Menuju konten utama

Tolak UU Kesehatan, Demokrat: Negara Abai Hak Dasar Warga

Demokrat menyoroti penghapusan kewajiban alokasi anggaran di bidang kesehatan minimal 5 persen yang ditetapkan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Tolak UU Kesehatan, Demokrat: Negara Abai Hak Dasar Warga
Ketua DPR Puan Maharani (kedua kanan) menerima dokumen pandangan pemerintah dari Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (kiri) disaksikan Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel (kanan), Lodewijk Paulus (kedua kiri) saat Rapat Paripurna ke-29 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2022-2023 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/7/2023). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/foc.

tirto.id - Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat, Kamhar Lakumani menilai pengesahan Omnibus Law RUU Kesehatan menjadi undang-undang oleh DPR dan pemerintah mengabaikan hak dasar warga.

Kamhar menyoroti penghapusan kewajiban alokasi anggaran (mandatory spending) di bidang kesehatan minimal 5 persen yang ditetapkan pemerintah era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY. Ia mengklaim Fraksi Partai Demokrat memperjuangkan agar angka itu ditingkatkan.

Dia mengatakan pemerintah telah menunjukkan keberpihakan dan prioritasnya melalui UU Kesehatan.

"Bukan pada [pembangunan] manusianya, melainkan pada pembangunan fisik," kata Kamhar saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (12/7/2023).

Menurut Kamhar, sempitnya ruang gerak fiskal menunjukkan pemerintah memilih mengorbankan belanja pemenuhan hak dasar warga negara demi pembangunan fisik dan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN).

"Mengejar legacy dan glorifikasi diri. Ini sangat mencederai semangat keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," ujarnya.

Kamhar menyinggung janji kampanye Presiden Joko Widodo alias Jokowi pada Pilpres lalu yang menyatakan "dananya ada, dananya siap". Ternyata semuanya, kata dia, hanya kebohongan besar.

"Malah demi memenuhi ambisi IKN yang dipaksakan dana pemenuhan hak dasar rakyat yang dipangkas," tutur Kamhar.

Kamhar menilai Jokowi tak memahami pada hakikatnya pembangunan untuk manusia, bukan sebaliknya.

Lebih lanjut, Kamhar menyatakan penghapusan mandatory spending dalam UU Kesehatan memiliki konsekuensi yang sangat besar. Termasuk pada 96,7 juta penduduk miskin peserta Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI JK) yang selama ini bersumber dari anggaran tersebut.

"Penghapusan ini akan kembali menghidupkan pemeo ‘sakit sedikit jadi miskin, dan orang miskin dilarang sakit’," tukas Kamhar.

Menurut Kamhar, hal itu hanya sekelumit dari banyak persoalan lainnya di balik Omnibus Law UU Kesehatan yang ditentang organisasi profesi di bidang kesehatan.

Kamhar menuding praktik pembuatan undang-undang yang minim partisipasi publik hanya sekadar melayani kepentingan oligarki seperti ini bertentangan dengan janji kemerdekaan.

"Kami mengajak seluruh insan kesehatan untuk berjuang bersama mewujudkan perubahan dan perbaikan," pungkas Kamhar.

Baca juga artikel terkait OMNIBUS LAW UU KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Gilang Ramadhan