Menuju konten utama

Upaya Balai Kota Jakarta Mengakali Putusan MA soal Swastanisasi Air

Upaya penyesuaian kontrak kerja sama dengan pihak swasta memicu pertanyaan: Apakah Anies-Sandiaga serius menangani masalah air bersih di Jakarta?

Upaya Balai Kota Jakarta Mengakali Putusan MA soal Swastanisasi Air
Gubernur Anies Baswedan dan Wakil Gubernur Sandiaga Uno di hari pertama bekerja di Balai Kota Jakarta pada 17 Oktober 2017. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Sejak berkantor di Balai Kota, Anies Baswedan tak pernah mendapat pemberitahuan soal rencana restrukturisasi kerja sama pengelolaan air antara PAM Jaya, perusahaan daerah air minum Jakara, dan dua perusahaan swasta, PT PAM Lyonnaise (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta. Ketika pada 21 Maret 2018 agenda penandatanganan kontrak itu sampai kepadanya, atau sehari sebelum peringatan Hari Air Sedunia, Anies minta agenda itu dibatalkan.

"Kami tak ingin Balai Kota jadi tempat tanda tangan tapi kita tidak tahu isi tanda tangannya," kata Anies kepada wartawan, beberapa saat setelah agenda itu gagal dilaksanakan.

Anies meminta ketua Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan, Amin Subekti, untuk meninjau kontrak tersebut dan disesuaikan putusan Mahkamah Agung tentang swastanisasi air.

Belakangan, draf restrukturisasi itu tersebar dan sampai ke tangan Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta. Zainal Abidin, bagian dari Koalisi sekaligus anggota serikat pekerja air Jakarta, kesal setelah tahu kontrak itu mencantumkan perpanjangan kerja sama selama 25 tahun.

Ia menilai restrukturisasi itu adalah "akal-akalan untuk mengangkangi putusan MA" dan dilakukan dengan cara-cara kotor. Zainal juga menuding Dirut PAM Jaya, Erlan Hidayat, sebagai orang yang memasukkan poin perpanjangan kontrak 25 tahun dalam draf restrukturasi tersebut.

Tapi, mungkinkah Erlan berani memperpanjang kontrak itu tanpa sepengetahuan pemimpin baru Jakarta?

Pertanyaan itu memperluas syakwasangka Zainal. Menurutnya, Erlan tak mungkin seberani itu memperpanjangan kontrak tanpa ada dukungan dari pemimpin baru di Balai Kota. Ia menduga mantan direktur keuangan Jakarta Propertindo itu disokong oleh Sandiaga Uno.

Alasannya: Sandiaga pernah bermain dalam bisnis air Jakarta lewat Recapital, yang menguasai Aetra, sebelum terpilih sebagai wakil gubernur. Aetra, konsorsium swasta yang mendapatkan konsesi air bersih di kawasan timur Jakarta, dibeli Salim Group lewat PT Moya Indonesia pada Juni 2017. Sandiaga mengumumkan telah menjual semua sahamnya di Recapital sebelum maju dalam Pilkada Jakarta demi menghindari konflik kepentingan.

Toh, spekulasi Zainal didasari oleh sikap Sandiaga Uno yang memuluskan langkah Erlan untuk maju sebagai Ketua Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi) pada awal Desember 2017. Erlan diketahui mencalonkan diri sebagai ketua Perpamsi menggunakan surat rekomendasi "cacat" tanpa kop dan tanggal yang dikeluarkan oleh Sandiaga.

Zainal mengatakan direksi PAM Jaya, Aetra, dan Palyja pernah menggelar beberapa kali pertemuan di rumah Sandiaga Uno untuk membahas masalah restrukturisasi. Seorang mantan pekerja PAM mengatakan kepada Tirto bahwa pada 21 April 2018 ada pertemuan di rumah Sandiaga Uno di bilangan Kebayoran Baru, salah satu kawasan elite Jakarta.

Kami menemui komisaris baru Palyja, Abraham George Pattikawa, di kawasan Sudirman, Sabtu, 5 Mei 2018. Pattikawa adalah direktur Water Future Pte. Ltd., perusahaan yang berbasis di Singapura, yang membeli 51 persen saham Suez Environment, sekaligus direktur utama PT Mulia Semesta Abadi yang membeli 49 persen saham PT Astratel Nusantara. Baik Suez maupun Astratel adalah dua korporasi lama pemilik Palyja.

Pattikawa membenarkan soal pertemuan di kediaman Sandiaga tetapi sama sekali tidak ada pembahasan soal restrukturisasi atau perpanjangan kerja sama pengelolaan air di Jakarta. “Waktu itu ada acara sosialisasi pemakaian pipa air bersih,” katanya, merujuk pertemuan pada bulan Maret.

Sandiaga Uno menyangkal semua kabar soal pertemuan bersama direksi Aetra dan Palyja di rumahnya. Saat kami meminta konfirmasi, ekspresi Sandiaga berubah dan nada bicaranya tinggi. "Pertemuan apa? Tidak ada pertemuan. Semua pembahasan soal kebijakan, saya lakukan di Balai Kota," ujarnya medio April lalu.

Baca wawancara dengan Sandiaga Uno dan dana kampanye dalam Pilkada DKI Jakarta 2017:

'Bantuan Hukum' ke Kejaksaan demi Rencana Restrukturisasi

Ketua Koalisi Masyarakat Untuk Hak atas Air, Muhammad Reza Sahib, menilai kemenangan warga atas gugatan swastanisasi air Jakarta di tingkat kasasi, yang diumumkan Mahkamah Agung pada Oktober 2017, tak menjamin pengelolaan air bersih akan kembali sepenuhnya ke tangan Pemda DKI.

Menurut Reza, PAM Jaya menunjukkan upaya pembangkangan atas putusan MA dengan cara mengaburkan tafsir atas "pengembalian pengelolaan air" dari pihak swasta. Hal itu, salah satunya, dapat dilihat dari legal opinion atas putusan MA yang dikeluarkan Kantor Pengacara Negara Kejaksaan Tinggi DKI pada 23 Januari 2018.

Dalam surat itu, pendapat yang dikeluarkan Kejati nyaris sama dengan yang kerap diucapkan Erlan Hidayat, Dirut PAM Jaya, dalam menanggapi putusan MA. Dalam pandangan Erlan, poin-poin putusan MA tak secara eksplisit memerintahkan pemutusan kontrak dengan dua perusahaan swasta yang mengelola air bersih Jakarta, yang diteken sejak 1997 dan akan berakhir pada 2023.

Sama seperti Erlan, kesimpulan atas tafsir para pengacara Kejati mengarah pada penyesuaian kontrak kerja sama atau restrukturisasi.

Salah satu poin yang dikeluarkan oleh Kejati DKI menyebut: "untuk melaksanakan putusan Mahkamah Agung RI, pihak yang dihukum harus melakukan perubahan terhadap isi perjanjian dengan cara menyesuaikan bentuk kerjasama pengelolaan air minum, dengan merujuk pasal 56 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 112 tahun 2015 tentang Penyediaan Air Minum...."

Pendapat hukum dari Kejati itu dipakai sebagai pijakan untuk memuluskan rencana Restrukturisasi Kontrak antara PAM, Palyja, dan Aetra.

"Sayang sekali, berbagai kemenangan warga di ranah hukum untuk meluruskan negara mulai dari judicial review Undang-Undang Air, citizen law suit di PN hingga MA, malah ditelikung oleh pengacara negara," kata Reza.

Menurut Reza, restrukturisasi adalah barang usang setelah putusan MA memenangkan gugatan warga menolak swastanisasi air di Jakarta. Restrukturisasi, tambahnya, bisa saja dilakukan dalam rangka transisi sebelum pengelolaan air sepenuhnya dikendalikan oleh PAM Jaya.

Erlan Hidayat agaknya tak menyerah. Dua hari setelah pembatalan penandatanganan restrukturisasi, ia menandatangani perjanjian kerja sama antara PAM dan Kejati. Tujuannya, meminta bantuan hukum serta pendampingan untuk mengukuhkan rencana restrukturisasi.

Celah hukum yang bisa dimanfaatkan untuk memperpanjang restrukturisasi itu juga diketahui oleh konsorsium swasta.

Direktur Palyja Robert Rerimassie mengatakan tafsir putusan MA tak bisa disesuaikan menurut kehendak para penggugat swastanisasi. Karena itulah PAM Jaya meminta pendapat hukum kepada Kejati DKI.

“Lho masalah hukum itu tidak bisa ditafsirkan seenaknya. Maka kita serahkan kepada ahlinya. Ahlinya siapa? Ya kejaksaan. Dan mereka bilang enggak ada masalah, kan?” ujarnya kepada Tirto.

Putusan MA, Draf Restrukturisasi, dan Implikasinya

Wacana untuk memperpanjang kontrak melalui restrukturisasi juga diungkapkan oleh Konsultan PT Moya Indonesia, Sebastian Sharp, yang kami temui pada Jumat pertama Mei lalu di Kawasan Mega Kuningan. Moya adalah perusahaan milik konglomerat Anthony Salim yang mengakuisisi saham Sandiaga di Aetra. Sharp menjelaskan soal rencana Salim Group untuk memperpanjang kontrak kerja sama pengelolaan air di Jakarta.

Jika perpanjangan kerjasama dilakukan, Moya berniat melakukan pembenahan infrastruktur secara masif dengan memperbaiki dan membangun jaringan pipa yang baru. Dana investasinya cukup besar, kata Sharp. “Sekitar 300-400 juta dolar.”

Namun, untuk memperpanjang kontrak tersebut, Moya harus menunggu sampai batas waktu konsesi pengelolaan air berakhir pada 2023.

Opsi lain yang bisa dilakukan adalah merundingkan perpanjangan kerja sama melalui restrukturisasi kontrak pada tahun ini. "Kami lebih memilih opsi kedua. Opsi itulah yang saat ini sedang kami upayakan. Jadi, pemerintah tidak perlu menunggu lama sampai 2023 dan pelayanan bisa dioptimalkan segera," ujar Sharp.

Ucapan Sharp soal angka "25 tahun" bisa logis dengan upaya PAM Jaya mengajukan restrukturisasi kontrak dengan dua konsorsium swasta. Proses ini sudah dilakukan sejak 21 Maret lalu, yang urung diteken. Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta menilai restrukturisasi sebagai cara picik PAM Jaya memperpanjang kontrak dengan swasta.

Direktur PAM Jaya, Erlan Hidyat, membantah semua tudingan yang diarahkan kepadanya, termasuk soal pencantuman perpanjangan kontrak selama 25 tahun dalam draf restrukturisasi. “Tidak ada itu (perpanjangan) 25 tahun. Fitnah itu orang-orang LSM,” ujarnya saat ditemui di Balai Kota.

Dalam dokumen restrukturisasi kontrak yang kami simpan, angka 25 tahun memang muncul untuk menjelaskan jangka waktu berlakunya restrukturisasi—dalam dokumen disebut "Perjanjian Pernyataan Kembali." Tapi, 25 tahun yang dimaksud bukan perpanjangan kontrak hingga 25 tahun yang akan datang, melainkan “sampai dengan ulang tahun ke-25 (dua puluh lima) dari tanggal berlaku kerjasama (2023).”

Namun, jika kontrak kerja sama ditandatangani, PAM Jaya mau tak mau memperpanjang kerja sama pengelolaan air bersama swasta. Sebab, dalam pasal 2 (poin 2.4), tertulis PAM Jaya setuju untuk meneken kontrak baru berupa "Perjanjian Kerjasama Pengembangan" setelah kontrak 25 tahun pertama selesai.

Rikrik Rizkiyana, yang menjadi ketua bidang harmonisasi regulasi dalam Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan, mengatakan draf restrukturisasi masih perlu dikaji dan disesuaikan putusan MA. Namun, ia berkata bahwa menjalankan putusan MA bukan berarti harus memutus kontrak kerja sama yang telah dijalin oleh Palyja dan Aetra.

“Saya kira Anda tahulah arahnya ke mana,” kata Rikrik di kantornya di Balai Kota.

Baca laporan mendalam Tirto tentang dua pemilik baru swasta dalam pengelolaan air bersih Jakarta:

Upaya penyesuaian kontrak kerja sama dengan swasta alias restrukturisasi adalah perkara kunci bagi bisnis air Jakarta sesudah putusan MA. Dalam dua laporan kami yang terpisah, sejak Putusan MA dibuat pada April 2017 dan diumumkan ke publik pada Oktober 2017, terjadi perubahan kepemilikan swasta: Palyja dikuasai oleh Water Future dan PT Mulia Semesta Abadi, serta Aetra dibeli oleh Moya Indonesia yang dimiliki Salim Group.

Pertanyaannya, apakah pemilik baru ini tahu putusan MA yang menyetop kebijakan swastanisasi air minum di Jakarta?

Kami bertanya hal ini kepada Irwan Atmadja Dinata, Direktur Pelaksana Moya Holdings Asia dan Direktur Utama PT Moya Indonesia, yang mengatakan bahwa Anthony Salim mengakuisisi Aetra atas nama nasionalis semata. Ia membantah bahwa Sandiaga tahu soal putusan MA, yang mendasari mengapa Sandiaga menjual semua sahamnya di Aetra seharga 92,87 juta dolar AS kepada Moya pada Agustus 2017.

"Sumpah mati saya enggak pernah ketemu Pak Sandi. Apalagi Pak Anies, saya enggak kenal. Lagi pula saat proses take over, saya dilarang Credit Suisse untuk berkomunikasi dengan shareholders Acuatico ataupun Aetra," ujarnya, mengisahkan proses pengambilalihan Moya oleh Salim Group seharga Rp3,26 triliun pada Juni 2017.

Namun, Irwan tak membantah soal perpanjangan kerja sama yang akan dijamin dalam kontrak restrukturisasi. Karena itulah ia membenarkan pernyataan Bastian Sharp bahwa Aetra telah menyiapkan banyak dana untuk kerja sama pengembangan jangka panjang lewat Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha. Skema ini akan dibahas lebih detail dalam surat perjanjian lain yang dibuat setelah restrukturisasi berjalan.

Lama masa kontraknya, kata Irwan, “tergantung tarif air yang ditentukan oleh pemerintah.” Jika tarif yang diberikan kepada pelanggan lebih murah dari yang ada sekarang, maka kerjasama itu bisa mencapai masa 25 sampai 50 tahun. “Tapi kalau dipaksakan harus 3 sampai 7 tahun, harus tinggi tarifnya,” ujar Irwan.

Infografik Menyiasati Putusan MA

Butuh Iktikad Politik untuk Menyetop Swastanisasi

Pertanyaannya, apakah Anies Baswedan dan timnya tahu soal proses perubahan konsesi bisnis air di Jakarta?

Pada awal Februari 2018, Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta mengundang perwakilan Anies Baswedan untuk mendiskusikan rencana pengembalian pengelolaan air bersih ke pemerintah atau warga (remunisipalisasi). Namun, Anies mangkir dari pertemuan yang digelar di Gedung Djoang, Menteng, Jakarta Pusat itu.

Tak ada yang hadir dari pihak Pemprov DKI kecuali Ketua Bidang Pencegahan Korupsi TGUPP DKI Jakarta, Bambang Widjojanto. Namun, Bambang menyampaikan disclaimer bahwa ia datang sebagai individu masyarakat, bukan utusan Pemprov.

Dalam kesempatan itu Bambang mengatakan putusan MA tidak bisa langsung diterapkan oleh pemerintahan DKI. Ia menyarankan Koalisi mengajukan anmaning—upaya paksa agar tergugat melaksanakan putusan pengadilan dalam perkara perdata yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap—ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, untuk mendorong amanat itu dijalankan.

Meski demikian, saran itu belum dijalankan lantaran Koalisi masih percaya dengan komitmen Pemprov DKI Jakarta untuk menjalankan putusan MA secara sukarela. Belakangan, kepercayaan Koalisi terhadap Anies-Sandiaga memudar lantaran tim khusus remunisipalisasi air tak kunjung dibentuk.

Suhendi Nur, salah satu penggugat swastanisasi air Jakarta, mengatakan bahwa pernyataan dari Anies-Sandiaga tak cukup meyakinkan untuk mengambil alih seluruh proses pengelolaan air dari swasta.

“Kami sekarang justru semakin khawatir. Apalagi kami tahu bahwa Direktur PAM [Erlan Hidayat] selalu bilang tidak ada kerugian dari swastanisasi air. Ini aneh,” keluhnya. Merujuk temuan auditor BPK pada akhir tahun 2016, akumulasi kerugian yang ditanggung PAM Jaya sejak swastanisasi mencapai Rp1,2 triliun.

Anies Baswedan masih irit bicara soal langkah yang akan diambil untuk menghentikan swastanisasi air. Ia hanya pernah menyampaikan bakal membentuk tim khusus untuk mengkaji putusan tersebut. "Nanti kami jalankan. Nanti ada timlah," ujar Anies, tanpa menjawab kapan tim itu mulai dibentuk dan bekerja.

Direktur Amrta Institute Nila Ardhianie menilai dalam beberapa hal problem perkotaan, sikap Anies patut diapresiasi terutama mengangkat permasalahan air tanah di Jakarta. Apalagi banyak penelitian menunjukkan pengambilan air tanah di Jakarta sudah di luar ambang batas normal dan menyebabkan penurunan permukaan tanah sekitar 7-10 sentimeter per tahun.

Nila mengatakan upaya reumunisipalisasi air di Jakarta dapat terwujud jika ada iktikad politik dari pemimpin baru Jakarta. "Yang dibutuhkan sekarang adalah political will dari gubernur," kata Nila, karena kewenangan pengelolaan air Jakarta sepenuhnya di bawah pemerintah provinsi.

Percobaan restrukturisasi kontrak untuk memperpanjang umur swastanisasi air, terlepas siapa orang di belakangnya, menurut Nila adalah indikasi bahwa para pengusaha yang berkubang dalam bisnis ini tak akan diam begitu saja menghadapi putusan MA.

Nila mengisahkan sebuah pertemuan di Balai Kota sewaktu Jakarta dipimpin Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama. Pertemuan ini dihadiri oleh 40-an orang dari perwakilan masyarakat penggugat, kuasa hukum, dan pihak Pemprov.

Ahok sadar bahwa kerja sama dengan swasta tak membuat pelayanan air bersih ke warga Jakarta semakin baik. Karena itulah Ahok pernah berencana untuk mengakuisisi Palyja dan Aetra melalui dua perusahaan daerah, PAM Jaya dan Jakarta Propertindo.

Dalam pertemuan itu, ada yang mengusulkan gugatan dari Koalisi dicabut karena "Pemprov dan masyarakat sudah sejalan."

Masalahnya, waktu itu, gugatan Koalisi sudah bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Ahok, sebagai Gubernur DKI, menjadi salah satu pihak tergugat. Thus, Pemprov masih menunggu sampai sengketa di pengadilan itu selesai.

Namun, usulan itu ditolak oleh Ahok karena, "nanti kalau saya enggak jadi gubernur, kalian enggak ada pegangannya,” cerita Nila.

Ahok akhirnya kalah dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 serta dipidana lantaran kasus penodaan agama. Kini pengelolaan air bersih ditentukan di tangan dua orang yang memenangkan pertarungan: politikus Anies Baswedan serta pengusaha Sandiaga Uno, yang menyumbang 90 persen dana kampanye untuk kemenangannya.

==========

Koreksi: Redaksi mengubah sejumlah keterangan dari naskah semula karena ada beberapa cerita yang tidak akurat yang dikutip dalam naskah dengan yang disampaikan oleh narasumber. Terima kasih.

Baca juga artikel terkait SWASTANISASI AIR atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan & Hendra Friana

tirto.id - Politik
Reporter: Mawa Kresna, Aqwam Fiazmi Hanifan, Hendra Friana & Arbi Sumandoyo
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan & Hendra Friana
Editor: Fahri Salam