Menuju konten utama
Seri Dana Pensiun 2

Tua Merana tanpa Persiapan Pensiun

Kesadaran masyarakat Indonesia mempersiapkan dana pensiun masih rendah.

Tua Merana tanpa Persiapan Pensiun
Ilustrasi perencanaan dana pensiun. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Muda bekerja giat sibuk ke sana ke mari menunaikan tugas, ketika tua nanti tinggal leyeh-leyeh di rumah, jalan-jalan atau melakukan hobi yang belum sempat dilakukan.

Semua orang tampaknya ingin seperti itu. Misalkan seseorang mulai bekerja pada usia 25 tahun, pensiun pada usia 55 tahun berarti masa produktifnya 30 tahun. Setelah usia pensiun pada usia 55 tahun, jika masih hidup sampai usia 75, berarti masih ada 20 tahun lagi setelah pensiun. Masa 20 tahun ini diharapkan dapat diisi dengan berbagai kesenangan yang terlupakan ketika sibuk bekerja.

Sayangnya, berbeda sekali kenyataan yang ada. Sedikit yang ingat bahwa menikmati masa pensiun pun memerlukan biaya. Kemewahan leyeh-leyeh itu tidak dapat diperoleh serta merta, melainkan harus direncanakan dengan saksama.

Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan bahwa persentase pekerja yang memiliki program pensiun baru mencapai 13,5 juta pekerja saja atau sekitar 27 persen dari 50 juta pekerja formal di republik ini. Data dari Badan Pusat Statistik menyebutkan, jumlah pekerja informal sebanyak 68,2 juta yang sebagian besar juga tidak memiliki jaminan pensiun. Artinya, kesadaran untuk mempersiapkan diri menghadapi masa pensiun masih sangat rendah, baik dari sisi karyawan maupun pemberi kerja.

Deputi Komisioner Pengawas IKNB II OJK Dumoly Pardede memerinci lagi, dari jumlah tersebut, yang ikut serta dalam program jaminan pensiun BPJS sebanyak 9,13 juta orang dan peserta dana pensiun karyawan sebanyak 4,3 juta orang. Selain itu, ada pula peserta Tabungan dan Asuransi Pensiun (Taspen) mencapai 4,2 juta orang dan Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia sebanyak 940 ribu orang. Sisanya, masih belum tersentuh oleh program dana pensiun.

Jika dilihat dari rasionya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) baru mencapai 1,92%. Dibandingkan dengan negara tetangga, jumlah ini sangat kecil. Jika kita mengacu pada negara maju seperti Kanada misalnya, sudah mencapai 79% dari PDB. Maklumlah, Kanada sudah memulai program pensiun nasionalnya sejak tahun 1930-an.

Di negara tetangga dekat, Thailand rasio terhadap PDB ini sudah mencapai 6,6%. "Kita baru resmi mulai tahun 1992, misalkan bisa bersaing dengan Thailand, diharapkan kita dapat 6,6% atau 5% dalam jangka menengah," kata Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non Bank OJK Edy Setiadi di Seminar Internasional Dana Pensiun medio April lalu.

Berdasarkan hasil survei literasi dan inklusi keuangan 2016 yang dilakukan oleh OJK, tingkat literasi keuangan dana pensiun berada pada angka 10,91. Angka ini naik tiga persen dibandingkan dengan hasil survei 2013. Sementara tingkat inklusi keuangan dana pensiun mencapai 4,66 persen juga naik tiga persen dari tahun lalu.

Selain itu, beberapa survei yang dilakukan bank atau lembaga penyedia jasa keuangan lainnya juga menunjukkan hal serupa. Hasil survei Manulife Investor Sentimen Index (MISI) mendapati hampir 96 persen responden yakin akan memiliki gaya hidup yang sama atau hampir sama pada masa pensiunnya. Tetapi pada kenyataannya, sebanyak 24 persen responden hanya menyisihkan 10 persen dari tabungannya sebagai dana pensiun. Sekitar 57 persen berharap dapat mengumpulkan dana pensiun maksimal sebesar Rp100 juta. Jumlah tabungan dana pensiun itu akan habis dalam tiga tahun dengan asumsi rata-rata pengeluaran sebesar R 4 juta.

Dirut PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Indonesia Sonny Widjaja mengatakan, ada 90 persen pekerja yang tidak siap menghadapi pensiun karena merasa tidak memiliki persiapan finansial yang mencukupi.

Infografik Muda Berjaya tua Merana

Terlena

Kebanyakan para pegawai negeri sudah merasa cukup dengan tunjangan pensiun dari pemerintah, sehingga tidak perlu lagi mempersiapkan pensiun mandiri. Dulu pada tahun 1970-an, salah satu daya tarik menjadi pegawai negeri adalah memperoleh tunjangan pensiun. Ketika itu, belum banyak perusahaan yang memberikan tunjangan pensiun kepada karyawannya.

Lalu diperkenalkan Asuransi Tenaga Kerja (Astek) pada tahun 1977. Pemberi kerja baik swasta maupun BUMN wajib melindungi pekerjanya dengan program ini. Lalu pada tahun 1992 melalui UU no. 3 tahun 1992, dibentuklah Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Sesuai dengan amanat UU no. 24 tahun 2011, Jamsostek lalu diubah lagi menjadi BPJS Ketenagakerjaan.

Sebenarnya, mengandalkan program pensiun publik seperti BPJS saja juga tidak cukup. Pada tahun 2017, batas atas paling tinggi upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan program pensiun BPJS sebesar Rp7,7 juta. Manfaat maksimal yang diterima sebesar Rp3,8 juta dan minimal Rp319.450. Bagi mereka yang memiliki penghasilan lebih tinggi misalnya Rp10 juta, uang tunjangan pensiun publik ini akan terasa sedikit sekali.

Banyak cara untuk menambah dana pensiun seperti mempersiapkan dana pensiun mandiri melalui dana pensiun lembaga keuangan (DPLK) atau dengan membeli aset seperti reksa dana atau properti yang dapat memberikan arus kas ketika kita pensiun kelak. Daripada tua merana, lebih baik segera menyusun rencana untuk masa pensiun kita.

Untuk mengetahui lebih jauh tentang dana pensiun, silakan baca tautan berikutnya:

Mengenal Industri Dana Pensiun

Baca juga artikel terkait DANA PENSIUN atau tulisan lainnya dari Yan Chandra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Yan Chandra & Damianus Andreas
Penulis: Yan Chandra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti