tirto.id - Beberapa waktu lalu, sebuah video tentang seorang pria membopong jenazah bocah menjadi bahan perbincangan masyarakat. Jenazah yang dibopong bernama Muhammad Husein (8 tahun) yang tewas tenggelam di Sungai Cisadane. Sang pria tak menggunakan mobil jenazah karena Puskesmas Cikokol, Tangerang, menganggap ambulans itu hanya digunakan untuk membawa pasien yang masih hidup.
Seperti diberitakan Tempo, Wali Kota Tangerang Arief R. Wismansyah memerintahkan Dinas Kesehatan Kota Tangerang untuk mengubah standar operasional prosedur (SOP) penggunaan ambulans bagi masyarakat.
“Untuk kegawatdaruratan, saya instruksikan untuk segera di revisi SOP-nya, jadi bisa dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan masyarakat,” kata Arief, Senin, 26 Agustus 2019.
Anda mungkin beranggapan bahwa Puskesmas Cikokol tak berperasaan, sehingga mereka enggan mengeluarkan ambulans pasien miliknya untuk mengangkut jenazah dari Muhammad Husein.
Namun sudah tepatkah sikap Puskesmas Cikokol?
Ambulans Pasien Berbeda dengan Mobil Jenazah
Sebagian orang beranggapan bahwa ambulans pasien sama dengan mobil jenazah, sebab umumnya tampilan luar kendaraan tersebut sama. Padahal dalam Standarisasi Kendaraan Pelayanan Medik (2001) dan Pedoman Teknis Ambulans (2014), ambulans dikelompokkan dalam tiga bentuk, yakni ambulans darat, air, dan udara.
Dari jenis tersebut, ambulans darat masih dibagi ke dalam beberapa jenis, yaitu ambulans transport, ambulans gawat darurat, dan kereta jenazah (mobil jenazah). Meskipun ukuran dari ketiga kendaraan tersebut hampir sama, tapi mereka punya spesifikasi berbeda dan yang paling jelas adalah peralatan yang ada di dalam kendaraan itu.
Pada ambulans transport misalnya, kendaraan ini punya peralatan medik minimal seperti brankar, oksigen, peralatan darurat, obat-obatan, dan alat komunikasi. Untuk ambulans gawat darurat, mereka memiliki sistem yang lebih rumit dan lengkap, sebab di dalam kendaraan tersebut bisa melakukan tindakan kegawatdaruratan, seperti operasi kecil, serta terdapat monitor untuk memantau kondisi pasien. Sedangkan pada ambulans jenazah, mobil tersebut hanya dipakai untuk mengangkut jenazah sehingga tak ada peralatan medis di dalamnya.
Aturan tertulis tersebut dipertegas dengan pernyataan Sekretaris Jenderal Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), Dr. dr. Lia G. Partakusuma, Sp.PK, M.M., MARS. yang menjelaskan bahwa kategori ambulans memang bermacam-macam dan memiliki fungsi masing-masing.
“Untuk transport ini ada dua jenis, transport yang membawa orang sakit, ada transport yang membawa orang meninggal. Nah, kalau untuk membawa orang sakit berarti di dalamnya tersedia alat-alat yang memungkinkan bila terjadi sesuatu [pada pasien] di kendaraan tersebut,” ujar Lia saat dihubungi Tirto, Senin (26/8/2019).
“Nah, kalau ambulans jenazah, kan yang diperlukan ruang yang cukup luas tanpa perlatan apa pun, dan jenazah akan dibawa dalam kondisi memang hanya ambulans yang tidak harus berjalan cepat,” tambahnya.
Tindakan Puskesmas Sudah Benar, tapi...
Pada kasus yang terjadi di Cikokol, Tangerang, Lia menilai bahwa kejadian tersebut hanyalah kesalahpahaman antara keluarga pasien dan puskesmas. Sebab jika merujuk pada aturan penggunaan ambulans, yang mereka lakukan sudah tepat.
Lia mengungkapkan bahwa ambulans untuk pasien memang sebaiknya tak digunakan untuk mengangkut jenazah karena bisa menganggu pengangkutan pasien hidup.
“Kalau di ambulans jenazah itu kan butuh tempat luas supaya cukup untuk tempat keranda. Nah, kalau misalnya dia bawa keranda di ambulans pasien, artinya peralatan yang ada di kendaraan pasien mesti diturun-turunin dulu. Kalau enggak pasti akan sempit,” ungkap Direktur Penunjang Rumah Sakit Harapan Kita tersebut.
Kita tentu harus ingat bahwa waktu sekecil apapun adalah hal yang berharga bagi tenaga medis. Jika ambulans pasien hidup digunakan untuk mengangkut jenazah, tentu akan memakan waktu untuk mengeluarkan peralatan medis, mengantar jenazah, kembali ke rumah sakit atau puskesmas, dan memasang perlengkapan medis kembali. Waktu yang panjang tersebut tentu berisiko bagi pasien dalam kondisi gawat darurat.
Maka dari itu, dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (PDF), pemerintah mengatur hak utama pengguna jalan. Dalam pasal 134, urutan pengguna jalan yang memperoleh hak utama adalah kendaraan pemadam kebakaran, ambulans pengakut orang sakit, kendaraan yang memberikan pertolongan kecelakaan lalu lintas, kendaraan pimpinan lembaga negara, kendaraan pimpinan pejabat negara asing atau tamu negara, iring-iringan pengantar jenazah, atau konvoi untuk kepentingan tertentu.
Dari aturan tersebut sangat jelas bahwa orang sakit dan kendaraan pengangkut korban kecelakaan lebih diprioritaskan ketimbang mengangkut jenazah.
“Kalau ambulans orang sakit dipaksa untuk mengakut jenazah, dia sewaktu-waktu bisa mengalahkan orang sakit. Padahal kalau orang meninggal, kita sudah enggak bisa menolong banyak kepada mereka. Jadi mungkin kekhawatiran rumah sakit atau puskesmas itu kalau ambulans pasien digunakan untuk mobil jenazah akan sulit kalau ada pasien masih hidup yang membutuhkan,” tegasnya.
Pertanyaannya: berapa jumlah ambulans jenazah yang ideal untuk tiap daerah?
Seperti diberitakan Wall Street Journal, WHO memiliki aturan bahwa idealnya setiap 100.000 penduduk harus ada satu ambulans. Jumlah ini belum termasuk ambulans darurat yang dapat disiagakan pada kejadian khusus, seperti bencana (PDF).
Sayangnya Tirto tidak bisa mendapatkan informasi mengenai jumlah pelbagai jenis ambulans untuk melayani penduduk kota Tangerang yang berjumlah 2.139.891 jiwa (data BPS 2017) karena tak ada sumber data terbuka. Kami juga telah berusaha menghubungi Kepala Dinas Kesehatan Kota Tangerang Liza Puspa Dewi melalui telepon dan pesan singkat, namun tidak ada balasan.
Editor: Windu Jusuf