tirto.id - “Konsumsi narkoba dimulai saat ayah membawaku ke Portugal Selatan, ke Algarve, di mana aku bertemu dengan pecandu lain. Hidup waktu itu terasa glamor. Pacarku seorang penjual narkoba, dan aku juga mendorongnya untuk memakainya. Kami menghasilkan banyak uang. Sekarang ia telah pergi, tapi kecanduan ini masih kualami.”
Perempuan yang tak mau menyebutkan namanya kepada Al Jazeera itu kemudian menenggak secangkir kecil metadon, lalu pergi.
Laporan koresponden Al Jazeera Jurrian van Eerten berjudul "Portugal: Fifteen years of decriminalised drug policy" juga mengisahkan Veronica, yang turut datang ke mobil kesehatan untuk meminta metadon pengganti heroin. Dua gigi depannya sudah tanggal karena kecanduan. Ia ingin sembuh, tapi kondisi sakau kerapkali menyiksa dengan amat sangat. Metadon bisa jadi pengganti sementara—setidaknya cukup untuk menghindarkan Veronica dari heroin dan resikonya yang lebih mengerikan. Lagipula pemerintah menyediakannya secara gratis, di hampir seluruh distrik di Portugal.
Hugo Faria adalah seorang psikolog yang bekerja untuk program pengelolaan metadon di lembaga kesehatan Ares do Pinhal. Metadon, katanya, adalah langkah paling awal penyembuhan seorang pecandu heroin. Sasarannya mereka yang kerap berada di jalanan baik untuk membel ataupun memakai. Langkah ini barangkali jarang ditemui di negara lain, tapi justru sangat ampuh untuk mendekati para pecandu.
Setidaknya, kata Faria, para pecandu yang ingin sembuh tak perlu mencuri atau merampok ketika hasrat terlarang itu datang. “Tak ada tekanan. Bahkan jika ada orang yang datang untuk mendapat metadon selama bertahun-tahun lamanya, akan tetap kami layani. Setidaknya dengan demikian kami bisa sekalian mengawasi kesehatannya, dan bisa terus menjalin kontak dengan mereka,” tutur Faria kepada Al Jazeera.
Baca juga: Jennifer Dunn, Hidup Selebritas, dan Candu Narkoba
Van Eerten menyebutkan, pertengahan 1990-an adalah masa puncak bagi ekstensi narkoba di Portugal. Heroin dan barang haram yang sejenis memasuki negara di ujung barat Eropa itu secara perlahan namun pasti. Hingga mendekati akhir 1990-an statistik menunjukkan satu persen dari total penduduk Portugal adalah pemakai narkoba. Angka rata-rata dari seluruh penduduk Uni Eropa saja hanya 0,4 persen, demikian menurut SICAD, instansi pemerintah yang khusus menangani masalah narkoba.
Di ibu kota Lisbon orang-orang mendapatkan narkoba bak di orang Indonesia beli gorengan. Para pecandu hampir tak kenal tempat saat mengonsumsinya: taman kota, trotoar, dan ruang publik lain. Kasus overdosis tinggi. Mayat korban biasa ditemukan di sudut-sudut kota. Sementara angka kriminalitas juga naik dan membuat daerah Portugal Selatan yang biasanya menjadi tempat wisata menjadi sepi.
Pemerintah kemudian membentuk sebuah tim yang terdiri dari komite hakim, psikiater, dan ilmuwan untuk menentukan solusi terbaik. Saran yang dihasilkan agak radikal: legalisasi seluruh jenis narkoba, mulai dari ganja hingga heroin. Hal ini bagi mereka bisa membuka kesempatan bagi penanganan pengguna sebagai pasien, bukan kriminal.
Namun menurut kepala SICAD Dr. Joao Goulao rencana tersebut terlalu bertentangan dengan sistem konvensi obat-obatan terlarang PBB. Goulao adalah salah satu pembuat kebijakan yang sedari awal memandang setumpuk masalah di hadapannya sebagai persoalan kesehatan. Setelah beragam kompromi, usulan tim dibawa ke parlemen pada tahun 2000, dan mendapat sambutan yang positif.
Pada bulan Juli 2000 undang-undang baru disahkan untuk merevisi penanggulangan narkoba, khususnya terkait ilegalitas kepemilikan dan penggunaan tanpa seizin otoritas berwenang. Pelanggaran diubah dari yang dulunya hukuman penjara menjadi hukuman administratif yang sifatnya lebih lunak. UU ini otomatis men-dekriminalisasi pengguna narkoba dan diperlakukan sebagaimana pasien yang berhak mendapat kesembuhan serta kehidupan yang kembali normal.
Baca juga: Seleb dan Narkoba: Lebih Banyak yang Dipenjara Ketimbang Direhab
Merujuk laporan Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan, jika seseorang memiliki narkoba dalam jumlah kecil yakni kurang dari 10 hari persediaan, ia takkan langsung dijebloskan ke bui. Ia akan ditemui oleh Commission for the Dissuasion of Drug Addict (Comissões para a Dissuasão da Toxicodependência – CDT) yang terdiri dari tiga orang: pekerja sosial, psikiater, dan pengacara. Lembaga inilah yang akan menentukan nasib si pengguna berdasarkan sederet jenis sanksi.
Di antara sanksi tersebut adalah denda yang hitungannya setara dengan gaji satu jam kerja, dicabut sementara izin pekerjaannya yang bisa membahayakan nyawa orang lain (supir, dokter, dsb), dilarang pergi ke tempat khusus (kelab malam, dsb), dilarang menjalin komunikasi dengan orang tertentu, dilarang pergi ke luar negeri, wajib lapor ke CDT tiap jangka waktu tertentu, dicabut hak membawa senjata api, disita sejumlah barang pribadinya, dan dihentikan subsidi yang diterima dari negara.
Jika ia berstatus sebagai pecandu, dan ini yang paling diutamakan, ia akan didaftarkan ke program rehabilitasi. Program ini gratis alias ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah. UU tahun 2001 tak bisa berjalan tanpa adanya jaminan kesehatan universal untuk seluruh warga Portugal. Sehingga dalam penerapannya kementerian kesehatan di negara itu mendapat dana negara yang lebih besar.
Pengeluaran tahunan pemerintah Portugal khusus untuk program anti-narkoba, menurut laporan SICAD yang diberikan Goulao kepada Al Jazeera, naik dari $49 juta pada tahun 2001 menjadi $77 juta di tahun 2002. Kenaikan serupa terjadi hingga tahun 2008 atau ketika krisis ekonomi global menyerang. Ada penurunan, namun dana besar untuk program anti-narkoba tetap menjadi prioritas pemerintah Portugal.
Dahulu polisi Portugal menjadikan pecandu sebagai jalan untuk menangkap pemasok, distributor maupun produsen. Sebagaimana kepolisian banyak negara bertindak, dampaknya ternyata represif untuk para pecandu. Di era 1970-an hingga 1990-an mereka dipandang berbahaya, juga oleh masyarakat luas yang belum paham bagaimana menghadapi pecandu. Pecandu, dipandang bak monster yang harus dihindari—jika bisa, dilenyapkan.
Baca juga: LBH: Tembak Mati Pengedar Narkoba Hanya 'Gagah-gagahan' BNN
UU tahun 2001 turut membantu pandangan tersebut. Hukuman keras tidak akan membantu pecandu keluar dari masalahnya. Namun UU tersebut juga bukan jalan melegalkan narkoba. Perburuan produsen, distributor, dan penjual narkoba tetap dilakukan, dan pelakunya tetap menghadapi hukuman yang berat. Perlakuan yang lebih lunak menyasar pada pecandu yang selalu diasumsikan mau untuk lepas dari barang haramnya.
PBB sempat menyatakan ketidaksetujuannya pada UU tahun 2001, yang meskipun sudah tak seradikal rencana awal, tetap mengandung kesan tak mampu untuk mengatasi pekatnya persoalan narkoba di Portugal. Namun setelah 15 tahun lebih berjalan, kerja keras pemerintah Portugal mulai mendulang dampak positif. Masih menurut laporan van Eerten, saking suksesnya program tersebut, PBB kini mendorong negara-negara lain untuk meniru langkah Portugal.
Transfer Drug Policy Foundaton, lembaga think-tank dari Inggris, pada tahun 2014 menerbitkan laporan yang menunjukkan bahwa angka overdosis di Portugal turun secara signifikan berkat program anti-narkobanya yang cukup radikal.
Open Society Foundation, lembaga swadaya yang kerap mengadvokasi kebijakan anti-narkoba di berbagai negara, melaporkan bahwa usia pengguna narkoba untuk pertama kali bertambah. Artinya pengguna narkoba pemula usianya kini tak sedini dahulu. Lebih lanjut, menurut Pusat Pemantauan Obat dan Ketergantungan Obat Eropa, pengguna usia 15-19 tahun yang menjadi target pengedar terbesar, juga menurun drastis.
Baca juga: Dilema Hukuman Rehabilitasi Narkoba
Sejak pemerintah merangkul para pecandu, pelayanan rehabilitasi mencatat anggota baru secara signifikan. Menurut riset The Beckley Foundation Drug Policy Programme, pada tahun 2012 angka kenaikannya mencapai 60 persen dan hingga tahun 2017 masih dalam persentase yang tinggi. Kenaikan jumlah pengguna narkoba usia dewasa di Portugal jadi yang paling lambat dibanding negara Eropa lain.
Menurut riset Caitlin Elizabeth Hughes dan Alex Stevens yang dipublikasikan The British Journal of Criminology, terjadi penurunan angka kejahatan terkait penggunaan narkoba. Nilai (harga) narkoba dalam berbagai jenis yang diperjualbelikan oleh pemasok dan pembeli secara ilegal juga berkurang.
Pusat-pusat kesehatan di Portugal dulu ramai oleh orang-orang yang meregang nyawa karena terserang HIV/AIDS akibat penggunaan jarum suntik heroin yang tak aman. Sejak kebijakan menurut UU tahun 2001 dilaksanakan, menurut data Pusat Pemantauan Obat dan Ketergantungan Obat Eropa, angka diagnosis HIV baru di kalangan pengguna narkoba turun sebesar 17 persen. Infeksi HIV di kalangan pengguna narkoba juga turun hingga 90 persen.
Menurut laporan Independent, kini jarang ditemui mayat-mayat pengguna narkoba yang overdosis di sudut kota-kota di Portugal. Merujuk sebuah riset British Medical Journal, kematian akibat narkoba memang turun dalam satu dekade terakhir. Di tahun 2012, misalnya, rata-rata kematian akibat narkoba di Portugal hanya 3 per 1 juta penduduk, sementara di Uni Eropa 17,3 per 1 juta penduduk.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf