tirto.id - Setiap seorang selebritas seperti Jennifer Dunn kedapatan menyimpan atau mengkonsumsi narkoba, mereka pun disorot. Tak jarang, kehidupan pesohor pun diidentikkan dengan barang ilegal tersebut.
Pada 2017 lalu, dunia hiburan tanah air banyak diwarnai penangkapan selebritas karena kepemilikan narkoba dan psikotropika. Di antaranya adalah Tora Sudiro dan Mieke Amalia. Sang suami ditahan pada bulan Agustus 2017 karena kepemilikan 30 butir dumolid.
Tora terbukti menyalahgunakan obat tersebut tanpa resep dokter untuk dipergunakan sebagai obat tidur. Mereka menyatakan meminum dumolid karena sulit tidur. Keduanya pun diminta melakukan rehabilitasi. Pada Juli 2017, dua pesohor muda yang tertangkap, yakni Ammar Zoni dengan kepemilikan ganja dan Axel Matthew Thomas yang mempunyai butiran Happy Five.
Lalu, pada bulan April 2017, ada legenda Rapper Indonesia, yakni Iwa K. yang harus ditahan petugas Bandara Soekarno Hatta. Ia membawa tiga linting ganja yang disisipkan bersama rokok kretek lainnya. Iwa kemudian menjalani rehabilitasi selama 6 bulan di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO), Cibubur, Jakarta Timur.
Ridho Rhoma, anak dari raja dangdut Rhoma Irama, pun ditangkap karena terbukti memiliki 0,7 gram sabu. Ia diganjar 10 bulan penjara dan rehabilitasi 6 bulan 10 hari. Selain Ridho, personel Band The Titans, Andika Naliputra juga ditangkap di bulan ini. Andika memakai narkoba jenis tembakau gorila dan dihukum 8 bulan penjara.
Selain nama-nama di atas, masih ada nama-nama selebritas lain yang tersandung masalah narkoba. Di tahun 2016 tercatat Jupiter Fortissimo Jansen Talloga, Restu Sinaga, Gatot Brajamusti, Reza Artamevia, dan Imam S. Arifin. Presenter acara musik, Raffi Ahmad, juga pernah menyita pemberitaan saat tertangkap menggunakan metilon di tahun 2013.
Dari kasus narkoba para selebritas di tahun 2016 dan 2017 narkoba jenis sabu-sabu, Happy Five, dan ganja menjadi yang paling umum dikonsumsi. Untuk ukuran kantong selebritas yang cukup sukses, harga barang-barang tersebut tak bisa dibilang mahal. Pil Happy Five misalnya, seharga Rp 75-100 ribu/butir.
Ganja sebanyak 3-4 linting (sekitar 1 ons) hanya dihargai mulai dari Rp50 ribu per paket, tembakau gorilla Rp300-400 ribu/paket atau Rp50 ribu/linting, sedangkan dumolid bisa dibeli dengan harga Rp250 ribu/10 butir. Terakhir, heroin/putaw seharga Rp1,6 juta/kg.
Alasan Konsumsi Narkoba
Media Australia News Corp Australia, menulis hubungan keterikatan antara selebritas dengan narkoba. Mereka mewawancarai para selebritas dan orang-orang di lingkaran industri hiburan, menunjukkan budaya ngobat melekat kuat di lingkungan pesohor.
Salah satu yang disorot dalam tulisan itu adalah narkoba sebagai penanda hidup glamor. Paul Dillon, direktur Drug and Alcohol Research and Training Australia, mengatakan, harga kokain yang mahal membuat ia diidentikkan dengan kemewahan.
“Australia adalah rumah kokain paling mahal di dunia, satu gramnya bisa dihargai antara $300-400 (Rp4-6 juta),” katanya.
Selain sebagai perlambang strata sosial, Dillon juga menemukan alasan lain di balik konsumsi narkoba di kalangan para selebritas. Mereka menganggap konsumsi obat-obatan tersebut hanya cara untuk bersenang-senang semata. Persepsi itu membuat orang-orang ini bisa menghabiskan $40.000 atau ebih dari Rp400 juta setahun.
Baca juga:Polisi Klaim Jennifer Dunn Akui Pakai Narkoba untuk Senang-senang
Tentu kita tak bisa menelan begitu saja "teori" Paul Dillon tersebut sebagai satu-satunya penjelasan. Kasus yang dialami oleh Tora Sudiro dan Mieke Amalia menunjukkan bahwa tekanan kerja seorang selebritas sangat mungkin membuat mereka mengalami gangguan-gangguan fisik dan psikis. Mereka menelan psikotropika untuk meredakan gangguan yang menginterupsi keseharian mereka.
John Tsilimparis, seorang terapis kecanduan, menulis pada Huffington Post bahwa berada dalam sorotan 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu bukanlah hal yang mudah dihadapi. Apalagi selebritas juga dituntut untuk menjaga dan aura kesempurnaan serta kesuksesan.
"Ujungnya, sebagian bintang berpaling pada narkoba dan alkohol untuk mengatasi tekanan yang luar biasa. Sekali narkoba atau alkohol bisa membantu secara sementara, mereka bisa lanjut melakukannya meski tahu konsekuensi negatifnya," tulis Tsilimparis.
Secara umum, Shahram Heshmat Ph.D, seorang profesor di bidang adiksi dan obesitas dalam artikelnya di Psychology Today mengungkapkan beberapa "teori" di balik penggunaan obat-obatan terlarang. Berikut ini kami rangkumkan alasan-alasan yang ia uraikan.
Pertama, kerentanan genetik. Ia mencatat ada pandangan bahwa peluang memakai narkoba lebih besar pada individu yang tumbuh di lingkungan pemakai. Seorang orangtua yang alkoholik, kemungkinan anaknya akan jadi alkoholik juga.
Kedua, perilaku kultural. Jika Anda hidup di lingkungan yang minum alkohol (atau narkoba, dalam kasus ini) sebagai suatu kewajaran, Anda cenderung akan santai untuk minum alkohol. Anda akan bersikap lain jika berada pada standar lingkungan yang berbeda.
Ketiga, harga narkoba. Secara umum, pada kasus rokok dan alkohol, meningkatkan harga dan pajaknya akan menurunkan jumlah perokok dan peminum alkohol. Pola yang sama bisa terjadi pada narkoba.
Keempat, kepribadian. Sifat impulsif merupakan salah satu faktor risiko untuk penyalahgunaan obat terlarang. Jadi, Anda yang cenderung bertindak mengikuti dorongan, sebaiknya belajar menahan diri.
Kelima, upaya menyembuhkan diri. Heshmat menulis cara ini adalah upaya meredakan kecemasan dengan alkohol. Karena tak mau merasakan dan mengalami rasa sakit, frustrasi, rasa takut, dan semua emosi negatif yang justru merupakan bagian dari diri kita sebagai manusia, ada yang memilih meminum alhokol atau memakai narkoba.
Keenam, pecandu yang kesepian. Rata-rata pecandu kekurangan kawan yang bisa mendatangkan kebahagiaan. Artinya, berada dalam kesendirian menjadi faktor ketidakbahagiaan. Untuk meredakannya, orang tak hanya berpaling pada narkoba atau alkohol, tapi juga pada gangguan makan.
Ketujuh, berani mencoba. Kecanduan tak terjadi secara tiba-tiba. Ia bermula pada suatu pangkal, yakni mencoba, dan melanjutkannya menjadi gaya hidup.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani