tirto.id - Sebuah gerobak berisi 20 jeriken air nampak di depan gerbang Balai Kota DKI Jakarta sekitar pukul 11.00. Air-air jeriken itu dituangkan ke ember-ember kosong oleh seorang pria, lalu dipakai untuk menyiram badannya sendiri—seperti sedang mandi—sambil berorasi.
Nama pria itu Kalil Charliem. Ia adalah nelayan Kali Adem, Jakarta Utara yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ). Kalil adalah warga Jakarta yang harus membeli air Rp5 ribu per jeriken untuk kebutuhan sehari-hari, mulai dari masak, mandi hingga mencuci. Air sumur di rumahnya sudah tak layak pakai karena warnanya keruh dan berbau busuk.
"Sehari kadang beli lima jeriken. Enggak pakai air PAM karena enggak ada [pipanya]," kata Kalil.
Aksi Kalil mandi di depan Balai Kota itu sebagai bentuk protes sekaligus simbol bahwa air bersih tidak bisa dinikmati semua golongan masyarakat. Ia tak melakukannya sendiri, tapi bersama puluhan orang lain, bertepatan dengan Hari Air Sedunia yang diperingati hari ini (22/3/2018).
Titik aksi dipilih bukan tanpa sebab karena ada pesan yang ingin disampaikan. Mereka ingin Pemprov DKI segera menyetop kontrak pengelolaan air bersih dengan dua perusahaan swasta, PT Aetra Air Jakarta dan PT PAM Lyonnnase Jaya (Palyja), sebagaimana yang diamanatkan Mahkamah Agung (MA) lewat Putusan Nomor 31 K/Pdt/2017.
Dalam putusannya, MA meminta Pemprov DKI Jakarta menghentikan apa yang disebut dengan swastanisasi air, atau penyerahan pengelolaan air ke perusahaan swasta. Pengelolaan air harus dikembalikan lagi ke pemerintah.
MA menyebut para tergugat, termasuk Pemprov DKI, telah "lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi Manusia atas air terhadap warganya."
Gubenur DKI Jakarta Anies Baswedan baru tiba beberapa jam setelah Kalil mengguyur badannya. Ia lalu mengundang beberapa perwakilan massa seperti Suhendi Nur dan Ahmad Zidane beraudiensi di ruangan Anies.
Dalam pertemuan itu warga meminta Anies untuk segera menjalankan putusan MA. Para pendemo khawatir karena Ketua Bidang Pencegahan Korupsi TGUPP DKI Jakarta Bambang Widjojanto pernah bilang kalau putusan MA tidak bisa serta merta dijalankan pemprov.
Selain itu, perwakilan massa juga mempertanyakan kabar soal rencana Pemprov DKI untuk menandatangani kontrak restrukturisasi antara PAM, Palyja, dan Aetra yang rencananya diteken Rabu (21/3) kemarin, tapi batal karena Anies merasa perlu untuk melihat dulu isi kontrak. Kontrak ini dimaknai sebagai salah satu upaya legal untuk secara bertahap menghentikan swastanisasi air di Jakarta.
Ketua Badan Pengawas PAM Haryo Tienmar mengatakan restrukturisasi itu akan memberikan kewenangan bagi PAM untuk melayani pelanggan secara penuh pada 2019. Namun, menurut Koalisi Masyarakat Sipil, tujuannya jelas bukan itu. Mereka curiga langkah PAM Jaya hanya memperpanjang kontrak saja.
"Sampai hari ini kami masih menunggu [Pemprov DKI melaksanakan putusan MA]. Tapi kok yang datang malah kabar restrukturisasi kontrak," kata Arif Maulana dari LBH Jakarta yang turut serta dalam audiensi kepada Tirto.
Memudarnya Kepercayaan
Awal Februari lalu, Koalisi Masyarakat Sipil mengundang perwakilan pemprov untuk mendiskusikan rencana pengembalian pengelolaan air bersih ke pemerintah atau warga (remunisipalisasi). Namun, hingga pertemuan yang digelar di Gedung Djoang, Menteng, Jakarta Pusat itu tak ada lagi yang hadir kecuali Bambang Widjojanto,, selaku Ketua Bidang Pencegahan Korupsi TGUPP DKI Jakarta. Dalam kesempatan itulah Bambang mengatakan kalau putusan MA tidak bisa langsung diterapkan.
Ia menyarankan koalisi untuk mengajukan anmaning—upaya paksa agar tergugat melaksanakan putusan pengadilan dalam perkara perdata yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap—ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Setelahnya barulah pemprov membentuk satuan tugas khusus yang diisi oleh perwakilan pemerintah dan masyarakat. Fungsinya, kata mantan komisioner KPK itu, untuk memperjelas langkah yang harus diambil demi menghentikan swastanisasi air.
Namun, saran itu belum dijalankan lantaran koalisi masih percaya dengan komitmen Pemprov untuk menjalankan putusan MA dengan sukarela. Kepercayaan semakin tebal karena, Wakil Gubernur DKI Sandiaga Uno sempat bilang ingin belajar dari mantan Wali Kota Paris, Anne Le Strat, yang berhasil melakukan hal serupa 2009 lalu.
Kepercayaan koalisi perlahan pudar karena tim khusus remunisipalisasi tak juga dibentuk. Anies Baswedan tak bicara banyak soal demo dan rencana untuk menghentikan swastanisasi air di Jakarta. Ia hanya menyampaikan bakal tetap menjalankan putusan MA dan membentuk tim khusus yang akan mengkaji putusan tersebut.
"Mereka mengharapkan agar amanat keputusan MA dijalankan. Nanti kami jalankan. Nanti ada timnya lah," ujar Anies, Kamis (22/3/2018). Namun, ia tak menjawab lebih jauh kapan tim tersebut bakal mulai dibentuk dan bekerja.
Soal Air Tanah
Masalah lain yang masih berkait dengan hak warga atas air adalah mengenai air tanah. Anies bilang kalau selama ini banyak yang mengambil air tanah secara berlebihan di Jakarta. Ia membuat tim khusus dari berbagai unsur, mulai dari Satpol PP, Dinas Sumber Daya Air, dan Balai Konservasi Air Tanah untuk mengatasi masalah itu. Pengambilan air tanah berlebihan menyebabkan kerugian ekonomi dan lingkungan.
"Yang menyebabkan tanah kita di Jakarta turun adalah sedotan air yang luar biasa banyak di tempat itu, [kemudian] limbah yang terbuang tanpa dikelola. Karena itu kita tidak akan menoleransi lagi."
Namun, bukan berarti pemakaian air tanah akan dihentikan sama sekali. Sandiaga Uno mengatakan perlu adanya peraturan daerah agar penggunaan air tanah bisa dikontrol dan ada landasan legal untuk itu.
"Untuk nyetop [penyedotan air tanah], belum. Tapi kan kita ingin sesuatu yang sangat serius," kata Sandi, Kamis, 15 Maret lalu.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Rio Apinino