Menuju konten utama

Telepati Anak Kembar: Mitos atau Fakta?

Ada dua diskursus tentang hubungan anak kembar secara psikologis: genetis dan lingkungan.

Telepati Anak Kembar: Mitos atau Fakta?
Ilustrasi saudara kembar. FOTO/Istock

tirto.id - Dua tahun yang lalu, Ardi mendapat kesempatan untuk mengikuti kelas internasional di Eropa selama enam bulan. Lalu tahun ini, Ardan, saudara kembar Ardi, berhasil meraih impiannya kuliah di luar negeri.

"Aku dan Ardan sering mengalami kejadian yang mirip, tapi pada waktu yang berbeda. Tapi itu bukan kebetulan karena di antara kami ada yang memulai, lalu lainnya mengikuti," kata Ardi ketika dihubungi Tirto.

Suatu ketika Ardi ikut klub karate, lantas beberapa minggu kemudian Ardan mengikuti jejak saudaranya dengan bergabung ke klub tae kwon do.

Cerita-cerita tentang anak kembar seringkali membuat orang beranggapan bahwa mereka mempunyai kesukaan yang sama dan mengalami banyak kejadian serupa. Konon, pasangan kembar bahkan sanggup mengetahui pikiran dan perasaan satu sama lain tanpa bicara terlebih dulu.

Keunikan hubungan anak kembar ini pada awalnya pernah ditulis oleh John Wesley, seorang pendeta asal Inggris yang mendirikan Gereja Metodis, dalam jurnal hariannya yang ditulis pada 7 April 1781. Wesley mengungkapkan bahwa sepasang anak perempuan kembar yang ia temui pada suatu hari punya sebuah keunikan, yakni memiliki rasa simpati yang ajaib: ketika salah satu dari mereka sakit atau mengalami hal lain, saudara lainnya juga merasakan. Wesley juga menuliskan bahwa kedua orang itu bahkan kerap memiliki mimpi yang sama meski mereka tinggal di tempat berbeda.

Sedangkan, kata “telepati” pertama kali digunakan oleh Frederic Myers dan dua rekannya dalam penelitian, Edmund Gurnet dan Frank Podmore, yang mendirikan Society for Physical Research (SPR). Pada 1882, mereka melakukan survei besar tentang fenomena “keunikan” pasangan kembar yang lumrah dianggap bisa merasakan keadaan satu sama lain. Dari survei itu mereka pun berkomentar:

"Bila di antara dua orang terdapat ikatan telepati yang dapat mempengaruhi satu sama lain, kita mungkin menjumpai hal itu pada sepasang anak kembar."

Namun, waktu itu para pakar masih meragukan kebenaran “telepati” tersebut. Maka kajian tentang telepati anak kembar terus dilakukan. Satu setengah abad setelah penelitian Myers, pakar anak kembar dari University of Minnesota Dr. Nancy Segal menyatakan dalam bukunya berjudul Entwined Lives: "Tidak ada bukti bahwa anak kembar memiliki kemiripan yang disebabkan oleh komunikasi antara mereka sendiri". Nancy pun menegaskan bahwa sampai pada saat ini pun tidak ada bukti empiris bahwa anak kembar memiliki "telepati".

Pada 1965, dua dokter mata dari Philadelphia mengklaim mereka telah mampu menunjukkan bahwa akhirnya telepati bisa direkam. Mereka mengirim gelombang alfa ke dalam otak salah satu anak kembar dan dalam waktu bersamaan otak anak kembar lainnya juga menunjukkan gelombang alfa. Meski begitu, dalam pendahuluan jurnal mereka, keduanya mengakui masih banyak kelemahan dari eksperimen ini, dan setelahnya ada sejumlah kritik terhadap temuan mereka karena ternyata ada beberapa reaksi yang tidak mirip di antara anak-anak kembar yang menjadi objek penelitian mereka.

Menurut pakar psikologi Universitas Muhammadiyah Malang Diah Karmiyati, ada dua diskursus tentang hubungan anak kembar secara psikologis, yaitu nature (genetis) dan nurture (lingkungan).

Bagaimanapun, kemiripan yang dimiliki anak kembar yang sudah sangat jelas hanya bisa dilihat dari segi fisiknya. "Kekembaran lebih banyak menentukan hal-hal yang bersifat genetis. Sedangkan perkembangan kepribadian sebenarnya sangat tergantung pada lingkungan," ujar Diah kepada Tirto.

Menurut Diah, perkembangan emosi dan karakter anak kembar sangat dipengaruhi oleh perlakuan keluarga dan lingkungan sosial. Bila mereka dibesarkan bersama, dalam lingkungan yang sama, tak heran mereka mudah memahami pikiran dan perasaan satu sama lain. Jika sebaliknya, besar kemungkinan mereka mengalami perkembangan psikososial yang berbeda, sehingga yang satu mungkin saja kesulitan membayangkan diri berada dalam situasi saudaranya.

"Memang sering, ya, kalau kita lihat anak-anak kembar di sekitar kita kok sepertinya apa-apanya sama, gaya rambutnya sama. Itu terjadi karena mereka dibentuk seperti itu," kata Diah.

Meskipun ada fenomena di mana anak kembar memiliki kesukaan yang sama, para psikolog sebenarnya masih mempertanyakan apakah itu kebetulan atau bawaan.

INFOGRAFIK Telepati anak kembar

Ardi dan Ardan memang memiliki kemiripan selera, mulai dari soal makanan hingga preferensi tipe lawan jenis. Meski begitu, keduanya mengaku punya cara masing-masing dalam menentukan sikap, berpikir, dan menyelesaikan masalah.

"Ardan itu lebih terbuka, berani menyatakan perasaan. Aku lebih sering memilih diam," ujar Ardi. "Dan pola pikir kami semakin berbeda ketika kuliah. Kami juga tidak saling mengorek-orek masalah satu sama lain, sebab itu urusan pribadi," kata Ardan.

"Kami berkomunikasi sebagaimana orang lain berkomunikasi, pakai sms atau WhatsApp. Dan kalau ada anak kembar yang mengaku bisa telepati itu bohong," Ardi melanjutkan. Namun, menurutnya, ketika ia dan Ardan dihadapkan pada suatu kejadian, mereka bisa mengeluarkan tanggapan serupa. Hal itu diamini oleh Ardan."Dalam satu kesempatan, kami bisa mengeluarkan statement yang sama," ujarnya.

Hambatan utama bagi para peneliti yang hendak menelaah “telepati” itu ialah kemunculannya yang spontan, sehingga sulit untuk dikaji di laboratorium. Belum lagi kenyataan bahwa keterhubungan itu tak hanya dialami oleh anak-anak kembar.

“Selalu ada penekanan bahwa siapa pun, pasangan saudara yang tidak kembar sekalipun, bisa saja mengalami hal-hal yang mirip dan mempunyai kepribadian serupa karena faktor genetis dan lingkungan," kata Diah.

Baca juga artikel terkait TELEPATI atau tulisan lainnya dari Arifina Budi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Arifina Budi
Penulis: Arifina Budi
Editor: Zen RS