tirto.id - Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) menyayangkan pemerintah yang hanya melihat ekosistem pertembakauan sebagai elemen parsial dalam proses penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan tentang Zat Adiktif.
"Kami menghargai niat baik pemerintah dalam menyusun regulasi ini, namun juga harus dilandaskan itikad baik. Boleh lah kiranya melihat dan mempertimbangkan berbagai aspek. Bahwa dalam amanah UU Kesehatan itu sendiri pertembakauan harus diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri bukan dalam satu RPP yang menggabungkan semua hal," ujar Hananto Wibisono, Sekretaris Jenderal AMTI, dalam sesi Public Hearing Penyusunan RPP Kesehatan tentang Zat Adiktif, Rabu (20/9/2023).
Padahal, pasal 435 hingga pasal 460 tentang Pengamanan Zat Adiktif di RPP Kesehatan bukan mengatur secara berimbang seperti disampaikan dalam Public Hearing, melainkan berupa pelarangan yang sangat restriktif terhadap berbagai aktivitas elemen hulu hingga hilir ekosistem pertembakauan.
Ia menambahkan, dampak dari pelarangan dalam RPP ini sangat luas. "Ada banyak sekali elemen dan jutaan orang yang bergantung penghidupannya pada ekosistem pertembakauan. Usulan AMTI, marilah kita membicarakan pengaturan ekosistem pertembakauan secara seksama sehingga dapat melahirkan regulasi yang adil, berimbang, dan tidak menegasi satu pihak," sebut Hananto.
Merunut pada proses penyusunan regulasi pertembakauan sejak akhir tahun lalu, mulai dari masifnya dorongan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, hingga riuhnya polemik penyusunan UU Kesehatan, Hananto berharap pemerintah dapat melihat bahwa ada banyak aspek yang perlu dipertimbangkan, khususnya kesejahteraan semua pihak yang terlibat mata rantai industri hasil tembaku.
Pengamat hukum dari Universitas Trisakti, Ali Ridho yang turut memberi masukan terkait Pengamanan Zat Adiktif merekomendasikan kepada Kementerian Kesehatan untuk tidak hanya fokus pada bahasan substantif RPP Kesehatan, namun juga harus menaruh perhatian pada teknis peraturan perundang-undangan itu sendiri.
"Patut diingat bahwa wujud peraturan yang baik dan benar itu ketika secara teknis formalnya dapat diimplementasikan secara baik. Harapannya RPP Kesehatan ini juga jelas dan tegas dalam konteks pengaturannya," kata Ali Ridho.
Ridho menjelaskan, sesuai dengan narasi diksi yang disebutkan dalam pasal 152 UU Kesehatan Nomor 17 tahun 2023 bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai Pengamanan Zat Adiktif, berupa produk tembakau dan rokok elektronik, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
"Materi muatannya berbeda maka pengaturan tentang zat adiktif harus dibuat satu peraturan mandiri. Jika dilihat dalam RPP saat ini, ketika zat adiktif dimasukkan dalam satu RPP, berarti menghindari putusan MK yang sudah menegaskan soal penyelarasan narasi diksi," tegas Ali Ridho.
Ia juga mempertanyakan terkait ketentuan sanksi denda administratif dalam pasal 443 yang menyebutkan denda administratif sebesar Rp500 juta. Bahwa pernyataan sanksi ini perlu direfleksikan kembali, sebab kontradiktif dengan yang diamanatkan dalam UU Kesehatan.
Begitu juga dengan pemberian sanksi terkait Pasal 439 berupa larangan bagi setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor produk tembakau kurang dari 20 batang dalam setiap kemasan akan dikenakan sanksi administratif dan penarikan produk.
"Ada cacat logika di pasal ini sehingga harus ditelaah lagi. Kata dan merujuk bahwa sanksi yang diberikan bersamaan, serta merta. Sulit untuk memahami logika pengenaan sanksi seperti ini. Harus menjadi pertimbangan lagi," tutupnya.
Penulis: Intan Umbari Prihatin
Editor: Maya Saputri