tirto.id - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mendorong amandemen terbatas Undang-undang Dasar 1945 dan penetapan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara. Hal itu dilegitimasi lewat sikap resmi PDIP dalam kongres V di Sanur, Bali.
Dengan amandemen terbatas, MPR mempunyai kewenangan menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan.
Ketua DPP PDIP, Ahmad Basarah mengatakan mereka membuka diri untuk berkomunikasi dengan partai-partai di luar koalisi agar amandemen terbatas UUD 1945 bisa mulus dan disepakati di parlemen.
Menurut Basarah, salah satu upaya yang dilakukan yakni dengan menawarkan komposisi pimpinan MPR kepada partai koalisi pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno pada Pilpres 2019.
"Kami akan menyepakati komposisi pimpiman MPR dari Koalisi Indonesia Kerja atau bersama-sama dengan unsur dari Koalisi Indonesia Adil Makmur yang bersepakat, yang commited, yang setuju diadakannya agenda amandemen terbatas UUD 1945," tegas Basarah di kawasan Sanur, Bali, Ahad (11/8/2019).
Transaksi Poltik
Namun, apa yang dilakukan PDIP ini dinilai Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, sarat nuansa politik ketimbang memperkuat sistem demokrasi. Ia khawatir ada transaksi politik antara PDIP dengan partai-partai lainnya agar bisa memuluskan amandemen terbatas UUD 1945 tersebut.
"Amandemen ini dimanfaatkan sebagai alat transaksi untuk mendapatkan kursi pimpinan MPR. Saya kira ini menjadi aksi politik yang tak layak didukung. Bayangkan parpol menengah yang juga ngebet mau dapat kursi pimpinan terpaksa menyetujui ide amandemen ini," ujar Lucius kepada Tirto, Senin (12/8/2019).
Menurut Lucius, GBHN berpotensi mengunci presiden dalam menjalankan pemerintahan jika dihidupkan kembali. Selain itu, jika MPR jadi lembaga tertinggi negara, maka dikhawatirkan bisa menekan presiden sesuka hati.
"Saya kira masih sulit untuk percaya pada parpol-parpol ini. Mereka harus membereskan diri sendiri dulu sebelum minta ruang kekuasaan yang lebih besar lagi," ujarnya.
Lucius menyarankan PDIP untuk mengkaji secara komprehensif rencana amandemen terbatas UUD 1945 tersebut.
"Jangan hanya karena jadi pemenang lalu sesuka hati bermanuver untuk sesuatu yang tak ada jaminan kesuksesannya," ujarnya.
Upaya Kendalikan Presiden
Sementara itu, Direktur Pusat Studi dan Kajian Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Padang, Feri Amsari menilai alasan PDIP ngotot mengamandemen UUD 1945 agar bisa mengendalikan presiden, meski mereka salah satu partai pengusung Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Apalagi, kata dia, PDIP merupakan pemenang Pileg 2019.
Menurut Feri, MPR bisa mengendalikan seluruh ketatanegaraan jika menjadi lembaga tertinggi negara. Presiden juga bertanggung jawab untuk melaksanakan apa yang dikehendaki MPR melalui GBHN.
"Jadi bukan tidak mungkin PDIP mengendalikan Presiden Jokowi, karena ketum partai [Megawati] punya pandangan-pandangan tersendiri, jadi digunakanlah MPR sebagai alat mengendalikan Presiden," kata Feri kepada reporter Tirto, Senin (12/8/2019).
"Ini merupakan upaya menegasikan sistem presidensial dan meletakkan lagi nuansa sistem parlementer dalam presiden kita dengan meletakan MPR sebagai tertinggi," tambahnya.
Feri juga melihat apa yang tertuang dalam GBHN terlalu umum dan tak detail sehingga presiden bisa saja dituduh melanggar GBHN.
"Menurut saya, presiden harus betul-betul mencermati isu ini, jangan kemudian pemberian kewenangan baru ke MPR bisa merusak sistem ketatanegaraan kita," imbuhnya.
Namun, Ahmad Basarah membantah jika apa yang dilakukan PDIP dengan mendorong amandemen 1945 dan menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara untuk tujuan mengendalikan Presiden Joko Widodo.
Menurut Basarah, konsep GBHN yang diusulkan PDIP berbeda dengan GBHN zaman orde baru di mana presiden sebagai mandataris MPR. Ia memastikan presiden dan wakil presiden tetap dipilih secara langsung oleh rakyat.
"Kami perlu memastikan tentang kepastian hukum pembangunan nasional. Siapapun presiden, gubernur, bupati, wali kota, harus sesuai dengan road map pembangunan nasional," jelasnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Gilang Ramadhan