tirto.id - Wakil Ketua DPR RI Taufik Kurniawan resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, pada Selasa sore (30/10/2018). Politikus PAN ini diduga menerima hadiah atau janji terkait dengan perolehan anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik pada APBN Perubahan Tahun Anggaran 2016.
Penetapan Taufik sebagai tersangka ini merupakan hasil pengembangan kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait DAK untuk Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Pria kelahiran Semarang, 20 November 1967 itu diduga menerima suap sebesar Rp3,65 miliar.
Kasus suap yang menyeret Taufik ini seolah mengonfirmasi temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) perihal sengkarut pengelolaan dana APBN. Koordinator ICW Adnan Topan Husodo mengatakan bahwa praktik calo anggaran yang melibatkan pihak legislatif merupakan hal yang jamak terjadi.
“Kajian ICW dalam kasus DAK pendidikan misalnya, beberapa tahun lalu, juga menemukan banyak sekali kasus korupsi yang ditemukan dalam proyek DAK,” kata Adnan kepada reporter Tirto, Selasa (30/10/2018).
Adnan menyatakan, proses pengalokasian DAK memang rentan korupsi, mulai dari perencanaan, pembahasan, bahkan eksekusinya di daerah. Di dalam konteks pembahasan seperti yang menjerat Taufik Kurniawan, Adnan menengarai pangkal masalahnya ialah karena proses pembahasan sama sekali tidak transparan.
Aktivis antikorupsi ini menilai, memang sudah ada kriteria-kriteria untuk menentukan daerah mana saja yang mendapat DAK, dan berapa besarannya. Namun demikian, kata Adnan, proses politik di DPR membuka ruang terjadinya kesepakatan-kesepakatan antara pemerintah daerah dengan legislator di Senayan.
“Berapa saat perencanaan? Itu juga enggak ada yang tahu. Berapa miliar yang diusulkan daerah? Itu juga enggak ada yang tahu,” kata Adnan.
Karena itu, Adnan mengatakan proses perencanaan, pembahasan, dan implementasi DAK dan dana kucuran lainnya dari pemerintah pusat ke daerah harus dibuat setransparan mungkin. Dengan demikian, maka celah untuk bermain menjadi makin sempit.
DAK adalah alokasi dari APBN kepada provinsi/kabupaten/kota tertentu dengan tujuan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan pemerintah daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
Praktik makelar dalam penyaluran DAK di dalam APBN memang bukan barang baru. Bahkan hal itu sempat disinggung Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani saat pembahasan DAK fisik dalam rapat Panitia Kerja Transfer ke Daerah dan Dana Desa (Panja TKDD) di kompleks parlemen Senayan, Kamis sore (25/10/2018).
“Seperti diketahui oleh pimpinan dan anggota, ada staf Kemenkeu ditangkap KPK karena menjalankan fungsi makelar anggaran,” kata mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu di hadapan anggota DPR.
Staf yang dimaksud Sri Mulyani dalam ujaran tersebut adalah Yaya Purnomo, mantan Kepala Seksi Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Pemukiman pada Ditjen Perimbangan Keuangan. Yaya pada 4 September lalu dicokok KPK karena menerima suap dan diduga jadi makelar anggaran transfer dana ke daerah pada APBN Perubahan 2018.
Tak hanya Yaya, dalam OTT yang dilakukan pada 4 Mei 2018 itu, KPK juga menciduk anggota DPR Komisi XI DPR RI Amin Santono. KPK menduga, pemberian uang pada Amin berkaitan dengan upaya untuk memasukkan usulan anggaran daerah ke tingkat nasional.
Dalam sidang dakwaannya, Yaya disebut telah menerima uang suap sebesar Rp300 juta yang merupakan bagian Rp2,8 miliar yang diterima anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Demokrat Amin Santono karena mengusahakan DAK Kabupaten Lampung Tengah sebesar Rp79,775 miliar dan DID sebesar Rp8,5 miliar.
Sumber Masalah dan Celah Korupsi
Pegiat antikorupsi dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari berpendapat masalah calo anggaran ini terletak pada sistem penentuan daerah mana yang mendapat anggaran DAK. Pasalnya, dengan demikian pihak daerah mesti mengajukan diri untuk mendapat DAK, kemudian melakukan lobi dengan DPR agar pengajuan mereka diterima.
“Sistem ini yang membuka ruang transaksi antara penentu anggaran di DPR dengan orang di daerah. Jadi terbuka luas sehingga membuka potensi percaloan,” kata Fery kepada reporter Tirto, Selasa (30/10/2018).
Karena itu, Feri beranggapan semestinya kewenangan DPR untuk menentukan daerah mana yang mendapat DAK itu dinihilkan. Ia mendasarkan argumennya pada putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2014 tentang uji materi UU Nomor 27 tahun 2009 tentang MD3, dan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Dalam putusan itu, kata Feri, MK telah mencabut kewenangan Banggar untuk membahas kegiatan dan jenis belanja masing-masing kementerian/lembaga pemerintah, atau dengan kata lain melarang Banggar membahas anggaran sampai satuan tiga.
Majelis MK menilai, kewenangan Banggar DPR membahas hingga satuan tiga telah melampaui kewenangan. Pasalnya, kata Feri, secara teknis hal itu merupakan kewenangan pemerintah.
“Hak-hak budgeting DPR itu kan menentukan alokasi, tapi dia tidak boleh sampai satuan tiga, [menentukan] pihak mana yang mendapat anggaran,” kata dia.
Lebih lanjut, Feri menuturkan, DAK bisa disalurkan langsung oleh pemerintah ke daerah. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) bisa dijadikan patokan untuk menentukan daerah mana yang mendapat DAK.
“Alokasi untuk daerah 3T [Tertinggal, Terdepan, Terluar] misalnya. Nanti yang menyalurkan pemerintah,” ujarnya “sehingga tidak perlu lagi daerah membujuk rayu DPR untuk menganggarkan DAK untuk mereka.”
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz