tirto.id - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menerima surat presiden (surpres) terkait pemerintah yang menunjuk dua menterinya untuk membahas revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) bersama DPR.
Dengan keluarnya surpres dari Presiden Joko Widodo itu, anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi PDI-P Masinton Pasaribu optimistis pembahasan revisi UU KPK bisa selesai pada DPR periode ini, yang akan rampung pada 30 September 2019.
"Nanti kalau kita bahas secara intensif bersama pemerintah ya bisa selesai [periode ini]. Capim KPK yang baru bisa bekerja berdasarkan UU KPK yang baru," ujar Masinton di Gedung DPR, Senayan, Kamis (12/9/2019).
Masinton mengatakan kemungkinan surat tersebut akan dibacakan dalam Rapat Paripurna DPR, Jumat (13/9/2019) besok dan dilanjutkan kembali ke Baleg untuk dilakukan pembahasannya.
Ia pun berharap pemerintah segera memberikan daftar inventaris masalah (DIM) agar pembahasan bisa dilakukan dengan cepat.
"Surat dari paripurna disampaikan ke Baleg untuk diagendakan rapat bersama menteri yang ditunjuk oleh Presiden. Nanti dibahas dan pemerintah akan menyampaikan DIM-nya ke baleg. Baru setelah itu dilakukan pembahasan," kata Masinton.
Presiden Joko Widodo resmi mengirim surat presiden (surpres) kepada DPR RI untuk melanjutkan pembahasan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menteri Sekretaris Negara, Pratikno mengatakan, surpres ini dikirim ke DPR pada Rabu (11/9/2019) lalu.
Pemerintah, kata dia, telah merevisi draf daftar isian masalah (DIM) RUU KPK yang diterima dari DPR RI.
"Surpres RUU KPK sudah diteken presiden dan sudah dikirim ke DPR ini tadi. Intinya bahwa nanti bapak presiden jelaskan detail seperti apa," kata Pratikno, sebagaimana diberitakan Antara.
Dalam surpres tersebut, Jokowi juga menunjuk Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Syafruddin sebagai perwakilan pemerintah dalam pembahasan revisi ini.
Isu revisi UU KPK mengemuka setelah seluruh fraksi di DPR sepakat untuk mengajukan kembali perubahan kedua UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) pada awal september 2019.
Sikap DPR yang menginisiasi revisi UU KPK mendapat kritik dari organisasi sipil dan pegiat antikorupsi, akademisi, hingga pemuka agama.
Enam poin yang menjadi poin revisi UU KPK dianggap sebagai upaya melemahkan KPK seperti hanya membolehkan penyelidik dari Polri, pembentukan Dewan Pengawas KPK yang justru memperpanjang proses penanganan perkara, penuntutan harus berkoordinasi dengan kejaksaan, hingga soal KPK sebagai lembaga negara.
Serangkaian aksi pun digelar masyarakat sipil dan KPK sebagai bentuk protes terhadap revisi UU KPK yang diinisiasi partai politik pendukung Jokowi di Pemilu 2019. Mereka meminta Jokowi untuk menolak rencana revisi ini.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Maya Saputri