tirto.id - Anggota tim teknis e-KTP dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Tri Sampurno mengakui adanya pertemuan di Ruko Fatmawati milik Andi Agustinus alias Andi Narogong.
Pertemuan itulah yang menjadi cikal-bakal tim Fatmawati terbentuk. Tim Fatmawati sendiri sering disebut dalam BAP Irman dan Sugiharto guna membahas banyak hal terkait proyek senilai Rp5,9 triliun.
Kesaksian Tri Sampurno itu dituturkan dalam sidang kesembilan e-KTP di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Kamis, (13/4/2017). Awal kesaksian itu dimulai dari pertanyaan Ketua Majelis Hakim Jhon Halasan Butar-Butar kepada Tri Sampurno.
"Saudara Tri nama anda masuk ke tim Fatmawati. Apa saja yang anda ketahui tentang tim Fatmawati itu?," tanya Jhon kepada Tri dalam persidangan.
Kemudian Tri memaparkan apa saja yang ia ketahui dalam tim Fatmawati tersebut.
"Begini, Yang Mulia. Saya memang sering melaksanakan program pembahasan e-KTP. Setelah berjalan beberapa waktu, saya berpikir bahwa kegiatan yang dilakukan di ruko Fatmawati tidak selayaknya dilakukan oleh BPPT," kata Tri saat memberikan kesaksian.
Tri kembali melanjutkan kesaksiannya terkait alasan mengapa pertemuan dengan tim Fatmawati itu tidak layak dilakukan oleh instansinya. Sebab, perusahaannya tersebut adalah milik negara.
"Karena begini Pak intansi kami adalah milik pemerintah. Itu juga kenapa saya bilang PNRI juga enggak bisa gabung di pertemuan itu," jelas Tri Sampurno.
Kemudian Jhon menanyakan kembali apa dasar PNRI sebenarnya tidak diperkenankan untuk hadir pertemuan itu.
"Coba Anda jelaskan PNRI kenapa tidak boleh?," jawab Majelis Hakim Jhon Halasan Butar-Butar.
Tri kemudian menjawabnya. "Ini karena mengingat PNRI (Percetakan Negara Republik Indonesia) adalah pihak swasta yang berencana mengikuti lelang pekerjaan yang akan dilaksanakan oleh institusi pemerintah," jelas Tri Sampurno.
Tri lalu menjelaskan bahwa pertemuan dia bersama PNRI dan tim Fatmawati itu terjadi sekitar 5 kali pertemuan. Pertemuan itu terjadi sekitar Juni 2010 dan sekitarnya, rentang waktu tersebut diakui oleh Tri tidak bisa mengingatnya.
Dari sekian banyak pertemuan itu ada satu hal yang paling menarik diutarakan Tri di muka persidangan. Peristiwa itu adalah rancangan Andi Narogong untuk melakukan demontrasi terkait e-KTP.
"Dari lima kali pertemuan kali itu saya lupa berapa kalinya tapi semua di bulan Juni 2010, Yang Mulia. Ada satu pertemuan Pak Andi merancang untuk demontrasi terkait e-KTP," kata Tri
Sayangnya pernyataan tersebut tidak ditanyakan lagi oleh Majelis Hakim Jhon. Tri masih saja berceloteh mengenai pertemuan lima kali di Ruko Fatmawati itu.
Kembali Tri melanjutkan ceritanya bahwa pertemuan tersebut selalu terjadi di malam hari bahkan hingga dini hari.
"Pertemuan itu sampai malam-malam hari sekali. Sementara rumah saya di Bogor, Yang Mulia. Saya juga sering ditawari pulang bersama oleh tim PNRI. Ada satu orang baru dan belum saya kenal. Saya mengiyakannya, Yang Mulia. Tapi saya enggak pernah sampai rumah, saya turun di jalan naik angkutan umum. Karena tidak enak kejauhan rumah saya," jelas Tri Sampurno.
Menanggapi kesaksian Tri yang tak berujung. Hakim Jhon lalu memotong penjelasannya.
"Saudara Tri saya rasa cukup. Lalu endingnya seperti apa lagi," tanya Hakim Jhon Halasan.
Lagi-lagi Tri memaparkan jawaban itu cukup panjang. Namun inti jawabannya adalah adanya pemberian uang senilai Rp2 juta untuk bayar taksi dari Jakarta ke Bogor untuk dirinya.
"Saya dipaksa turun dan menerima uang taksi. Tapi saya tidak mau. Saya dipaksa, Yang Mulia padahal saya enggak mau. Saya akhirnya menerimanya uang di amplop dan saya turun di McD tak begitu jauh dari Ruko," jelas Tri.
Jhon lalu bertanya. "Berapa jumlah uangnya," tanya Jhon.
Tri pun menjawab singkat. "Dua juta, Yang Mulia," tutur Tri.
Kesaksian Tri tersebut langsung dicatat oleh notulen sidang untuk nantinya dikonfrontir oleh tersangka ketiga KPK di proyek e-KTP Andi Narogong. Andi sendiri diketahui sebagai salah satu panitia pemenangan satu konsorsium penggagas proyek e-KTP.
Pihak Konsorsium yang dimenangkan dari ketiga konsorsium itu adalah PNRI, sementara dua konsorsium lainnya sengaja dinyatakan tidak lolos. Namun mereka tetap mendapatkan jatah dari proyek pemerintah senilai Rp5,8 triliun yang menimbulkan kerugian negara senilai Rp2,3 triliun
Penulis: Dimeitry Marilyn
Editor: Maya Saputri