tirto.id - Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mengungkapkan data penelitian Mahkamah Konstitusi yang menyebut bahwa sebanyak 22,01 persen putusan MK tidak dipatuhi oleh lembaga negara.
"Pada 2018, hasil penelitian menunjukkan sebanyak 59 putusan PUU atau sebesar 54,12% telah dipatuhi seluruhnya oleh lembaga negara; sebanyak 6 putusan (5,5%) dipatuhi sebagian; sebanyak 24 putusan (22,01%) tidak dipatuhi; serta sebanyak 20 putusan (18,34%) dengan status belum diketahui. Belum diketahui dalam hal ini adalah belum bisa diidentifikasi tingkat kepatuhannya,” kata Adams dalam keterangan tertulisnya dikutip Senin (18/7/2022).
Ketidakpatuhan lembaga negara terhadap putusan MK salah satunya disebabkan karena tidak adanya eksekutor putusan. Alhasil, pelaksanaan putusan MK pada akhirnya semua berpulang pada kesadaran warga negara untuk melaksanakannya.
“MK tidak punya jangkauan perangkat atau aparat yang bisa mengeksekusi atau menegur (lembaga negara) terkait putusan MK,” ujarnya.
Adams mengatakan, absennya eksekutor tersebut cukup berpengaruh pada putusan MK yang yang membutuhkan tindak lanjut tertentu (non-self executing).
“Bentuk pada putusan ini harus menunggu perubahan atas undang-undang yang telah dibatalkan jika adresat putusan tersebut berkaitan dengan legislatif. Sedangkan putusan yang menjadikan lembaga eksekutif sebagai adresat putusannya, dibutuhkan prosedur-prosedur birokratis agar putusan tersebut dilaksanakan secara konsekuen,” ujar Adams.
Ia kemudian menyebut bahwa ketidakpatuhan terhadap putusan MK sama halnya dengan menunda terwujudnya keadilan. Ia juga mengimbau kepada lembaga negara untuk segera melaksanakan putusan MK sebagai bentuk ketaatan terhadap kewajiban hukum.
“Artinya, melaksanakan putusan MK secara segera merupakan kewajiban karena sifat finalnya sebuah putusan tersebut. Selain itu, hukum merupakan perpaduan konsensus dan paksaan, maka putusan MK merupakan bentuk hukum yang harus juga dimaknai sebagai paksaan yang wajib untuk ditaati,” tandas Adams.
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Fahreza Rizky