tirto.id - Anggota Komisi VI DPR RI, Bowo Sidik Pangarso ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis, 28 Maret 2019. Politikus Partai Golkar ini diduga menerima suap dan gratifikasi dengan total sekitar Rp8 miliar.
Sebagian uang haram itu diduga berasal dari Manajer Marketing PT Humpuss Transportasi Kimia (HTK) Asty Winasti. Duit itu diberikan melalui orang suruhannya yang bernama Indung sebesar Rp221 juta dan 85.130 dolar AS lewat tujuh kali pemberian.
Komisi antirasuah menduga PT HTK meminta bantuan Bowo untuk meloloskan kerja sama pengangkutan untuk distribusi pupuk dari PT Pupuk Indonesia Logistik (Pilog).
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menjelaskan, saat petugas komisi antirasuah menemukan uang tersebut, rupanya duit itu telah dimasukkan ke dalam amplop yang masing-masing berisi pecahan Rp50 ribu atau Rp20 ribu. Jumlah amplop mencapai 400 ribu dan seluruhnya dimasukkan ke dalam 84 kardus besar.
Rencananya, uang haram itu akan digunakan Bowo sebagai “serangan fajar” pada hari H Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019 yang akan berlangsung pada 17 April mendatang. Bowo adalah calon legislatif petahana yang berasal dari Partai Golkar di daerah pemilihan Jawa Tengah II yang meliputi Kabupaten Kudus, Kabupaten Jepara, dan Kabupaten Demak.
“Di tengah upaya KPK dan sejumlah partai politik untuk mewujudkan politik yang bersih dan berintegritas, hal-hal transaksional seperti ini harus terjadi. KPK sangat menyesalkan kejadian ini,” kata Basaria.
Adakah Keterlibatan Caleg Lain?
Jumlah amplop yang mencapai 400 ribu lembar itu jelas menuai pertanyaan. Sebab, berdasarkan penelusuran Tirto, pada Pemilihan Anggota Legislatif 2014 lalu, Bowo Sidik Pangarso hanya memerlukan 66.909 suara untuk melenggang ke Senayan.
Basaria Panjaitan menjelaskan, komisi antirasuah sudah berupaya mengklarifikasi soal amplop tersebut. Hasilnya, Bowo mengklaim amplop-amplop tersebut hanya untuk kepentingan pencalonan dirinya. Ia mengatakan tidak ada keterlibatan pihak lain.
“Untuk sementara dari hasil pemeriksaan tim kami, dia mengatakan ini memang dalam kepentingan logistik kepentingan dia sendiri sebagai calon anggota DPR,” kata Basaria.
Basaria juga menilai wajar soal jumlah amplop yang disiapkan Bowo yang mencapai ratusan ribu itu. Sebab, kata Basaria, belum tentu semua orang yang Bowo beri amplop tersebut akan serta merta memilih caleg petahana itu.
“Ini murni untuk dia. Memang setiap kasih sudah pasti milih [dia]? kan enggak," ujar Basaria menjelaskan.
Kendati begitu, Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Oce Madril menilai banyak kemungkinan yang menyebabkan Bowo menyiapkan begitu banyak amplop. Salah satunya adalah kemungkinan Bowo berkolaborasi dengan caleg lainnya.
“Atau boleh jadi berkolaborasi karena [dilihat dari] jumlahnya yang banyak sekali. Kemungkinan-kemungkinan itu bisa saja terjadi,” kata Oce saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (29/3/2019).
Sementara itu, peneliti bidang korupsi politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina menilai KPK harus memeriksa pihak-pihak lain yang diduga terlibat dalam kasus ini. Salah satunya Partai Golkar.
Sebab, kata Almas, partai politik pun turut akan diuntungkan dari sisi perolehan suara bila calegnya melakukan politik uang. Hal ini disebabkan partai politik yang bisa menempatkan calonnya di Senayan terlebih dahulu harus lolos ambang batas parlemen sebesar 4 persen.
“Mungkin parpol enggak secara gamblang memerintahkan caleg-calegnya untuk melakukan politik uang, tapi, kan, suara caleg itu masuk ke suara partai politik. Maksudnya akan menentukan juga partai politik punya suara yang cukup untuk masuk parliamantery treshold," kata Almas.
Terkait ini, Sekretaris Jenderal Partai Golkar Lodewijk Freidrich Paulus mengatakan, Bowo Sidik telah resmi diberhentikan dari kepengurusan DPP Golkar. Ia mengatakan partai berlambang pohon beringin itu telah mengambil langkah-langkah organisasi yang tegas sesuai dengan AD/ART organisasi.
Lodewijk juga mengatakan agar kasus yang menimpa Bowo dijadikan pelajaran bagi para caleg Golkar di seluruh daerah. “Partai Golkar tidak akan mentoleransi kepada kader yang melakukan tindakan koruptif tersebut dan memberikan sanksi yang tegas," kata dia.
Demi Mengunci Suara
Direktur Riset Charta Politika, Muslimin mengatakan praktik politik uang dalam bentuk “serangan fajar” selama ini selalu terjadi di setiap pemilu. Menurut dia, banyak caleg melakukan hal itu karena tidak percaya diri akan menang sehingga menempuh cara itu untuk 'mengunci suara'.
Pada umumnya, dalih para kandidat menebar uang lewat “serangan fajar” ialah untuk mengganti ongkos masyarakat yang mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS) di hari pencoblosan.
Dia menganggap praktik politik uang selama ini dilakukan oleh para caleg dari hampir semua partai politik. Apalagi, jika para caleg itu harus bersaing ketat dengan kandidat dari sesama partai.
"Misalnya di dalam partai, mereka lah yang bertarung di internal. Itu kemudian bagaimana mereka besar-besaran suara di internal partai. Jadi itu yang [juga] membuat money politic terjadi," kata dia.
Karena itu, Muslimin berpendapat politik uang terjadi bukan karena masyarakat tidak cerdas. Hal itu marak terjadi di setiap pemilu karena sikap para caleg dan parpol yang pragmatis.
“Kalau kemudian tidak ada parpol dan caleg membagikan uang, saya kira masyarakat tidak akan menuntut,” kata Muslimin.
Seharusnya, kata Muslimin, para caleg dan semua partai politik memberikan pendidikan politik kepada masyarakat bukan malah melakukan hal yang sebaliknya. “Seperti komitmen tidak melanggar hal-hal seperti itu: membagi-bagikan uang,” kata dia.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz