tirto.id - Setelah sebuah pesawat angkut Belanda lepas landas dari Yogyakarta, seorang perwira senior Belanda mendekati seorang tawanannya. Mereka bukan orang asing karena sudah saling kenal sejak 1930-an, jauh sebelum Perang Dunia II berkecamuk. Si tawanan adalah anak didik si perwira di Akademi Militer Kerajaan Belanda di Breda.
“Nak, apa yang telah kau perbuat?” tanya si perwira senior.
Si tawanan menjawab, “Tunggu saja, siapa di antara kita nanti yang benar!”
Peristiwa itu terjadi setelah Kota Yogyakarta diserbu Belanda pada 19 Desember 1948. Masyarakat Indonesia menyebut peristiwa itu sebagai Agresi Militer Belanda II. Si tawanan yang dimaksud adalah Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Komodor Suryadi Suryadarma. Dia ditawan ketika berada di Gedung Agung Yogyakarta.
Bagi Abdul Haris Nasution, seperti dicatatnya dalam memoarMemenuhi Panggilan Tugas 2A: Kenangan Masa Gerilya (1989, hlm. 139), “Pembicaraan ini menggambarkan hakihat perang ini (maksudnya Perang Kemerdekaan Indonesia) dan bagaimana hasilnya kelak. Di mana Indonesia kemudian menang dalam diplomatis, bukan dalam hal militer tentunya.”
Penerima Salib Perunggu
Pada zaman kolonial, hanya sedikit orang Indonesia yang diberi kesempatan berdinas di armada udara Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL). Di antara yang sangat sedikit itu ada Prajurit Kelas Satu Mertosurono dengan nomor stamboek 95820 dan Prajurit Kelas Satu Amat Kasirun dengan nomor stamboek 4794. Keduanya bukan penerbang, tapi ikut serta dalam penerbangan naas pada 14 April 1936 di Cililin, Jawa Barat.
Buku Jejak Langkah Penerbangan di Nusantara (2005, hlm. 6-9), keduanya gugur dalam kecelakaan pesawat Fokker FC-IV 417T. Pesawat itu diterbangkan oleh Letnan Penerbang Infanteri P. van Livieren.
Yang lebih langka lagi adalah orang Indonesia yang jadi penerbang. Di bagian penerbangan, serdadu Indonesia lazimnya diposisikan sebagai teknisi, penembak, atau navigator. Sutrisno, dalam buku Marsekal TNI Suryadi Suryadarma (1985, hlm. 13) menyebut, sampai tahun 1932, hanya ada satu orang Indonesia yang tercatat sebagai siswa pengintai di sekolah penerbangan militer, yaitu Kapten Wardiman Wirjosaputro.
Setelah Wardiman, sekitar 1937, barulah muncul nama Suryadi Suryadarma sebagai navigator KNIL yang lain. Pada 1939,beberapa pemuda pribumi berhasil dapat kesempatan menjadi penerbang. Namun, sebagian dari mereka tak lolos seleksi lanjutan dan kemudian beralih ke bagian lain.
Suryadi termasuk perwira penerbangan pribumi yang cukup gemilang di kemiliteran Hindia Belanda. Dia pernah mendapatkan penghargaan sebelum Hindia Belanda dikuasai oleh Jepang.
Menurut Benjamin Bouman dalam Van driekleur tot rood-wit: De Indonesische officieren uit het KNIL (1995, hlm. 375), Suryadi masuk KNIL sebagai perwira infanteri. Selulus dari Akademi Militer di Breda, sejak 1934, dia adalah letnan kelas dua infanteri di batalyon Infanteri Pertama. Pada akhir tahun 1937, dia menjadi pelajar di sekolah penerbangan dan navigator militer KNIL di Kalijati Subang.
Pelatihan itu selesai pada 16 April 1938. Dia kemudian menjadi pelatih di sekolah tersebut. Lalu, di awal Perang Dunia II, Suryadi mulai membuktikan kemampuannya dengan ikut melawan serbuan militer Jepang di sekitar Melak (dulu disebut Samarinda II) di Kalimantan Timur.
Kala itu, Suryadi masih berpangkatletnan kelas satu. Suryadi di tempatkan dalam satuan Bommen Werper (pelempar bom) sebelum 1942. Orang Indonesia lain dalam satuan tersebut adalah Boediardjo, seorang kopral telegrafis. Boediardjo dalam Siapa Sudi Saya Dongengi (1996, hlm. 25) menyebut satuan tersebut pernah ditugaskan ke Kalimantan, Malaya dan Thailand.
Suryadi membuktikan diri sebagai kombatan yang bisa diandalkan. Tidak kalah dengan personel Belanda totok. Suryadi resmi menjadi penerima Bronzen Kruis (Salib Perunggu) dari Kerajaan Belanda pada 27 Januari 1942. Sebelum Jepang mendarat, antara 16 Januari 1942 hingga 23 Februari 1942, Suryadi ditugaskan memberikan kursus membidik bom darurat.
Cerita Suryadi bersama armada udara KNIL harus berakir setelah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada militer Jepang. Di zaman pendudukan Jepang, Suryadi pun hanya bisa menjadi perwira polisi di sekitar Bandung. Sampai kemudian Didi Kartasasmita—sesama mantan perwira KNIL—mengajaknya untuk mendukung kemerdekaan Republik Indonesia.
Kepala Staf Angkatan Udara Pertama
Setelah Indonesia merdeka, Suryadi Suryadarma kembali ke dunia penerbangan militer. Mula-mula dia bergabung dengan militer Republik. Suryadarma kemudian ikut berperan dalam pendirian Tentara Rakyat Indonesia Djawatan Penerbangan.
Semula, satuan itu lebih mirip armada udara dari Angkatan Darat, seperti di zaman KNIL dulu. Kemudian, pada 9 April 1946, jawatan itu bertransformasi menjadi Angkatan Udara. Ia kini setara dengan Angkatan Darat di dalam kesatuan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Suryadi pun terpilih menjadi Kepala Staf Angkatan Udara dengan pangkat komodor. Di bawahanya, ada Komodor Muda Agustinus Adisutjipto yang dikenal sebagai pendidik para penerbang pertama di awal revolusi kemerdekaan.
Keterlibatannya bersama Republik, membuatnya dipecat dari KNIL. Bicara soal kesejahteraan, menjadi prajurit KNIL tentu saja lebih nyaman. Di masa transisi yang serba tak menentu, menjadi TNI sama saja menjadi tentara miskin. Tapi, Suryadi dan banyak eks KNIL lain rupanya lebih memilih jadi miskin daripada membela Belanda.
Kondisi perang juga membuat Angkatan Udara kekurangan alutsista yang mumpuni untuk melawan militer Belanda. Kala itu, armada pesawat Angkatan Udara tidak bisa diharapkan. Tapi, Angkatan Udara tetap membuktikan perannya lewat radio.
Suryadi Suryadarma adalah salah satu pejabat militer Indonesia yang ditawan oleh militer Belanda ketika Agresi Militer II terjadi. Beberapa pejabat militer yang juga ditawan Belanda, di antaranya Jenderal Mayor Sutomo alias Bung Tomo.
Penawanan itu kerap digunakan lawan politiknya untuk menekan Suryadi. Bahkan, Suryadi pernah minta mundur jika fakta itu dianggap menjadikannya tak layak memimpin Angkatan Udara. Ketika terjadi kasus penembakan Istana Negara oleh seorang pilot Angkatan Udara, Suryadi kembali menyediakan diri untuk dicopot.
Tapi, Presiden Sukarno menolaknya. Pada akhirnya, Suryadi baru bisa mundur pada 1962. Itu menjadikannya sebagai Kepala Staf Angkatan Udara dengan masa jabatan terlama, terhitung sejak 1946 hingga 1962. Seperti halnya Jenderal Abdul Haris Nasution yang memperoleh predikat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat terlama (dari 1948-1952 dan periode 1955-1962). Semasa menjadi Kepala Staf Angkatan Udara, Suryadi juga pernah dipilih menjadi Kepala Staf Angkatan Perang. Setelah purna tugas dari kemiliteran, Suryadi Suryadarma dipercaya menjadi Menteri Perhubungan Pos dan Telekomunikasi.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi