Menuju konten utama
13 Juni 2020

Pramono Edhie Wibowo, Karier Militernya Melampaui Ayah & Kakak Ipar

Saat menjadi ajudan presiden, posisi Pramono Edhie Wibowo terjepit dalam konflik Megawati dengan SBY, kakak iparnya.

Pramono Edhie Wibowo, Karier Militernya Melampaui Ayah & Kakak Ipar
Header mozaik Pramono Edhie. tirto/Quita

tirto.id - Sebagai anak tentara, Pramono Edhie Wibowo mesti berpindah-pindah sekolah mengikuti penugasan ayahnya. Hidupnya tak jauh dari dunia tangsi, bahkan dia pun lahir di kota tangsi Magelang. Setelah menamatkan jenjang SMA, dia mengikuti jejak ayahnya masuk pendidikan militer dan kelak masuk Korps Baret Merah.

“Pramono Edhie Wibowo lahir pada tanggal yang unik, 5 Mei 1955,” kata Kristina Herawati alias Ani Yudhoyono dalam Kepak Sayap Putri Prajurit (2013:46).

Kota pertama yang dia singgahi ketika ayahnya dipindahkan adalah Cimahi. Saat kelas lima sekolah dasar di Cijantung, dia dan kakaknya naik pesawat ke Medan, menyusul ayahnya, Brigadir Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, yang ditugaskan menjadi Panglima Kodam Bukit Barisan.

Pramono Edhie Wibowo sempat merasakan SMP di Jayapura ketika ayahnya menjadi Panglima Kodam Cendrawasih. Dan sebelum lulus dari SMP, dai harus ikut pindah lagi ke Magelang. Jenjang SMA dia habiskan di SMA Negeri Jakarta hingga lulus pada tahun 1974.

Saat ayahnya ditugaskan sebagai Duta Besar Korea Selatan, Pramono ikut serta. Selama di sana, oleh ayahnya dia digembleng latihan fisik. Dia rupanya dipersiapkan untuk masuk Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri). Dan saat kembali ke tanah air, dia langsung menjadi pendaftar kedua di hari pertama pendaftaran Akabri. Tak lama kemudian dia pun diterima dan lagi-lagi harus tinggal di Magelang.

Karier Militer & Terimpit Konflik SBY-Mega

Sebelum lulus dari Akabri pada 1979, seperti dicatat Rajab Ritonga dalam Pramono Edhie Wibowo dan Cetak Biru Indonesia Kedepan (2014:25), Pramono sempat magang di Batalion Infanteri 744 di Dili, Timor-Timur, yang tengah bergolak. Dulu, Pramono pernah SMP di Jayapura yang banyak OPM, kini di Timor-Timur banyak Fretilin. Bedanya, sebagai taruna berseragam ABRI, nyawanya lebih berpeluang untuk melayang.

Kala itu Batalion 744 dipimpin perwira Baret Merah, Mayor Yunus Yosfiah (Akademi Militer Nasional 1965). Ketika magang, pangkat Pramono Sersan Mayor Satu Taruna. Setelah lulus dari Akabri dan dilantik sebagai Letnan Dua Infanteri pada 1 Maret 1980, dia masuk Korps Baret Merah. Pada 1980 korps itu bernama Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha), belakangan diubah menjadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Warsa 1981, Pramono kembali ke Timor-Timur.

Sarwo Edhie Wibowo bisa jadi bangga padanya, sebab dialah yang berhasil menjadi penerusnya di Korps Baret Merat. Para menantunya, termasuk Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), meski sama-sama di Angkatan Darat, tapi tak masuk kesatuan elite tersebut.

Ketika Prabowo Subianto menjadi Danjen Kopassus antara akhir 1995 hingga Maret 1998, Pramono dipercaya menjadi komandan grup 1 (1997) dan komandan grup 5 (1998). Pangkatnya kala itu sudah Kolonel.

Saat menjadi Komandan Grup 5 Kopassus di Cijantung, dia menjelaskan kepada Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri yang didampingi KSAD Jenderal Tyasno Sudarto, Menteri Perindustrian Jenderal Luhut Binsar Panjaitan, dan Menkopolkam Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tentang keahlian anggota Grup 5 Kopassus sebagai prajurit komando dengan kemampuan antiteror.

“Tidak berselang lama dari kunjungan itu, Kolonel Edhie diangkat menjadi ajudan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri,” tulis Rajab Ritonga.

Di tahun-tahun terakhir Megawati menjadi presiden dan dia masih menjadi ajudannya, Pramono terjepit dalam perseteruan antara Megawati dengan SBY, kakak iparnya.

Infografik Mozaik Pramono Edhie

Infografik mozaik Pramono Edhie. tirto/Quita

“Posisi Edhie Wibowo sebagai ajudan 'terjepit' di antara Megawati dengan Yudhoyono (SBY), namun dia tetap berusaha humble dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai ajudan Megawati,” tulis Rajab Ritonga.

Perseteruan itu akhirnya mengantarkan SBY menjadi Presiden RI ke-6. Menurut Rajab Ritonga, meski kakak iparnya telah menjadi orang nomor satu di republik ini, tapi karier Pramono tak langsung bersinar. Dia sempat ditugaskan di Sesko TNI sebagai perwira staf ahli bidang ekonomi politik. Lima bulan kemudian, barulah dia menjadi Wakil Danjen Kopassus dengan pangkat Brigadir Jenderal. Dua setengah tahun kemudian dia menjadi Kepala Staf Kodam Diponegoro.

Warsa 2008, Pramono diangkat menjadi Danjen Kopassus. Setelah itu pangkatnya menjadi Mayor Jenderal. Setahun kemudian dia menjadi Panglima Kodam Siliwangi. Dari tahun 2010 hingga 2011, dia menjadi Panglima Kostrad. Pangkatnya pun naik jadi Letnan Jenderal. Kariernya terus menanjak dan berakhir sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).

Dalam Sarwo Edhie dan Peristiwa 1965 (2013:96) disebutkan bahwa posisinya sebagai KSAD membuatnya makin dikenal khalayak ramai. Namun untuk menjadi presiden, menurut Burhanudin Muhtadi, “popularitasnya masih belum cukup. Masih perlu kerja keras.”

Demokrat sampai Akhir Hayat

Setelah pensiun, Pramono Edhie Wibowo bergabung dengan Partai Demokrat yang menjadi kendaraan politi SBY untuk menjadi Presiden RI selama dua periode. Die pernah mengikuti Konvensi Capres Partai Demokrat. Hasilnya, dia berada di urutan kedua setelah Dahlan Iskan yang saat itu menjabat sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara. Meski demikian, namanya tenggelam dalam ingar bingar persaingan calon presiden 2019-2024

Pramono adalah suami Kiki Gayatri Soepono, putri dari Soepono yang menjadi wakil ketua Proyek Jatiluhur. "Saya sendiri baru kenal Kiki dua tahun lalu, sewaktu mengantar Ibu ke rumahnya," ujar Pramono kepada Tempo (14/07/1984).

Ketika menikahi Kiki Gayatri Soepono, pangkatnya baru Letnan Satu dan ayahnya masih bisa menyaksikan acara itu. Tanggal 13 Juni 2020, tepat hari ini dua tahun lalu, Pramono Edhie Wibowo mengembuskan napasnya yang terakhir. Dia menyusul ayah dan kakaknya.

==========

Artikel ini terbit pertama kali pada 14 Juni 2020. Redaksi melakukan penyuntingan ulang dan menayangkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait PRAMONO EDHIE MENINGGAL atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh Pribadi