tirto.id - Gelanggang Pilkada Jawa Timur 2024 menorehkan sejarah baru. Ia menjadi daerah pertama yang seluruh calon gubernurnya merupakan perempuan. Hal ini bisa menjadi momen penting untuk meningkatkan kesadaran bahwa perempuan mau dan mampu bertarung di kancah politik.
Tiga srikandi yang maju sebagai Cagub Jatim adalah Khofifah Indar Parawansa, Luluk Nur Hamidah, dan Tri Rismaharini. Khofifah yang merupakan gubernur periode sebelumnya, maju kembali bersama wakilnya, Emil Dardak. Pasangan ini didukung oleh koalisi besar yang diisi 15 partai politik terdiri dari PAN, Gerindra, Golkar, Demokrat, PPP, PSI, PKS, Perindo, Nasdem, Partai Buruh, Gelora, PBB, PKN, Garuda, dan Prima.
Sementara Ketua DPP PKB, Luluk Nur Hamidah, maju bersama sesama kader di partainya, Lukmanul Khakim. Keduanya merupakan anggota DPR RI dari Fraksi PKB. Paslon ini hanya diusung oleh PKB yang memenuhi syarat untuk mengajukan cagub-cawagub sendirian.
Sementara Risma--kader PDIP yang menjabat sebagai Menteri Sosial saat ini--ditemani oleh Zahrul Azhar Asumta atau dikenal dengan Gus Hans. Pasangan ini diusung oleh PDIP yang juga dapat mencalonkan cakada mereka sendirian di Jatim.
Ketiga paslon ini sudah resmi mendaftar di KPU Jatim sehingga perebutan kursi gubernur menjadi palagan kompetitif politisi perempuan. Tiga srikandi tersebut juga punya keterikatan kultural maupun struktural dengan Nahdlatul Ulama (NU). Tarik-menarik massa Nahdliyin tak ayal mengharuskan ketiga cagub ini meramu strategi dan visi-misi terbaik.
Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Hurriyah, memandang kehadiran tiga cagub perempuan di Jatim sebagai bentuk kemauan parpol mempromosikan kepemimpinan politik perempuan di tingkat pemerintahan daerah. Menurutnya, ini momen yang penting karena parpol harus menjadi agen kunci emansipasi politik bagi perempuan.
“Parpol yang bisa mendorong atau menghambat partisipasi keterwakilan dan kepemimpinan perempuan,” kata Hurriyah kepada Tirto, Kamis (29/8/2024).
Pilkada di Jatim menunjukkan terbukanya akses dan kesempatan untuk kader perempuan di parpol menjadi cakada. Apalagi tiga srikandi Cagub Jatim merupakan kader yang berkarier lama di panggung politik dan punya rekam jejak serta pengalaman panjang.
Fenomena ini turut memperlihatkan representasi dan kaderisasi yang coba dijalankan oleh parpol dalam pilkada kali ini.
“Bukan sekadar asal comot dan mementingkan popularitas belaka,” ujar Hurriyah.
Ia menambahkan, hadirnya kandidat cagub perempuan di Pilkada Jatim perlu dimanfaatkan sebagai momentum mendorong parpol serius memperkuat representasi dan kepemimpinan perempuan. Banyak politikus perempuan yang mumpuni, namun jarang diberikan kesempatan untuk menempati posisi-posisi strategis.
Kepemimpinan perempuan penting untuk menghadirkan wajah politik yang lebih humanis dan inklusif. Banyak studi di berbagai negara menunjukkan keberhasilan kepemimpinan perempuan di tingkat nasional dan daerah.
Di Indonesia, kata Hurriyah, praktik cakap kepemimpinan perempuan belum banyak disorot karena jumlah pemimpin perempuan minim. Selain itu, perempuan yang dicalonkan parpol kebanyakan masih asal comot atau berbasiskan popularitas dan kekerabatan.
“Sehingga hanya menjadi 'proxy' bagi elite partai saja. Mereka juga belum tentu punya perspektif gender yang kuat, sehingga ketika memimpin tidak bisa mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan responsif gender,” jelas Hurriyah.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Annisa Alfath, turut menilai Pilkada Jatim sebagai suatu kemajuan yang dibuat parpol. Menurutnya, momen ini dapat menjadi penyadaran dan pembelajaran di masyarakat bahwa kepemimpinan perempuan juga cakap dan berkualitas.
“Namun perlu dicatat juga, bahwa partai politik harus benar-benar mengarahkan strategi kampanye, agar kampanye tidak bersifat sporadis,” kata Nisa kepada Tirto, Kamis.
Nisa memandang, dalam Pileg 2024 calon legislatif perempuan kerap ditinggal begitu saja pada saat kampanye dan terlihat dibiarkan berjuang sendirian. Parpol tidak bisa asal pasang logo di belakang cagub perempuan di Pilkada Jatim, mereka harus betul-betul mendampinginya.
“Harapannya program yang ditawarkan oleh para kandidat bersifat lebih inklusif dan berperspektif gender,” tutur Nisa.
Sementara itu, Analis Politik Universitas Padjadjaran (Unpad), Kunto Adi Wibowo, melihat Jatim yang jadi medan tempur tiga srikandi, menunjukkan bahwa daerah tersebut memang progresif menerima kepemimpinan perempuan. Ini terbukti dari terpilihnya Khofifah Indar Parawansa sebagai gubernur periode sebelumnya.
Selain itu, menurut Kunto, Jatim memiliki basis NU dan Fatayat yang kuat di akar rumput. Hal ini menunjukkan bahwa basis massa Nahdliyin yang notabene manut kyai-kyai sepuh, kini sudah lebih cenderung terbuka pada kepemimpinan perempuan.
“Tapi jangan salah ya, basis-basis PDIP juga besar di Jawa Timur. Ada basis-basis yang lain seperti Demokrat dan Gerindra juga lumayan,” kata Kunto kepada Tirto, Kamis.
Berebut Suara Nahdliyin
Tiga perempuan yang bertarung memang punya hubungan dengan NU. Khofifah tentu begitu dikenal sebagai Ketua Umum Muslimat NU. Sementara Luluk, politikus yang cukup senior di PKB--parpol yang memiliki pendukung utama kaum Nahdliyin. Ia juga tokoh yang lahir di Jombang, salah satu basis kaum Nahdliyin dan tokoh-tokoh NU.
Sementara Risma merupakan keturunan pendiri dan kyai sepuh NU, Mbah Jayadi. Garis nasab Mbah Jayadi didapati Risma dari jalur sang ayah. Mbah Jayadi juga dikenal sebagai salah satu prajurit tempur Pangeran Diponegoro.
Analis sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, menyatakan bahwa tarik-menarik akan terjadi di seluruh kandidat Cagub Jatim sebab kaum Nahdliyin tidak pernah satu suara. Namun jika melihat posisi saat ini, nama Khofifah di Jatim dinilai masih menjadi magnet kuat bagi pemilih Nahdliyin.
“Sejak masih mahasiswi Khofifah sudah aktif di Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Putri (Kopri). Khofifah merupakan Ketua Umum PP Muslimat Nahdlatul Ulama, organisasi perempuan NU terbesar. Bahkan profil Khofifah ditulis di NU Online, media resmi NU,” kata Musfi kepada Tirto, Kamis.
Menurut Musfi, ia jarang mendengar nama Risma dikaitkan dengan kaum Nahdliyin. Sementara Luluk, dukungan kaum Nahdliyin akan datang melalui simpul-simpul suara yang sudah beririsan kuat dengan PKB.
Fenomena cagub perempuan di Pilkada Jatim dinilai terjadi karena sejak awal figur kuat di bursa cakada daerah itu didominasi perempuan. Survei-survei elektabilitas menempatkan nama Khofifah dan Risma berada di posisi teratas.
“Corong pemberitaan media juga selalu menyorot keduanya dalam beberapa tahun terakhir. Jadi, ini sebenarnya bukan anomali. Pertarungan Khofifah dan Risma memang sudah tercium setidaknya sejak dua tahun terakhir,” ucap Musfi.
Munculnya nama Luluk justru yang dipandang cukup menarik. Jika melihat alasan PKB mengusung Luluk, kata Musfi, mereka seakan terbawa atmosfer pertarungan Khofifah dan Risma.
Musfi melihat Luluk dan Risma harus bekerja ekstra untuk menandingi elektabilitas Khofifah yang sebelumnya bahkan digadang-gadang sebagai calon tunggal. Mesin pemenangan di akar rumput Khofifah juga jauh lebih matang karena ia merupakan calon petahana.
“Bagaimanapun, saya kira ini kemajuan besar dalam politik demokrasi Indonesia. Pilgub Jawa Timur 2024 adalah pintu pembuka atas semakin lebarnya kesempatan perempuan bertarung di kontestasi pilkada,” terang Musfi.
Analis politik dari Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, memandang jika hanya mengandalkan kekuatan struktur partai, jelas suara dari PDIP akan luluh lantak di Jatim.
Namun, jika memotret dari sisi ketokohan, Risma berpeluang mendapat raihan suara dari simpatisan personalnya. Hal ini yang membuat Khofifah tidak mudah mengalahkan Risma.
“Kalkulasi ketokohan dan dukungan parpol bisa saja berimbang. Khofifah punya basis suara besar, Risma tidak bisa dianggap kecil, sementara Luluk mungkin akan tertinggal karena PKB sendirian,” ucap Dedi kepada Tirto, Kamis.
Dari sisi struktur dukungan parpol, Khofifah dinilai akan memimpin perolehan elektabilitas. Terlebih, kata Dedi, Khofifah calon petahana yang diuntungkan karena kebijakan politiknya lebih mudah disampaikan ke konstituen dibandingkan sosok baru.
Namun, Risma juga tak bisa dianggap tokoh kemarin sore di Jatim, sebab pernah menjadi Wali kota Surabaya, sehingga pengenalan Risma yang juga seorang menteri, ikut terdongkrak.
“Secara umum para kiai di Jatim juga lebih terbuka, hal ini karena mayoritas kiai populer di Jatim dekat dengan parpol, terutama dengan PKB. Sehingga tidak ada pertentangan soal kepemimpinan perempuan di Jatim,” ucap Dedi.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi