun lalu, KPK sebagai lembaga yang dibentuk secara ad hoc lahir dan bergulir karena masih ada korupsi di Indonesia. Artinya bagi yang tak suka dengan keberadaan KPK maka tak perlu repot-repot menyuruh seorang pimpinan KPK mundur, apalagi berpikir melemahkan atau sampai ingin membubarkan KPK.

"Kalau kita bersih tidak korupsi, ya tentu saja dong KPK tak ada lagi," kata Megawati

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Hukum
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Maulida Sri Handayani