tirto.id - Pembahasan Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik dalam rapat Panitia Kerja Transfer ke Daerah dan Dana Desa (Panja TKDD) di kompleks parlemen Senayan, Kamis sore (25/10/2018) berlangsung alot. Sebabnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati enggan membuka rincian anggaran tersebut dan menganggapnya perlu dirahasiakan.
DAK merupakan anggaran yang dialokasikan kepada daerah tertentu untuk membantu mendanai kegiatan khusus daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Di hadapan anggota dewan, Sri Mulyani menyampaikan bahwa pembahasan DAK Fisik secara detail bakal memicu perdebatan dan menyebabkan pembahasan anggaran menjadi molor.
Di samping itu, besaran jumlah alokasi ke masing-masing daerah juga berpotensi menimbulkan praktik makelar anggaran. “Seperti diketahui oleh pimpinan dan anggota, ada staf Kemenkeu ditangkap KPK karena menjalankan fungsi makelar anggaran,” kata mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu di hadapan anggota DPR.
Staf yang dimaksud Sri Mulyani dalam ujaran tersebut adalah Yaya Purnomo, mantan Kepala Seksi Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Pemukiman pada Ditjen Perimbangan Keuangan. Yaya pada 4 September lalu dicokok KPK karena menerima suap dan diduga jadi makelar anggaran transfer dana ke daerah pada APBN Perubahan 2018.
Praktik percaloan itu terjadi karena Yaya memiliki kedekatan dengan pemilik kewenangan yang berpengaruh di daerah. Untuk mencegah praktik serupa terjadi, kata Sri Mulyani, rancangan detail anggaran harus diumumkan setelah diketok palu dan tak mungkin lagi untuk diubah.
“Jadi sebetulnya yang ingin saya sampaikan di sini, kami harus menjaga jajaran aparat kami sendiri jangan sampai kemudian menggunakan mekanisme ini untuk menciptakan praktik tata kelola tidak baik,” kata Sri Mulyani.
Namun demikian, Sri Mulyani akhirnya bersedia membuka rincian DAK Fisik tersebut lantaran didesak oleh sejumlah anggota dewan. Mereka meminta DAK Fisik dibahas secara rinci guna memastikan aspirasi konstituen mereka di masing-masing daerah pemilihan (dapil) terakomodasi dalam anggaran tersebut.
Anggota DPR yang hadir berdalih, apalagi hak tersebut diamanatkan dalam Pasal 80 Undang-undang MD3 yang mewajibkan anggota dewan "menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat."
Persetujuan pun diambil oleh pimpinan Banggar DPR RI Said Abdullah dengan sejumlah catatan. Salah satunya, kata dia, "pemerintah berkomitmen dengan sungguh-sungguh memasukkan usulan para anggota DPR.”
“Mohon persetujuan bapak ibu sekalian, untuk DAK afirmasi, DAK penugasan, dan DAK reguler, dibuka saja,” kata Said bertanya ke anggota Banggar DPR yang hadir.
“Setuju,” jawab para anggota Banggar serentak.
Tak Efektif dan Timbulkan Potensi Korupsi
Kepala Divisi Riset Transparansi Internasional Indonesia (TII) Wawan Sutami menyampaikan bahwa cara Kemenkeu merahasiakan rincian DAK Fisik tidak tepat jika bertujuan mencegah praktik makelar anggaran. Sebaliknya, hal tersebut bakal membuat Kemenkeu makin tak transparan.
Selama ini, kata Wawan, proses pembahasan anggaran transfer ke daerah di Kemenkeu sendiri cukup tertutup. Padahal, pembahasan anggaran negara merupakan agenda publik yang menuntut adanya keterbukaan agar pengawasannya makin mudah.
“Ketika ditutup maka nanti akan ada perimbangan keuangan daerah, para anggota DPR punya hak reses, maka bisa jadi para anggota jadi makelarnya. Mereka malah bilang mau enggak info tentang ini tapi ada syaratnya nih,” kata Wawan saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (26/10/2018).
Lagi pula, kata dia, potensi percaloan anggaran bukan hanya terjadi saat dibahas di DPR, melainkan saat rencana anggaran disusun dan dibahas di eksekutif.
Hasil penelitian TII menunjukkan, dari tahun ke tahun bahwa relasi korup antara pihak ketiga--pebisnis, biro jasa, calo-- dan pejabat publik naik dan masih mengakar di kementerian maupun lembaga pemerintah. Proses penganggaran, ujar Wawan, adalah arena interaksi tersebut.
Data indeks persepsi korupsi 2017 yang dirilis TII awal tahun lalu, kata Wawan menunjukkan bahwa pelibatan pihak ketiga untuk mengakses layanan publik di tingkat provinsi masih cukup tinggi, di mana 58 persen menggunakan biro jasa untuk mengakses layanan tersebut.
“Artinya apa? Ada potensi kalau anggaran itu bisa dimakelarkan dari proses perencanaan sampai realisasi,” kata Wawan menjelaskan.
Sementara itu, pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia Defny Holidin menyebut bahwa transparansi yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan dalam penganggaran DAK Fisik sebenarnya sudah cukup baik.
Akan tetapi, kata Defny, Kementerian Keuangan salah total jika rincian anggaran tersebut disebut bersifat rahasia. Sebab dalam UU Nomor 14 tahun 2018 tentang Keterbukaan Informasi Publik, penggunaan anggaran yang berasal dari APBN wajib disampaikan ke publik.
“Kalau dari sisi pendekatan administrasi, penganggaran itu sifatnya terbuka dan secara prosedural Presiden mengeluarkan Perpres dan penyusunan DAK Fisik merupakan informasi terbuka dan prosesnya juga dibahas Musrenbang yang dikelola oleh Bappenas. Dan itu isu yang seharusnya semua orang dan pemangku kepentingan tahu," ujarnya.
Menurut Defny, kekhawatiran Sri Mulyani soal bakal adanya makelar jika rincian DAK-Fisik tidak bisa dijadikan alasan. Sebab hal tersebut merupakan konsekuensi dari transparansi anggaran.
“Memang ada kekhawatiran kalau rinciannya dibuka ke publik ada peluang dari sisi makelar proyek ke daerah. Misalnya ada alokasi anggaran ke daerah dengan dana sekian, itu langsung broker bisa lihat, dan manfaatkan celah yang ada di anggaran proyek pembangunan,” kata dia.
Melihat kondisi tersebut, kata Defny, pemerintah seharusnya mengambil langkah antisipasi dengan memperbaiki sistem pengadaan barang dan jasa di daerah. Sebab di tahap realisasi, seringkali lemahnya sistem pengadaan barang atau jasa di daerah jadi celah untuk mengambil keuntungan dari selisih nilai proyek dengan anggaran yang dialokasikan lebih.
Apalagi, masih banyak daerah yang sistem pengadaan barang dan jasanya tidak dikelola oleh unit tersendiri, melainkan hanya sebagai sub-unit dari satuan kerja perangkat daerah yang masih mengerjakan tugas-tugas lain.
Hal tersebut membuat pengawasan dalam sistem pengadaan menjadi lemah, baik karena faktor sumber daya manusianya maupun manajemen organisasinya. "Layanan pengadaan yang sistemnya belum terbangun dengan baik itu membuka peluang adanya permainan makelar," imbuhnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz