tirto.id - Uni Eropa mengumumkan perpanjangan larangan penjualan senjata atau embargo ke Myanmar dan memperpanjang sanksi terhadap pejabat tinggi atas peran mereka dalam krisis Rohingya, pada Senin (29/04/2019).
Dilansir dari Washington Post, Uni Eropa memperpanjang larangan penjualan senjata ini selama satu tahun atau hingga 30 april 2020. Selain melarang penjualan senjata ke Myanmar, Uni Eropa juga tidak bekerja sama dengan atau memberikan pelatihan kepada militer Myanmar.
Embargo senjata itu mencakup peralatan yang dieprkirakan bakal dapat digunakan untuk represi internal, larangan ekspor barang-barang yang akan digunakan oleh militer, dan polisi penjaga perbatasan.
Dilansir dari Aljazeera, sekitar 14 pejabat tinggi militer dan perbatasan berada di bawah sanksi individu dari Uni Eropa – melarang mereka melakukan perjalanan ke atau melalui wilayah Eropa dan membekukan aset apa pun yang mereka miliki di Eropa – atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk pembunuhan dan kekerasan seksual.
Uni Eropa telah mengadopsi kesimpulan tentang Myanmar pada bulan Desember 2018 dan meminta pemerintah Myanmar untuk mengambil “tindakan yang berarti” tanpa penundaan lebih lanjut.
UE juga menolak untuk bekerja sama dengan, atau memberikan pelatihan kepada militer Myanmar. Rohingya yang digambarkan PBB sebagai orang yang paling teraniaya di dunia, telah menghadapi ketakutan yang meningnkat akibat serangan yang menewaskan belasan orang dalam kekerasan komunal pada 2012.
Pada Agustus 2017, hampir tujuh ratus lima puluh ribu pengungsi Rohingya melarikan diri dari penumpasan militer Myanmar utara untuk menyebrang ke Bangladesh, tempat dimana tiga ratus ribu anggota Muslim minoritas telah lebih dulu mengungsi dan mendirikan kamp-kamp.
Banyak pengungsi Rohingya mengatakan telah terjadi pemerkosaan massal dan pembantaian, dan para pejabat PBB mengatakan tinda kekerasan yang terjadi membutuhkan penyelidikan genosida.
Sejak 25 Agustus 2017, hampir 24 ribu Muslim Rohingya telah dibunuh oleh pasukan negara Myanmar, menurut sebuah laporan oleh Ontario International Development Agency (OIDA).
Sekitar 18 ribu wanita dan gadis di Rohingnya diperkosa oleh tentara dan polisi Myanmar, dan lebih dari seratus lima belas ribu rumah Rohingnya yang dibakar, dan ditambah lagi dirusaknya seratus tiga belas ribu rumah, tambahnya.
Untuk dijadikan bukti, PBB telah mendokumentasikan pemerkosaan massal, pembunuhan – termasuk bayi dan anak kecil –dan pemukulan brutal yang dilakukan oleh pasukan negara Myanmar.
Dalam sebuah laporan, penyelidik PBB mengatakan, pelanggaran seperti itu mungkin merupakan kejahatan terhadap manusia dan niat genosida.
Editor: Yantina Debora