tirto.id - Survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2020 menyingkap tabir Kartu Prakerja. Sebanyak 66,47 persen penerima program ini statusnya masih 'bekerja', sementara penerima dengan status 'pengangguran' hanya 22,24 persen dan sisanya, 11,29 persen, diisi Bukan Angkatan Kerja (BAK).
Berdasarkan Perpres 76/2020, yang bisa jadi penerima Kartu Prakerja memang cukup luas. Pasal 3 Perpres 76/2020 mencatat dari mulai korban PHK, pencari kerja, pekerja/buruh yang masih membutuhkan peningkatan kompetensi, mereka yang dirumahkan, pekerja bukan penerima upah, hingga UMKM.
Namun, seperti yang dinyatakan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, prioritas utama penerima program yang tujuannya untuk menanggulangi dampak COVID-19 ini adalah pekerja yang dirumahkan dan yang terkena PHK.
Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) ini membantah dua survei sekaligus. Pertama, 'Survei Penerima Manfaat Kartu Prakerja' Juni 2020 oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang menyatakan sekitar 80,08 persen penerima manfaat merupakan pengangguran. Kedua, survei yang dipaparkan Project Management Officer (PMO) Kartu Prakerja, Rabu pada 14 Oktober, yang menyebut 87 persen penerima merupakan pengangguran.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan sekilas angka ini menunjukkan ada ketidaksesuaian dengan persyaratan penerima Kartu Prakerja. Namun menurutnya hal ini bisa dimengerti. Dari penerima Kartu Prakerja yang masih 'bekerja', sekitar 63 persennya berstatus pekerja penuh. Sisanya, 36 persen, merupakan pekerja tidak penuh atau bekerja di bawah 35 jam/minggu. Masih ada banyak pekerja tak penuh yang menerima manfaat bisa dipahami karena menurutnya pemasukan mereka berkurang seiring turunnya jam kerja selama pandemi.
“Pekerja tidak penuh tergolong pekerja paruh waktu atau setengah pengangguran. Income mereka terbatas jadi bisa dimaklumi (mengakses Kartu Prakerja) meski statusnya bekerja,” ucap Suhariyanto dalam acara bertajuk Survei BPS Bicara Tentang Kartu Prakerja, Senin (23/11/2020).
Menanggapi temuan ini, Direktur Eksekutif PMO Prakerja Denni Purbasari secara tidak langsung membenarkan temuan BPS, alih-alih survei internal mereka. Ia mengatakan perbedaan ini disebabkan karena survei BPS mengacu pada definisi metodologis; sementara pertanyaan survei PMO relatif lebih luas, yaitu 'bekerja' atau 'tidak'.
Survei PMO juga dilakukan secara daring. Ini mengakibatkan persepsi tiap orang tentang bekerja atau tidak mungkin berbeda. Sementara survei BPS dilakukan langsung dengan menerjunkan tim ke lapangan. Tim inilah yang dapat menjelaskan definisi secara pasti kepada responden sehingga hasil lebih akurat.
“Saat kami bilang 88 persen penerima Kartu Prakerja tidak bekerja itu dalam persepsi mereka. Pertanyaan kami lewat online. Pak Kecuk (Suhariyanto), tim BPS, datang dan bisa menjelaskan,” ucap Denni dalam diskusi yang sama.
Salah Sasaran
Bagi Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal, survei BPS ini tegas menyatakan satu hal: Kartu Prakerja salah sasaran. “Seharusnya diarahkan ke mereka yang terkena PHK dan mereka yang mencari kerja,” ucap Faisal kepada reporter Tirto, Selasa (24/11/2020).
Seharusnya program ini bisa meminimalisasi dampak COVID-19 untuk para pekerja sebagaimana juga disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rapat Komisi XI, Rabu 6 Mei lalu. Ketika itu dia bilang Kartu Prakerja didesain sebagai bantuan sosial untuk mengantisipasi lonjakan PHK akibat Corona.
Kartu Prakerja sebagai bantuan sosial juga tampak karena hanya 28 persen dari total manfaat, yang jumlahnya Rp3,5 juta, yang dialokasikan untuk membiayai pelatihan alias meningkatkan kemampuan.
Justifikasi bahwa mereka yang mengalami penurunan pendapatan juga butuh Kartu Prakerja juga tak dapat diterima, katanya. Pasalnya, pemerintah menggelontorkan sederet bantuan lain di luar itu, dari mulai subsidi gaji untuk pekerja di bawah gaji Rp5 juta hingga bantuan presiden produktif untuk UMKM. Jika penerima yang masih bekerja ikut Kartu Prakerja, ada potensi bantuan yang mereka nikmati menjadi dobel. Di sisi lain, mungkin ada pekerja yang terkena PHK atau dirumahkan tapi belum terjangkau seluruh bantuan.
Belum lagi sekitar 11,29 persen ternyata masuk golongan Bukan Angkatan Kerja. Definisi BPS mencatat BKA bisa berupa orang berusia minimal 15 tahun dan masih mengenyam pendidikan sampai ibu rumah tangga. Jika demikian, ada potensi salah sasaran lain karena Kartu Prakerja menetapkan syarat penerima minimal berusia 18 tahun dan tidak sedang mengenyam pendidikan.
Belum lagi kelompok rumah tangga juga sudah disasar pemerintah melalui bantuan langsung tunai, sembako, maupun Program Keluarga Harapan (PKH) jika miskin.
Intinya, kata Faisal, Kartu Prakerja “jadi tidak menurunkan tingkat pengangguran. Upayanya menekan tingkat kemiskinan juga berkurang. Upaya menjaga daya beli juga berkurang efektivitasnya.”
=====
Adendum
Naskah ini pada Jumat, 27 November pukul 15.30 WIB, mengalami pembaruan pada bagian judul, yang lebih disesuaikan dengan isi berita. Seperti dalam isi berita, Kepala BPS Suhariyanto "bisa mengerti" mengapa ada ketidakcocokan antara hasil survei BPS dan survei internal Manajamen Kartu Prakerja. Survei BPS mengacu pada definisi metodologis soal pengangguran, sementara survei Project Management Officer Kartu Prakerja mencakup definisi lebih luas, yakni 'bekerja' atau 'tidak'. Survei BPS langsung ke lapangan, sementara survei tim internal Kartu Prakerja dilakukan secara daring. Survei BPS ini dipakai sebagai evaluasi bagi tim manajemen Kartu Prakerja.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino