Menuju konten utama

Syarat Seseorang Bisa Jadi Justice Collaborator Seperti Bharada E

Apa itu justice collaborator dan syarat seseorang bisa menjadi justice collaborator seperti pada kasus tewasnya Brigadir J.

Syarat Seseorang Bisa Jadi Justice Collaborator Seperti Bharada E
Ajudan Irjen Pol Ferdy Sambo, Bhayangkara Dua Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E (kiri) berjalan memasuki ruangan saat tiba di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Selasa (26/7/2022). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/nym.

tirto.id - Bharada Richard Eliezer atau Bharada E telah ditetapkan sebagai tersangka atas kasus baku tembak yang menewaskan Brigadir J di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo pada Jumat (8/7/2022).

Mereka diduga saling tembak karena adanya pelecehan seksual oleh Brigadir J pada istri Irjen Ferdy. Dari gelar perkara dan pemeriksaan saksi, penyidik menganggap cukup bukti untuk menjadikan Bharada E sebagai tersangka.

Kendati demikian, pengacara baru Bharada E, Deolipa Yumara, menilai kliennya adalah saksi kunci. Dia berpendapat jika Bharada E bukan serta merta menjadi tersangka tunggal. Oleh sebab itu, Deolipa ingin Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) membantu melindungi Bharada E.

Menurut Deolipa, Bharada E siap dijadikan justice collaborator. Dengan demikian, profil-profil orang yang juga turut terlibat dalam kasus ini dapat diungkap.

Arti justice collaborator dan syaratnya

Justice collaborator(JC) merupakan sebutan untuk pelaku kejahatan yang memutuskan bekerja sama dalam memberikan keterangan dan bantuan bagi penegak hukum. Dikutip dari situsLK2FH UI,ide lahirnya JC adalah semangat untuk membongkar kasus yang lebih besar.

Sebuah kasus kejahatan bisa jadi telah terorganisasi dan melibatkan beberapa orang melalui satu lingkaran koordinasi. Mereka bekerja bersama untuk tujuan kejahatan yang sama. Kadang pula, pelaku juga membentuk kerja sama kolutif yang melibatkan aparat penegak hukum dan menciptakan jejaring komplotan yang solid.

Kesulitan membongkar pihak-pihak yang terlibat kejahatan tersebut karena adanya sisi psikologis yang dinamakan paranoid solidarity. setiap pelaku merasa takut dikucilkan, dibenci, hingga dijerumuskan kelompoknya jika mengungkap semua saat tertangkap. Oleh sebab itu, mereka akan melindungi setiap satu dengan lainnya ketika tertangkap pihak penegak hukum.

Dari situlah, keberadaan pelaku yang memutuskan menjadi JC sangat penting dalam pengungkapan kejahatan terorganisasi. Keselamatan JC, dan mungkin keluarganya, akan terancam saat memutuskan mengungkap semuanya. Keberadaan institusi seperti LPSK sangat diperlukan fungsinya.

Dikutip dari situsJurnal DPR, ketentuan perlindungan saksi dan korban umumnya secara khusus diatur melalui UU No. 13 Tahun 2006. Undang-undang tersebut membahas tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Sementara itu, kriteria menjadi JC diterbitkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 tahun 2011. Pada angka (9a) dan (b) disebutkan bahwa dalam mengungkap tindak pidana yang luar biasa atau terorganisasi, keberadaan JC bukanlah pelaku utama. Dalam memberikan informasinya, JC harus memberikan keterangan yang signifikan, relevan, dan andal.

Selain itu, kriteria JC lainnya adalah mengakui tindakan kejahatan yang dilakukannya dan bersedia mengembalikan aset yang diperoleh melalui pernyataan tertulis (dalam kasus korupsi). Lalu, JC juga mesti bersedia bekerja sama dan kooperatif dengan penegak hukum.

Kompensasi bagi JC

Pelaku kejahatan yang menjadi JC akan diberikan kompensasi atas perannya untuk menguak tabir kejahatan. JC yang terbukti melakukan kejahatannya secara sah dan meyakinkan, tetap akan memperoleh hukumannya. Tapi, kontribusinya sebagai JC dijadikan pertimbangan hakim yang bisa meringankan hukumannya.

Hal ini termaktub dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Di aturan tersebut disebutkan:

(1) Saksi korban dan pelapor tidak dapat dituntut atas laporan dan kesaksiannya

(2) Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.

Di samping itu, dalam Pasal 197 angka (1) huruf F KUHAP juga disebutkan berbagai keadaan yang bisa memberatkan dan meringankan terdakwa.

Keadaan yang dapat meringankan hukuman terdakwa yaitu memberikan keterangan yang tidak berbelit-belit, kooperatif, belum pernah dihukum sebelumnya, berusia muda, baik atau sopan selama persidangan, dan memiliki tanggungan anggota keluarga.

Baca juga artikel terkait KASUS BHARADA E atau tulisan lainnya dari Ilham Choirul Anwar

tirto.id - Hukum
Kontributor: Ilham Choirul Anwar
Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Nur Hidayah Perwitasari