tirto.id - Di Flores Room Hotel Borobudur, 25 Januari 1976, Ibu Tien Suharto menerima sebuah lukisan potret dirinya (berukuran 1 x 2 meter) dari Basuki Abdullah saat membuka pameran dalam rangka ulang tahun ke-61 maestro seni lukis tersebut.
Koran Suara Karya (26 Januari 1976) memberitakan, lukisan kenang-kenangan dari Basuki Abdullah itu menggambarkan Ibu Tien Suharto mengenakan kain panjang batik Jawa, dengan kebaya ungu terang berukuran panjang model Minangkabau.
Tidak hanya menerima lukisan dari dari Basuki Abdullah, istri Presiden Suharto itu juga menerima sebuah lukisan sumbangan dari Sudwikatmono. Sehari setelah pembukaan pameran Harian Angkatan Bersenjata memberitakan bahwa lukisan yang disumbangkan oleh Sudwikatmono merupakan cerminan Presiden Suharto dan Ibu Tien.
“Setelah menikmati segala sesuatu yang indah mulai dari warna-warna cemerlang, bunga-bunga, pemandangan yang menghanyutkan, wanita-wanita jelita dan binatang-binatang yang langsung seperti kuda dan harimau, Ibu Tien menerima pula sebuah lukisan hasil sumbangan Sudwikatmono dari PT Bogasari. Lukisan ini merupakan pencerminan peranan Presiden Suharto dan Ibu Tien sebagai pemimpin, pramuka dan petani,” tulis koran tersebut.
Lukisan menggambarkan Ibu Tien, dan juga Presiden Suharto, memang menjadi pusat perhatian dalam pameran. Posisi lukisannya berada di bagian tengah ruang pamer dengan hiasan pigura berukir indah dan berwarna emas. Selain lukisan pasangan orang nomor satu di Indonesia pada waktu itu, lukisan Raja Bhumibol dan Ratu Sirikit juga mendapat posisi khusus, berdampingan dengan lukisan Ibu Tien dan Suharto dan berhias pigura serupa.
Pemosisian dua lukisan pucuk pimpinan dari dua negara, Indonesia dan Thailand, barangkali juga untuk langsung menggiring pembacaan pengunjung sekaligus merepresentasikan tema besar pameran yang berjudul Indonesia dan Thailand Indah itu.
Pameran yang berlangsung dari tanggal 25 sampai 31 Januari 1976 itu memang mendapat sambutan hangat dari berbagai kalangan, termasuk Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta.
Wajar saja, jika dihitung, Basuki Abdullah sudah hampir 20 tahun tidak mengadakan pameran di Indonesia dan selama itu pula masyarakat Indonesia tidak bisa menyaksikan lukisannya secara langsung dalam sebuah ruang pameran.
Ia pada waktu itu tinggal di Thailand, menjadi pelukis Kerajaan Thailand (termasuk menjadi guru lukis Raja Bhumibol dan menjaga koleksi lukisan Grand Palace), setelah sebelumnya merantau dan tinggal di Eropa.
Sambutan hangat warga dan keramaian kunjungan pameran juga digambarkan koran Suara Karya melalui pemberitaan dengan judul “Pameran Basuki Abdullah Kebanjiran Pengunjung” (30 Januari 1976).
Koran tersebut mengungkapkan bahwa pameran lukisan karya Basuki Abdullah merupakan sesuatu yang tidak biasa, karena untuk masuk ruang pameran orang-orang harus bayar, akan tetapi pengunjung tetap “meluap”.
“Flores Room Hotel Borobudur tempat lukisan-lukisan itu dipajang berubah seperti gang-gang di Proyek Senen. Terutama anak-anak sekolah, sebelum ganti bis di Lapangan Banteng singgah dulu buat melihat lukisan-lukisan asli Basuki Abdullah. Sebab sebelumnya karya seniman yang lama menetap di Thailand ini hanya dikenal lewat karya reproduksi,” tulis Suara Karya.
Dalam pameran yang disponsori oleh Adam Malik tersebut, Basuki Abdullah menampilkan kurang lebih 200 karya. Tercatat, lukisan tersebut 10 di antaranya merupakan koleksi Istana Merdeka, 3 buah koleksi Istana Bangkok, 2 buah koleksi The Bangkok Bank Limited, 64 buah koleksi pribadi berupa potret diri dari masing-masing pemesan yang merupakan warga Jakarta, 12 buah koleksi para pembeli, 66 buah lukisan flora dan fauna serta panorama Indonesia, dan dan 42 lukisan mengenai Thailand.
Adam Malik, yang pada periode tersebut menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Indonesia, memang menjadi sosok utama yang membuat pameran Basuki Abdullah terlaksana. Dalam jumpa pers di Hotel Indonesia beberapa waktu sebelum pameran, Basuki Abdullah mengungkapkan bahwa ia bertemu dengan Adam Malik di Bangkok, dan mengajaknya untuk melihat kondisi Indonesia.
“Coba Pak Basuki lihat Indonesia sekarang yang ada banjir dan banyak mobil yang didorong,” kata Adam Malik kepada Basuki Abdullah yang mengatakan bahwa Indonesia sudah jauh lebih maju.
Ide Art Gallery Nasional
Selain dalam rangka pameran (dan menjual lukisan) Basuki Abdullah mempunyai misi untuk mendorong pemerintah Indonesia untuk membangun art gallery (galeri seni) nasional — pada awalnya Basuki Abdullah mengistilahkan Museum Lukisan Nasional.
Saat diwawancara oleh media-media cetak Indonesia ia mengatakan bahwa musim tersebut penting, guna menentukan status para pelukis di samping tempat memamerkan karya. Ia membayangkan, di dalam art gallery tersebut akan terdapat 4 ribu sampai 5 ribu karya pelukis Indonesia, dan juga bisa menampung koleksi para pejabat dan lainnya.
Selain itu Basuki Abdullah berangan-angan, art gallery tersebut akan menjadi balai apresiasi dan membina rasa gemar terhadap seni lukis. “Bisa saja nanti museum ini bagi pelukis yang berhasil diberi tanda jasa,” katanya sebagaimana ditulis Sinar Harapan, 23 Januari 1976.
Keinginan besar maestro lukis tersebut agar pemerintah Indonesia merealisasikan kehadiran sebuah art gallery nasional kemudian didorongnya dengan memberikan sumbangan sebesar Rp7.350.850 kepada Pemda DKI Jakarta melalui Gubernur Ali Sadikin.
Sumbangan diserahkan langsung oleh Basuki Abdullah kepada Ali Sadikin di Balai Kota Jakarta seminggu setelah pameran di Hotel Borobudur ditutup. Penyerahan tersebut juga disaksikan oleh Ketua Dewan Kesenian Jakarta Djaduk Djajakusuma dan pelukis Zaini.
Koran Suara Karya, 9 Februari 1976, memberitakan bahwa sumbangan itu keseluruhannya merupakan hasil pameran Basuki Abdullah. Sebanyak Rp5.850.850 dari hasil penjualan lukisan dan 1,5 juta hasil penjualan karcis masuk. Pameran selama sepekan di Hotel Borobudur tersebut diperkirakan telah dikunjungi kurang-lebih 25.000 orang dewasa dan anak-anak.
Untuk orang dewasa dipatok karcis seharga Rp500 dan untuk anak-anak Rp200. Saat menerima sumbangan dari Basuki Abdullah, Gubernur Ali Sadikin mengungkapkan bahwa ia baru pertama kali menerima sumbangan begitu besar dari sebuah pameran lukisan. Ia juga mengatakan bahwa dalam dalam sejarah Kota Jakarta, baru kali ini (pada pameran Basuki Abdullah) orang membayar untuk menyaksikan pameran lukisan.
Seperti gayung bersambut, dorongan Basuki Abdullah agar Indonesia memiliki art gallery langsung diterima oleh Ali Sadikin dengan menyediakan bekas kantor Walikota Jakarta Barat yang terletak berdekatan dengan Taman Fatahillah. Dengan adanya tempat pameran seni nasional nanti, terang Ali Sadikin, Jakarta akan menambah tempat yang mempunyai arti dan patut dibanggakan dalam bidang kesenian.
Namun Gubernur DKI Jakarta itu menegaskan, bahwa pembangunan art gallery yang besar dan megah sewajarnya menjadi tanggung jawab pemerintahan pusat. Ia menggambarkan art gallery nasional harus berada di sekitar lapangan Monas, terletak di antara gedung-gedung departemen yang kelak dibangun, Istana Merdeka, Museum Pusat, Masjid Istiqlal dan bangunan-bangunan monumental lainnya.
Kelak pandangan Ali Sadikin ini direalisasikan Mendikbud Fuad Hasan dengan menghadirkan Gedung Pameran Seni Rupa Depdikbud (1987), dan dilanjutkan perjuangan untuk mengubah nama Galeri Nasional Indonesia oleh Prof Edi Sedyawati (Dirjen Kebudayaan 1993-1999), dan baru disetujui Menko Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara pada tahun 1998.
Ali Sadikin mengungkapkan, art gallery yang dipersiapkan Pemda DKI Jakarta di dekat Taman Fatahillah sifatnya sementara sebelum adanya art galery nasional sesungguhnya. Ia juga mengatakan bahwa untuk mengisi art gallery, Menlu Adam Malik sudah bersedia menyerahkan lukisan-lukisan koleksi pribadi yang dikumpulkannya selama ini sebanyak 300 sampai 400 ratus buah lukisan.
“Daripada lukisan itu diminta atau dipinjam Dubes-Dubes di Jakarta, lebih baik saya serahkan kepada suatu lembaga yang bergerak untuk kepentingan masyarakat,” kata Ali Sadikin mengulang perkataan Adam Malik (Harian Pelita, 9 Februari 1976).
Riak Pameran Basuki Abdullah
Pameran Indonesia dan Thailand Indah Basuki Abdullah dapat dikatakan riak yang kemudian mendorong banyak orang untuk turut serta mendesak pembangunan art gallery nasional di Indonesia.
Sebagaimana dijanjikan Ali Sadikin, bekas kantor Walikota Jakarta Barat yang terletak berdekatan dengan Taman Fatahillah mulai diperbaiki dan disempurnakan oleh Bagian Pemugaran DKI Jakarta pada bulan Mei 1976. Tempat tersebut kemudian hari diberi nama Balai Seni Rupa, dimana dalam rencana akan memajang karya-karya seni lukis dan seni rupa Indonesia sepanjang zaman.
Koran Berita Yudha (23 April 1976) memberitakan, seiring dengan proses penyelesaian Balai Seni Rupa, Yayasan Mitra Budaya yang bergerak di bidang seni rupa dan kesenian juga mengupayakan untuk mengundang kolektor seni rupa, seniman, dan masyarakat umum untuk ikut menyumbangkan koleksi-koleksi lukisan terbaiknya untuk mengisi ruang tersebut.
Yayasan tersebut juga mengadakan acara amal Annual Mitra Budaya Ball pada 2 Juni 1976 di Hotel Borobudur untuk mengumpulkan karya-karya yang akan disumbangkan.
“Mereka yang berhasrat untuk menyumbangkan lukisan untuk Balai Seni Rupa tetapi tidak bisa memilih lukisan, akan dibantu oleh tim seleksi dari Mitra Budaya yang diketuai oleh Soemardjo Sasrowardojo. Tim yang akan menentukan lukisan-lukisan mana yang pantas ditempatkan di Balai Seni Rupa, dilihat dari mutu lukisan yang dihasilkannya atas permintaan penyumbang, nama mereka dapat dicantumkan dalam lukisan yang disimpan di Balai Seni Rupa itu,” terang Berita Yudha mengenai proses acara amal tersebut.
Keinginan Basuki Abdullah dan banyak seniman lain akan kehadiran sebuah art gallery akhirnya terwujud dengan dibukanya Balai Seni Rupa pada tanggal 20 Agustus 1976.
Peresmian art galery yang dipugar dari bekas kantor Walikota Jakarta Barat (awalnya Kantor Dewan Kehakiman Pemerintah Hindia Belanda) itu dilakukan oleh Presiden Suharto. Sebanyak 107 lukisan karya-karya pelukis Indonesia menjadi koleksi awal Balai Seni Rupa.
Para penyumbang lukisan-lukisan tersebut adalah Menlu Adam Malik (51 lukisan), Yayasan Mitra Budaya (52 lukisan), Basuki Abdullah (1 lukisan), Alex Papadimitriou (1 lukisan), Taufiq Ismail (1 lukisan), Ir. Ciputra (1 lukisan).
Peresmian Balai Seni Rupa ini sekaligus menandai dibukanya Pameran 100 Hari dengan tema Seabad Senirupa Indonesia. Hitungan seabad itu, menurut Ali Sadikin, bertolak dari tanda tahun yang tercantum dalam lukisan Raden Saleh berjudul “Perkelahian dengan Singa” (1870).
Lukisan koleksi Istana Kepresidenan Republik Indonesia tersebut turut dihadirkan dalam peresmian Balai Seni Rupa. Dan dengan berlatarkan lukisan itu, Presiden Suharto dalam sambutannya menyerukan, supaya seniman-seniman seni rupa untuk mulai menyusun kerangka seni rupa Indonesia sehingga akan terdapat suatu sejarah yang sempurna.
Penulis: Esha Tegar Putra
Editor: Lilin Rosa Santi