tirto.id - “Swedia dan Finlandia, ekonominya berjalan hampir 70-80 persen, berasal dari pengelolaan hutan yang baik,” ujar Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, dalam pidato Hari Lingkungan Hidup di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta Pusat, Rabu (2/8) pekan lalu.
“Saya kira kita tidak usah sulit-sulit, di-copy saja dan disesuaikan dengan keadaan hutan negara kita, tapi pengelolaan hutan beratus tahun baik itu yang harus kita jadikan contoh, jadi sample, kirim dari Kementerian LHK melihat bagaimana pengelolaan hutan dan lingkungan hidup berjalan bersama-sama, ekonominya dapat lingkungannya juga dapat,” tambah Jokowi.
Anjuran Jokowi adalah pekerjaan yang sangat berat untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Walau presiden menyederhanakannya dengan istilah "di-copy saja", faktanya pengelolaan hutan Indonesia jauh teringgal dari Swedia dan Finlandia.
- Baca juga: Hutan Indonesia Makin Botak
Undang-Undang yang Sudah Usang
Finlandia, 1886: Pemerintah mengesahkan Undang-Undang Kehutanan. Pengesahan UU tersebut adalah kelanjutan dari pembentukan Otoritas Pengelola Hutan pada 1859, yang bertujuan untuk memulihkan hutan dan meningkatkan kualitas pengelolaannya.
Pemerintah Finlandia membentuk Otoritas Pengelolaan Hutan karena keadaan hutan yang mengkhawatirkan pada saat itu. Kerusakan hutan terjadi akibat penebangan besar-besaran untuk pembukaan lahan dan kayu bakar.
Sejak pertama kali disahkan hingga saat ini Undang-Undang Kehutanan Finlandia beberapa kali diperbaharui. Yang terbaru disahkan pada 2014. Menurut Undang-Undang Kehutanan terbaru, pemilik hutan harus mengganti hutan yang ditebang dengan hutan baru dalam waktu yang ditentukan.
Swedia, 1903: Parlemen menetapkan kebijakan kehutanan nasional dan mengesahkan Undang-Undang Kehutanan, yang fokusnya adalah regenerasi hutan. Pemicu disahkannya Undang-Undang Kehutanan Swedia sama dengan Finlandia.
- Lihat juga: Data Hutan Adat di Indonesia
Pemerintah Swedia pada 1993 mengubah kebijakan kehutanannya untuk menambahkan kepentingan produksi ke dalam UU yang melindungi lingkungan. Perubahan tahun 2008 membuat Undang-Undang Kehutanan Swedia mencakup kepentingan ekonomi, lingkungan, dan sosial yang seimbang.
Indonesia, 2017: Universitas Gadjah Mada menggelar seminar nasional bertajuk "Urgensi Perubahan Undang-Undang nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan". Tujuannya mendesak pemerintah untuk merevisi UU tersebut berlandaskan spirit, filosofis, serta sosiologis yang jelas terkait pengelolaan sumber daya alam terutama hutan. Pihak UGM menilai undang-undang hutan yang ada dinilai belum mampu memperbaiki kondisi hutan Indonesia yang saat ini berada dalam kondisi memprihatinkan.
“Kondisi hutan Indonesia darurat luar biasa untuk perbaikan. Sayangnya, UU Kehutanan belum bisa memperbaiki berbagai persoalan yang ada sehingga perlu penggantian undang-undang bukan hanya perubahan pasal per pasal,” ujar Dr. Satyawan Pudyatmoko dari tim pakar Fakultas Kehutanan UGM, sebagaimana dikutip dari situs resmi UGM.
Ratusan Tahun Tertinggal
Indonesia mustahil mengejar ketinggalan dari Swedia dan Finlandia dalam waktu dekat. Dengan dua juta hektar per tahun, Indonesia adalah negara dengan laju deforestasi tertinggi di dunia. Sementara itu volume kayu di hutan Swedia dan Finlandia dari tahun ke tahun selalu meningkat.
Pada 2005 hingga 2015 rataan produksi kayu Finlandia mencapai 57 juta meter kubik per tahun. Data terbaru dari Kementerian Pertanian dan Kehutanan Finlandia menunjukkan, produksi kayu Finlandia mencapai 105 juta meter kubik per tahun.
Pengelolaan hutan Finlandia begitu baik hingga bukan hanya volume tebangan yang meningkat, tetapi juga volume persediaannya. Swedia juga demikian. Hutan Swedia terjaga karena walau panen tahunan meningkat, persediaan pohon untuk ditebang juga meningkat. Pada 1950, volume pohon siap tebang Swedia adalah 1 milyar meter kubik; sekarang, 3 milyar meter kubik.
- Baca juga: Hutan Adat Masuk Program Perhutanan Sosial
Swedia memastikan volume persediaan terus meningkat dengan beberapa cara. Salah satunya adalah dengan hanya menebang 75 persen dari seluruh persediaan yang ada, sembari terus meningkatkan jumlah bibit pohon baru. Untuk setiap pohon yang ditebang, Swedia menanam tiga bibit baru.
Finlandia juga memberi perhatian serius terhadap regenerasi. Penumbuhan hutan baru Finlandia dilakukan dengan regenerasi artifisial (dengan menanam atau menebar bibit di bidang hutan baru) atau regenerasi alami (dengan mempertahankan sejumlah pohon dewasa di area tebangan, sebagai penyedia bibit baru).
Regenerasi adalah kunci. Kunci lainnya, barangkali, adalah subsidi. Pemberian subsidi pengelolaan hutan menjadi penting karena pemerintah adalah pemilik minoritas hutan, baik di Swedia maupun Finlandia.
Di Swedia, masyarakat adalah pemilik mayoritas hutan; pemerintah hanya menguasai tiga persennya. Di Finlandia sama saja. Lebih dari separuh hutan Finlandia adalah milik masyarakat. Jika dirata-rata, ada 4,2 hektar hutan untuk setiap warga Finlandia. Dan Finlandia adalah negara paling berhutan di Eropa – 80 persen daratan Finlandia adalah hutan.
Pemerintah Finlandia memberi subsidi pengelolaan hutan kepada pihak swasta dan perorangan untuk menjaga keberlangsungan pertumbuhan dan kesehatan hutan. Besar kemungkinan, swasta dan perorangan tidak merasakan manfaat langsung dari upaya mereka menjaga hutan. Memberi subsidi pengelolaan hutan adalah cara pemerintah Finlandia mendorong pemilik hutan untuk berpikir jangka panjang dalam pengelolaan hutan.
Pihak swasta dan perorangan Swedia juga mendapat subsidi dari pemerintah karena hal tersebut dijamin dalam UU. Tujuan pendanaan pengelolaan hutan adalah untuk meningkatkan pertumbuhan hutan, mempertahankan jaringan untuk tujuan kehutanan, menjamin keanekaragaman hayati hutan, dan mendorong adaptasi hutan terhadap perubahan iklim.
Seluruh langkah yang diambil swedia dan Finlandia, juga buah positif yang mereka nikmati sekarang, adalah sebuah proses yang panjang. Sama sekali bukan hasil instan yang seketika. Butuh konsistensi dan persistensi yang bertahan hingga sekian generasi untuk memperbaiki hutan seperti yang dilakukan Swedia dan Finlandia.
Untuk memulainya memang harus dilakukan selekas mungkin. Tapi, walau pun sudah dilakukan, bahkan dengan cara yang benar sekali pun, adakah jaminan bahwa langkah itu akan berlanjut pada rezim berikutnya, pada sepuluh atau dua puluh tahun kemudian?
Penulis: Taufiq Nur Shiddiq
Editor: Zen RS