tirto.id - Ketua Bidang Pencegahan Korupsi TGUPP DKI Jakarta Bambang Widjojanto menyebut bahwa putusan Mahkamah Agung (MA) untuk menghentikan swastanisasi air di Jakarta tak bisa serta-merta dijalankan oleh Pemprov DKI. Sebab, swastanisasi dilakukan atas dasar perjanjian kerjasama yang memiliki konsekuensi hukum.
"Ini tidak bisa otomatis dihentikan karena dasar dari perjanjian kerjasama itu ditopang oleh yang namanya letter of support yang dilakukan oleh Gubernur dan Menteri Keuangan," ungkap Bambang dalam diskusi bertajuk "Remunisipalisasi Pengelolaan Air Minum di Jakarta", di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (10/2/2018).
Kendati demikian, putusan MA bernomor 31 K/Pdt/2017 yang memerintahkan PT Aetra Air Jakarta, PT PAM Lyonnnase Jaya (Palyja) dan Pemprov DKI Jakarta menyetop swastanisasi air itu harus tetap dijalankan.
Itu sebabnya, kata Bambang, perlu juga dipikirkan langkah-langkah mendorong dilakukannya putusan MA. "Misalnya begini kalau Mahkamah Agung sudah membuat keputusan itu keputusan tidak langsung bisa jalan. Dalam hukum acara pihak yang merasa tidak diuntungkan itu harus dibuat aanmaning," imbuhnya
Aanmaning dapat diartikan sebagai upaya paksa agar tergugat melaksanakan putusan pengadilan dalam perkara perdata yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam Pasal 196 Herzien Inlandsch Reglement atau Reglemen Indonesia yang diperbarui, diatur bahwa aanmaning dapat dilakukan lewat Pengadilan Negeri atas permohonan pihak penggugat.
Setelah aanmaning dilakukan, barulah Pemprov dapat terdorong untuk memulai langkah swastanisasi. Namun, usul Bambang, dibutuhkan adanya task force atau satuan tugas khusus yang diisi oleh perwakilan pemerintah dan masyarakat. Fungsinya, untuk memperjelas langkah-langkah yang harus diambil Pemprov dalam penghentian swastanisasi air tersebut.
Sebab, meski keputusan MA sudah inkrah, swastanisasi harus dilakukan dengan penuh ketelitian dan kehati-hatian. Jangan sampai hal itu dilakukan tergesa-gesa dan justru menyebabkan kerugian di pihak pemerintah dan masyarakat.
Ia mencontohkan misalnya, Pemprov harus tahu apakah benar swasta selama ini telah melakukan kewajibannya dalam membangun infrastruktur pengelolaan air sebagai mitra pemerintah.
"Task force ini yang akan mengidentifikasi dan mengkaji sebuah infrastruktur udah seperti apa. Jangan sampai kemudian salah langkah, terus itu kan tadi ada informasi saham terjual. Bagaimana penjualan ini, ada pengaruhnya apa tidak dengan penyetopan swastanisasi," ujarnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa tak tertutup kemungkinan bahwa swastanisasi berlangsung dalam waktu lama. "Karena itu langkah teknis yang harus dipikirkan, nanti di task force itu bisa diambil langkahnya, mau langsung batalkan atau restrukturisasi dan sebagainya," imbuh mantan komisioner KPK tersebut.
Usulan dari Bambang tersebut ternyata diafirmasi oleh beberapa elemen yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) seperti Amrta Institute, KNTI, dan Suhendi (penggugat swastanisasi air Jakarta) serta Anne le Strat, mantan Direktur Utama Eau de Paris dan Wakil Walikota Paris bidang air, sanitasi, Public Service International and Trans National Institute.
"Kami mengusulkan sebuah kelompok kerja yang diberi mandat oleh Gubernur yang beranggotakan beragam elemen masyarakat termasuk pekerja dan masyarakat untuk memastikan sebuah proses pelaksanaan/eksekusi putusan Mahkamah Agung yang transparan dan terbuka bagi seluruh pemangku kepentingan," ungkap Direktur Amrta Institute Nila Ardhani kepada Tirto.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Agung DH