tirto.id - Mahkamah Agung (MA) melalui putusan Nomor 31 K/Pdt/2017 memerintahkan PT Aetra Air Jakarta, PT PAM Lyonnnase Jaya (Palyja) dan Pemprov DKI Jakarta menyetop swastanisasi air. Putusan kasasi ini juga meminta agar mengembalikan pengelolaan air di Provinsi DKI Jakarta sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 Tahun 1992 dan peraturan perundang-undangan lainnya.
“Menyatakan Para Tergugat lalai dalam memberikan pemenuhan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia atas air terhadap warga negaranya, khususnya masyarakat DKI Jakarta,” demikian bunyi putusan kasasi MA seperti dilansir laman resminya.
Dalam putusannya, MA menyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum karena menyerahkan kewenangan pengelolaan air di Jakarta kepada pihak swasta. Hal itu terwujud dalam Pembuatan Perjanjian Kerjasama (PKS) tanggal 6 Juni 1997 yang diperbarui dengan PKS tanggal 22 Oktober 2001 yang tetap berlaku dan dijalankan hingga saat ini.
Majelis hakim kasasi yang terdiri dari Nurul Elmiyah, Sunarto dan Panji Widagdo menyatakan bahwa Para Tergugat telah merugikan Pemerintah Daerah (Pemda) DKI dan masyarakat Jakarta. Dengan putusan MA tersebut, maka pengelolaan air di DKI tidak lagi diserahkan kepada swasta.
Baca juga:Jalan Panjang Gugatan Swastanisasi Air di DKI Jakarta
Lalu, bagaimana pelayanan air di DKI Jakarta selama ini?
Warga Cipinang Pulo, Jatinegara, Jakarta Timu, Diyani (55) mengatakan, dirinya sudah menggunakan jasa Perusahaan Air Minum (PAM) Aetra sejak 20 tahun terakhir. Selama berlangganan, Diyani mengaku air di rumahnya kerap bermasalah, dan baru lancar sejak setahun terakhir ini.
“Kalau dulu masih terus gitu [air mati]” kata Diyani saat dihubungi Tirto, Rabu (11/10/2017).
Namun demikian, kata Diyani, saat itu laporannya tidak langsung direspons oleh petugas. Pihak Aerta baru memproses dua minggu setelah keluhan soal air tersebut disampaikan. Petugas kemudian melakukan pergantian meteran. Diyani menuturkan, saat ini pihak Aetra selalu menginspeksi air yang mengalir di rumahnya.
Selama berlangganan, Diyani mengaku tidak pernah dikenakan biaya mahal. Ia hanya merogoh kocek sekitar Rp100.000 per bulan sesuai dengan kebutuhan air.
Sayangnya, air dari Aetra tidak bisa untuk dikonsumsi, bahkan sempat bau. Namun, kata Diyani, permasalahan bau saat ini sudah hilang, tetapi air masih mengandung kaporit.
Apabila ia ingin menggunakannya sebagai air minum, maka dirinya harus terlebih dahulu mendiamkan air itu selama 3 hari agar kaporitnya hilang. Akan tetapi, selama ini Diyani memilih hanya menggunakan air tersebut untuk mandi dan mencuci baju, sementara air untuk minum menggunakan air isi ulang.
Baca juga:Menggugat Privatisasi Air di Indonesia
Hal yang sama juga dialami Risdha Vimanda Nasution (21). Pria yang tinggal di Jalan Kesederhanaan, Jakarta Barat ini mengaku sudah pengguna jasa air Palyja sejak tahun 2003. Selama berlangganan, kendala air dari Palyja adalah soal kualitas air. Meski demikian, pemuda yang karib disapa Tion itu mengaku dirinya tetap menggunakan air dari Palyja tersebut untuk kebutuhan mandi, mencuci, bahkan minum.
“Yang paling sering kendalanya itu, kadang-kadang airnya suka keruh, tapi setahun terakhir gua perhatiin sudah enggak,” kata Tion kepada Tirto, Rabu (11/10/2017).
Selain keruh, Tion bercerita kalau air dari Palyja keluar sedikit. Air bahkan sempat tidak keluar saat dibutuhkan.
Permasalahan itu tidak hanya dialami oleh dirinya, namun juga oleh keluarganya yang juga berlangganan air Palyja.
Meskipun mengalami kekurangan, Tion mengaku pihak keluarga sudah mengatasi masalah tersebut. Menurut Tion, keluarganya telah memasang pompa air tambahan di rumah agar air yang keluar lebih banyak.
“Tapi malah justru tetangga gua yang enggak pakai [pompa air] suka jarang keluar," kata Tion.
Pemasangan pompa air tambahan itu pun, kata Tion, diketahui oleh pihak Palyja. Setiap akhir bulan, petugas Palyja mendatangi rumahnya. Mereka memeriksa penggunaan air keluarga Tion yang sehari-harinya bekerja sebagai pegawai swasta.
Tion mengaku, selama ini biaya air yang dikenakan kepadanya masih tergolong wajar. Tion mengaku tidak pernah merasa mahal karena biaya air yang dikenakan sesuai dengan pemakaian. Sebelum pemasangan pompa air, Tion bisa mengeluarkan uang mencapai Rp50-70 ribu per bulan. Namun, sejak memasang pompa air, keluarganya merogoh kocek hingga Rp 90-130 ribu per bulan.
Artinya, pengeluaran keluarga Tion untuk air lebih mahal saat dirinya memasang pompa tambahan. “Jadi memang tergantung pemakaian menurut saya," kata Tion.
Tion menilai, pelayanan petugas saat ini sudah cukup baik. Sebagai konsumen, Tion mengaku tidak pernah menemukan petugas yang nakal. Pria yang juga bekerja sebagai pegawai swasta itu berkata, petugas tidak pernah memainkan harga.
Tion berharap, pelayanan Palyja bisa lebih baik di masa depan. Salah satu contohnya adalah dengan memperbanyak gerai pembayaran. Dengan demikian, masyarakat bisa lebih mudah membayar biaya air setiap bulannya.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz