tirto.id - Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin menilai pernyataan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD bahwa Prabowo-Sandi menang di 'provinsi garis keras dalam hal agama' bisa memicu kontroversi.
"Sesungguhnya mungkin saja daerah tersebut tingkat keagamaannya kuat dan mendukung Prabowo. Pernyataan 'garis keras' ini lah yang memantik dan memicu kontroversi," kata Ujang kepada Tirto, Senin (29/4/2019)
Ujang berpendapat, meski beberapa daerah yang menjadi lumbung suara bagi Prabowo-Sandiaga di Pilpres 2019 memiliki kelompok Islam yang kuat, tidak bisa disebut sebagai 'provinsi garis keras'.
"Ketika Mahfud MD itu menyebutkan 'garis keras', sesungguhnya itu [maksudnya] adalah orang-orang yang kuat dan memiliki afiliasi dengan [Gerakan] 212. Tetapi, karena konteksnya daerah-daerah yang 'garis keras', itu yang menjadi persoalan," ujar Ujang.
Meski Mahfud tidak bermaksud untuk menyinggung para pemilih Prabowo, menurut Ujang, ucapan soal 'provinsi garis keras' itu tidak seharusnya disampaikan. Sebab, dia menilai pernyataan itu bisa memicu kesalahpahaman.
"Karena itu [Pernyataan Mahfud MD] banyak menyinggung. Oleh karena itu, wajar masyarakat banyak yang protes, karena tidak semua orang yang kuat secara agama, belum tentu juga sebagai 'garis keras'," kata dia.
"Inilah sebenarnya yang memicu persoalan," tambah Ujang.
Dosen Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno juga mengatakan, seharusnya sebagai Anggota Dewan Pengarah Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP), Mahfud MD tak mengucapkan pernyataan tersebut.
Dia menganggap pernyataan Mahfud soal 'provinsi garis keras dalam hal agama' tidak patut ditujukan ke salah satu paslon di Pilpres 2019.
"Pernyataan Mahfud mungkin niatnya baik, tapi penggunaan terminologi 'garis keras' itu tidak tepat. Kalau ada daerah tertentu yang memilih salah satu capres karena dasar agama itu bukan 'garis keras', itu pemilih sosiologis namanya," kata Adi.
Dia khawatir pernyataan seperti itu membuat proses rekonsiliasi antar-pendukung paslon setelah Pilpres 2019 menjadi terhambat.
"Kalau narasi dikotomis selalu dimunculkan, makin susah menemukan muara rekonsiliasi. Jadinya makin terbelah saja," ujar Adi.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Addi M Idhom