tirto.id - Pelaksana tugas (Plt) DKI Jakarta Sumarsono atau Soni menyatakan jika pembangunan MRT (Mass Rapid Transit) fase kedua masih dalam proses wacana dan belum bisa diputuskan apakah pembangunan hanya sampai Kampung Bandan atau dilanjutkan hingga Ancol Timur.
Soni berdalih jika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan terlebih dahulu menyelesaikan pembangunan fase pertama sampai Bundaran HI. "Fase kedua itu baru wacana belum ada yang fix, semua masih bisa jadi bahan diskusi. Jadi alternatifnya Kampung Bandan dan Ancol Timur," ujar Soni di Daan Mogot, Jakarta Barat, Senin (27/3/2017) malam.
Kemudian ia mengaku jika permasalahan tanah memang masih belum diselesaikan dan belum ada hitam di atas putih. "Tapi awalnya (pembangunan MRT fase kedua) memang Kampung Bandan. Ancol Timur juga kita sedang klarifikasi kepada PT Ancol Timur dan kemungkinan seperti itu. Dulu ada rencana wacana ke Pulau K, tapi sedang bermasalah pulau tersebut," imbuh Soni.
Soni mengatakan jika Pemprov DKI masih akan terus mengkaji pembangunan MRT fase kedua dan mencari lokasi yang tepat. Lebih lanjut, Soni mengatakan telah meminta PT KAI untuk membereskan penggunaan tanah oleh tiga perusahaan setelah itu dilanjutkan dengan penyediaan lahan untuk MRT.
Soni menganggap bahwa wacana pembangunan MRT fase kedua layaknya bola liar yang bisa ditendang kemana saja. "Jadi melihat situasi medan, perencanaan itu boleh, namanya juga trial and error dalam proses perencanaan," ujar Soni.
Ketidakjelasan rencana pembangunan MRT fase kedua tersebut mendapatkan kritik dari DPRD DKI Jakarta. Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Triwisaksana, menyebut jika perubahan desain pembangunan MRT fase kedua merupakan salah satu bagian dari proyek reklamasi.
Pasalnya, pembangunan tersebut yang awalnya desain hanya dari Bundaran HI sampai Kampung Bandan, berubah hingga Ancol Timur. Bahkan, ada wacana hingga pulau K "reklamasi".
Wacana pembangunan hingga Pulau K, lanjut Triwisaksana, dikarenakan tidak tersedianya lahan di Ancol Timur untuk depo MRT. Karenanya, ia menilai jika alasan tersebut hanya mengada-ada dan terlalu dipaksakan.
Menurut Tri, pembangunan tersebut telah didesain lama dan matang termasuk kebutuhan lahan.
“Sehingga menjadi aneh ketika koridor 1 sudah berjalan konstruksinya, tiba-tiba dinyatakan lahan untuk depo yang berada di ujung koridor 2 tidak mencukupi,” ungkap dia di DPRD DKI Jakarta, Jalan Kebon Sirih Jakarta Pusat, Senin (27/3/2017).
Perubahan tersebut, dikatakan Tri, akan meningkatkan biaya pembangunan karena dengan lokasi depo yang berada di Pulau K di Ancol, maka panjang koridor 2 ini bertambah sekitar 1 kilometer. Padahal, pembangunan MRT sangat mahal.
Selain itu, menurut Tri, pada September 2015 juga sudah ada perkiraan peningkatan biaya akibat pembebasan lahan yang belum tuntas untuk koridor 1. Lalu pada September 2016 sudah ada perhitungan baru.
“Kemungkinan pembengkakan biaya untuk menyesuaikan harga dan menyesuaikan dengan koefisien gempa yang memang untuk penambahan ini sulit dihindari,” tuturnya.
Selebihnya, Tri menjelaskan jika biaya pembangunan MRT berasal dari pinjaman luar negeri yang harus dikembalikan, penambahan biaya berarti menambah beban utang dan bunga yang harus dibayarkan.
Di sisi lain, kelanjutan proyek reklamasi pesisir utara Jakarta juga masih kontroversi karena dianggap hanya memberikan manfaat untuk kelompok tertentu saja. Bahkan, gugatan di PTUN terhadap reklamasi Pulau K yang direncanakan menjadi tujuan akhir dan lokasi depo MRT ini baru saja dimenangkan oleh masyarakat sehingga kegiatan reklamasi pulau K harus dihentikan dulu.
"Jangan sampai uang rakyat yang digunakan untuk membangun MRT ini hanya untuk kepentingan segelintir orang atau kelompok dengan memaksakan perubahan rute MRT koridor 2 sampai ke kawasan reklamasi,” pungkas Triwisaksana.
Penulis: Chusnul Chotimah
Editor: Maya Saputri