Menuju konten utama

Tidak Ada Lagi Teori Evolusi untuk Siswa Sekolah di Turki

Sejak Erdogan berkuasa pada 2003, sekularisme Turki perlahan terkikis. Kurikulum diubah dan teori evolusi dihapus demi menciptakan generasi saleh.

Tidak Ada Lagi Teori Evolusi untuk Siswa Sekolah di Turki
Kerumunan orang dengan mengangkat tangan di atas bendera Turki berbaur. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Harun Yahya, salah satu tokoh kreasionis paling tersohor abad ini, kembali jadi perbincangan publik. Bukan karena ceramah atau peluncuran buku terbarunya, tapi vonis penjara 1.075 tahun yang dijatuhkan Pengadilan Istambul. Sebanyak 236 pengikut pria bernama asli Adnan Oktar ini juga turut diadili. Dua di antaranya divonis tinggi, 186 tahun dan 211 tahun penjara. Deretan tindak kriminal terkait kegiatan organisasinya dan motif politik memenuhi dakwaannya.

Dia juga amat terkenal di Indonesia era 2000-an. Banyak buku dan VCD yang diproduksinya beredar di sini, bahkan jadi konsumsi siswa Indonesia.

Karyanya yang paling terkenal tentu saja buku setebal 786 halaman berjudul The Atlas of Creation (2006). Pada awal peluncurannya, buku itu disebar ke sekolah-sekolah, peneliti, dan lembaga riset di seluruh Eropa dan Amerika Serikat. Buku bersampul merah cerah berbobot 5,5 kilogram ini pada intinya ingin bilang bahwa teori evolusi Charles Darwin adalah omong kosong belaka.

“Hampir 100 juta fosil telah ditemukan sejauh ini. Semua ini menunjukkan bahwa tumbuhan, hewan, manusia, dan serangga tidak pernah mengalami evolusi apapun dan semuanya diciptakan dengan cara yang sama oleh Tuhan,” kata pria yang gemar berkhotbah tentang agama sambil dikelilingi wanita seksi ini dalam wawancaranya dengan The Guardian pada 2008 silam.

Tapi, para saintis umumnya menganggap buku tersebut tak menjelaskan apa-apa. Komite Kebudayaan, Sains, dan Pendidikan Majelis Parlemen Dewan Eropa bahkan menyebut, “Tak satu pun argumen dalam karya ini (The Atlas of Creation) yang didasarkan pada bukti ilmiah dan buku tersebut lebih tampak seperti risalah teologis primitif daripada sanggahan ilmiah terhadap teori evolusi.”

Kurikulum Konservatif Turki

Terlepas dari popularitas Harun Yahya, Pemerintah Turki sejak lama mengamini pandangan kreasionis. Mereka bahkan pernah melakukan penyensoran terhadap konten teori evolusi yang beredar di Internet pada 2011.

Kala itu, menurut laporan VOA News, Pemerintah Turki telah memblokir beberapa website yang memiliki konten terkait teori evolusi. Situs-situs itu dipandang tidak aman bagi anak-anak serta mendapat kritik dari akademisi.

Pada 2017, Kementerian Kurikulum Turki dengan persetujuan Presiden Recep Tayyip Erdogan mengahapus teori evolusi dari pelajaran sekolah menengah. Pemerintah Turki menilai, teori evolusi terlalu kontroversial dan siswa sekolah menengah belum memiliki cukup dasar untuk memahaminya. Penghapusan materi ini mulai berlaku pada 2019.

“Kami telah mengecualikan subjek kontroversial itu karena siswa belum mampu memahami latar belakang masalah secara ilmiah. Materi tentang evolusi baru akan diajarkan di jenjang sarjana,” tutur Kepala Dewan Kurikulum Kementerian Pendidikan Turki Alpaslan Durmuş kepada Hurriyet Daily News.

Meski begitu, Menteri Pendidikan Turki Ismet Yilmaz berdalih bahwa pihaknya hanya meniadakan materi yang “tidak perlu, kuno, dan tema yang berulang”.

"Kami tidak menentang evolusi. Sulit untuk menyangkal sains yang telah mapan. Lagi pula, materi soal pewarisan genetik, mutasi, modifikasi, dan adaptasi masih ada dalam kurikulum. Semuanya ada dalam teori evolusi," ujar Yilmaz kepada BBC.

Kurikulum baru itu tidak hanya kontroversial karena menghapus teori evolusi, tapi juga dilambari semangat konservatisme.

Sementara itu, Pemerintah Turki juga menambah jam pelajaran agama di sekolah umum. Dua mata pelajaran pilihan untuk tahun keenam sampai kedelapan, yaitu Pendidikan Kewarganegaraan dan Pertanian, dihapus dari kurikulum. Sebagai gantinya, ada tiga mata pelajaran baru berbasis agama, yaitu Alquran, Sirah Nabi Muhammad, dan Pengetahuan Agama Dasar.

Perspektif Sunni juga digunakan untuk pengajaran materi Budaya dan Pengetahuan Moral Agama. Hal ini membikin siswa dari kelompok minoritas nonmuslim maupun non-Sunni jadi terhambat dan tersisih.

Beberapa materi tentang peristiwa sejarah penting pendirian Republik Turki juga dihapus dari kurikulum lama. Sebagai gantinya, kurikulum baru memasukkan materi biografi para ilmuwan muslim. Kemenangan Erdogan dari upaya kudeta 2017 pun ditonjolkan dalam kurikulum baru.

Langkah Pemerintah Turki itu tentu saja mendapat kritik dari beberapa kalangan. Beberapa kelompok saintis dan organisasi guru menyesalkan pemberlakuan kurikulum baru itu. Tak hanya itu, mereka juga keberatan atas langkah pemerintah mengubah banyak sekolah umum menjadi sekolah agama.

"Sebagai saintis, tentu saja kami sangat menyesal dan khawatir atas negara ini. Ini bukan hanya soal evolusi karena ia hanyalah cara mengetes ombak. Ini masalah rasionalitas, tentang apakah kurikulum harus dibangun atas dasar nilai-nilai yang diyakini tepat oleh pemerintah," kata Ali Alpar, astrofisikawan dan Presiden Akademi Sains Turki kepada National Public Radio (NPR).

Reportase National Public Radio (NPR) yang tayang pada Agustus 2017 menunjukkan bagaimana para orang tua di Turki mengungkapkan keprihatinannya atas kurikulum baru itu. Pensiunan insinyur kimia bernama Emel Ishakoglu, misalnya, mengaku khawatir cucunya tidak akan mendapatkan pelatihan yang mereka perlukan untuk jadi saintis seperti dirinya.

"Saya khawatir, tapi saya harap kebijakan itu akan berubah saat cucu saya masuk sekolah menengah," ujar Ishakoglu yang memiliki dua cucu berusia lima dan dua tahun. "Jika tidak, anak-anak kami akan tertinggal dibandingkan dengan negara lain dalam hal pendidikan sains."

Infografik Tak Ada Teori Evolusi di Turki

Infografik Tak Ada Teori Evolusi di Turki. tirto.id/Quita

Proyek “Generasi Saleh” Erdogan

Sekularisme Turki perlahan terkikis sejak Erdogan dari Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) mendominasi pemerintahan Turki. Erdogan yang konservatif itu pertama kali terpilih sebagai perdana menteri pada 2003. Melalui perubahan konstitusi, Erdogan lantas jadi presiden pada 2014.

Sejak 2012, Erdogan dan partainya memulai proyek ambisius membentuk masyarakat baru yang disebutnya sebagai “generasi saleh”. Foreign Policy menyebut, alat utama untuk mencapainya adalah reformasi pendidikan.

Pemerintahan Erdogan menggelontorkan miliaran dolar AS untuk anggaran pendidikan agama. Erdogan juga mengonversi banyak sekolah umum menjadi sekolah Imam Hatip. Sekolah ini mulanya adalah sekolah kejuruan untuk melatih siswanya menjadi imam dan penceramah. Sejak lama, sekolah Imam Hatip menjadi alternatif bagi keluarga relijius konservatif.

Sekolah Imam Hatip memisahkan kelas bagi siswa laki-laki dan perempuan. Pun, siswa perempuan dapat pergi ke sekolah dengan memakai jilbab. Para guru, siswa, dan orang tua di sekolah Imam Hatip lantas membentuk ekosistem yang saling terkait dengan partai penguasa dan lembaga pemerintah.

Buku-buku pelajaran sekolah pun direvisi untuk memuluskan proyek generasi saleh itu. Dalam prosesnya, Pemerintah Turki minta masukan dari kalangan akademisi berlatar agama. Salah satu konsultan untuk proyek ini adalah Rektor Universitas Uskudar. Universitas swasta ini pernah menjadi tuan rumah konferensi tentang kreasionisme.

"Kebanyakan orang Turki tidak percaya pada evolusi karena ia menyiratkan bahwa Tuhan tidak ada dan kita semua ada di bumi ini hanya secara kebetulan! Itu membingungkan," sebut Presiden Universitas Uskudur Nevzat Tarhan. "Turki adalah negara demokrasi modern, tapi kita tidak perlu takut untuk merangkul budaya Islam kita juga."

Erdogan sejauh ini memang tidak mendukung penerapan hukum syariah. Meski begitu, mayoritas pemilih dan pendukungnya adalah kalangan relijius konservatif. AKP menghimpun aspirasi mereka dan Erdogan mengeksekusinya sebagai kebijakan populis. Jadi, jangan heran jika banyak kalangan religius konservatif yang siap membela kebijakan Erdogan, walaupun itu melenceng dari fondasi sekularisme Turki.

Baca juga artikel terkait TEORI EVOLUSI atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Tony Firman
Editor: Fadrik Aziz Firdausi