Menuju konten utama

Tak Pernah Selesai Menumpuk Kecewa Atas Kasus Pembunuhan Munir

Soal kasus pembunuhan Munir, negara hanya berhasil mengadili pelaku lapangan. Di setiap lapis periode pemerintahan, dalang pembunuhan tak tersentuh.

Tak Pernah Selesai Menumpuk Kecewa Atas Kasus Pembunuhan Munir
Mantan anggota Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir, Amiruddin Al Rahab memegang kartu pos yang menuntut Presiden Joko Widodo untuk segera mengumumkan laporan TPF ketika konferensi pers di Jakarta, Minggu (27/11).ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/aww/16.

tirto.id - Mantan pilot PT Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Priyanto akhirnya bebas murni. Awalnya dia vonis penjara 14 tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada 12 Desember 2005. Dia terbukti merencanakan dan membunuh Aktivis HAM, Munir Said Thalib.

Vonis terberat Pollycarpus dapatkan dari Mahkamah Agung (MA), pada 25 Januari 2007. Polly divonis 20 tahun penjara. Saat itu majelis hakim MA menyatakan, Pollycarpus bukan hanya terbukti membunuh Munir, dia juga dinyatakan terbukti memalsukan surat tugas.

Keringanan bagi hukuman Pollycarpus justru muncul di era kepemimpinan Presiden Jokowi. Sekitar sebulan setelah Jokowi dilantik menjadi presiden Indonesia, Pollycarpus dinyatakan bebas bersyarat, pada 28 November 2014.

Keputusan itu diperkuat SK dari Menkum HAM, Yasonna Hamonangan Laoly. Sejak saat itu Pollycarpus menjadi warga negara wajib lapor hingga dinyatakan bebas murni pada 29 Agustus 2018.

Tapi apakah kasus pembunuhan Munir sudah tuntas? Mantan Ketua Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Meninggalnya Munir, Brigjen Pol Purn Marsudi Hanafi menyatakan belum.

"Yang sekarang diadili cuma pelaku lapangan. Siapa dalang sebenarnya dibalik semua ini belum terungkap. Tak mungkin mereka melakukan tanpa ada yang menyuruh dan mengendalikan," kata Marsudi saat dihubungi reporter Tirto melalui sambungan telepon, Rabu (29/8/18) malam.

Dalam laporan Kontras bertajuk, "Membongkar Konspirasi Kasus Munir" didapati kasus pembunuhan munir diduga dilakukan secara terencana oleh elit pemerintahan. Disebutkan dalam laporan itu, TPF mendapat temuan yang membuktikan ada hubungan sambungan telepon dari ponsel Pollycarpus ke Kantor Deputi V BIN di masa kepemimpinan Hendropriyono.

Kala itu, Muchdi PR memang menjabat sebagai Deputi V BIN. Terlacak ada 35 kali sambungan telepon antara keduanya. Namun BIN tertutup, bahkan hingga TPF masa berlakunya habis, Hendropriyono tak pernah mau diperiksa.

Kontras juga mencatat, secara politik, Munir dan Hendropriyono memiliki ketegangan berkaitan dengan berbagai kasus. Beberapa di antaranya kasus Talangsari hingga peran Kepala BIN yang tidak memperpanjang izin tinggal dan kerja Sidney Jones yang saat itu menjadi Direktur International Crisis Group.

"Munir itu dulu aktivis paling lantang. Mungkin karena situasi yang berbeda dengan sekarang. Saat dulu kebebasan sangat terbatas, orang seperti Munir menjadi langka. Penguasa dan pemangku kepentingan mungkin merasa terganggu," ceritanya.

Marsudi menilai pembunuhan Munir menjadi peristiwa terencana yang sangat rapi. Dia menduga pembunuhan Munir direncanakan oleh orang-orang yang mempunyai kekuatan besar.

“Meski ini sudah menjadi percobaan ketiga kalinya dalam membunuh Munir dan yang ketiga ini berhasil," katanya.

Kata Karib Munir

Rusdi Marpaung, 49 tahun, kecewa 14 tahun berlalu sejak Munir dibunuh tapi dalang utama tindakan biadab itu belum diungkap. Ia khawatir dalang pembunuhan itu masih bebas berkeliaran dan tanpa tersentuh masalah hukum.

"Pollycarpus tak mungkin kerja sendiri. Dia seorang pilot. Di pengadilan, dia disebut pembunuh konspiratif, itu artinya selain dia masih ada lagi aktor lain yang lebih besar," kata rekan dekat Munir di lembaga pemantauan HAM, Imparsial saat dihubungi reporter Tirto, Rabu 29 Agustus 2018.

Rusdi menilai ada dua titik kelemahan krusial yang membuat kasus Munir tak kunjung selesai: hukum dan politik. Dalam ranah hukum, permasalahan substansial yang belum selesai karena dalang belum diketahui hingga saat ini. Sedangkan dalam ranah politik, tak ada political will Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan kasus ini.

Terlebih dokumen TPF yang telah diserahkan pada pemerintah Indonesia hingga kini tak jelas di mana rimbanya. "Ada banyak, tapi tidak diumumkan oleh pemerintah. Kekuatan politik dokumen itu kurang karena tidak diumumkan oleh Presiden," tuturnya.

Dia juga menegaskan, dengan tidak tuntasnya kasus Munir membuat Indonesia memiliki utang sejarah berat. Di sisi lain menurutnya hal itu menunjukkan Indonesia masih gagal menjamin hak asasi konstituennya.

"Ini cerita bagaimana orang baik itu dihabiskan," keluhnya.

Infografik CI Raibnya Dokumen Pembunuhan Munir

Dihubungi secara terpisah, Muji Kartika Rahayu, mengungkapkan hal serupa. Muji adalah anggota Tim Pengacara Komite Solidaritas untuk Munir. Dia juga merupakan adik kelas Munir saat kuliah di Universitas Brawijaya.

Dia menuturkan, di era pemerintahan Jokowi, kasus Munir menjadi bagian dari banyak kaus lain yang diabaikan pemerintah. Bahkan berbagai kasus baru pun turut menumpuk dan membentuk permasalahan yang makin membesar.

"Tidak heran kalau tidak apa-apain. Rezim ini [Jokowi] tidak menganggap kasus ini [pembunuhan Munir] menjadi penting. Jangan berharap pemenuhan HAM, bahkan kasus ini tidak menjadi modalitas bagaimana pemerintah menaikkan citra ke publik," kata wanita yang kerap disapa Kanti itu kepada reporter Tirto, Kamis 30 Agustus 2018.

Dia berharap agar publik terus mengingat kasus pembunuhan Munir. Sebab jika kasus itu terendam perubahan zaman, maka makin dijauhkan dari penuntasan kasusnya. Menurutnya kasus semacam ini tak akan tuntas ditangani satu periode pemerintahan.

"Kematian ini akan hanya menjadi kematian biasa, selama ia tidak menjadi pembelajaran bagi publik. Negara juga demikian, harus berani berhadapan dengan kasus seperti ini. Negara bisa lebih wibawa jika bisa lebih tinggi dari penjahat," tutupnya.

Baca juga artikel terkait PEMBUNUHAN MUNIR atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Current issue
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Dieqy Hasbi Widhana