tirto.id - Seorang berperawakan kurus mengenakan kebaya dan wig rambut panjang berwarna hitam dan emas. Di Galeri Komunitas Salihara, Jakarta, ia menari dengan luwes di atas panggung. Riasan di wajah membuat sang penari terlihat ayu. Di balik mukanya, ia mengenakan topeng berwajah monyet, yang juga mengiringinya sebagai piranti kala berlenggak-lenggok.
Didik Nini Thowok, demikian nama panggung pria berusia 65 tahun itu, tengah menunjukkan kepiawaiannya. Maestro tari Indonesia itu memang dikenal karena keluwesannya sebagai penari lintas gender (cross gender).
Betul, tiap kali pentas, Didik selalu membawakan tarian putri.
Karier Didik sebagai penari lintas gender bermula pada 1974. Meski begitu, Didik menyadari bahwa sejak kecil dirinya sudah terlihat feminin.
“Dari kecil sudah sering nari di gereja, acara natal. Dari kebiasaan itu, sering pertunjukan, semakin senang belajar nari. Saat belajar menari di Yogya, saya dan guru saya menyadari, saya lebih cepat hafal kalau jadi wanita. Jadi saya manut (menuruti) omongan guru,” aku Didik kepada Tirto seusai acara.
Keseriusan Didik untuk menekuni tari perempuan rupanya harus menempuh jalan berliku. Meski orangtuanya mendukung, masyarakat tak begitu saja bisa menerima peran Didik sebagai perempuan saat menari. Cemoohan juga datang dari saudaranya.
“Awalnya ada pikiran kalau tidak akan ada tempat untuk saya. Tapi bagi saya, yang penting jadi penari yang baik. Setelah itu keterusan. Ketika saya membawakan tari putri, saya harus bisa lebih baik dari perempuan, jadi ada nilai lebihnya,” ujar Didik.
Ada di berbagai belahan dunia
Kesenian lintas gender sebetulnya bukan hal asing di banyak tempat. Masyarakat Jepang, misalnya, mengenal seni drama Kabuki. Dikutip dari Japan Arts Council, drama yang seluruh pemainnya laki-laki ini lahir pada 1603. Kala itu, rombongan gadis penari yang dipimpin Izumo-no-Okuni, seorang bekas pelayan kuil, manggung di seputar Kyoto.
Rupanya, pertunjukan para penari Izumo-no-Okuni menciptakan sensasi yang tak lazim buat penduduk Kyoto pada zamannya, sehingga kemudian dijuluki “Kabuki” yang berarti "tidak ortodoks" atau "nyentrik". Walhasil, tarian itu dilarang hingga akhirnya para penari "Kabuki" diganti oleh grup yang seluruhnya laki-laki dewasa. Setelah itu, makna Kabuki pun mengalami pergeseran. Kini orang mengenal Kabuki sebagai gabungan dari tiga kata: Ka (nyanyian), Bu (tarian), Ki (teknik atau keterampilan).
Kabuki yang berawal sebagai tarian berdurasi pendek lambat laun berubah menjadi kombinasi drama dan tari. Dari yang lahir sebagai hiburan bagi para pedagang, kini dirayakan sebagai kesenian teater terbesar di dunia. Hari ini, Kabuki memiliki nilai gengsi yang tinggi. Apalagi di setiap pementasannya, seluruh penonton wajib mengenakan Kimono.
Selain Jepang, India pun memiliki kesenian lintas gender, yakni Stree Vesham, sebuah tradisi di mana laki-laki memerankan perempuan di beberapa tarian. Tari Kathakali, misalnya.
Menurut Centre for Cultural Resources and Training India, Kathakali adalah kesenian teater bercorak sosial dan keagamaan yang tumbuh di wilayah selatan India pada zaman kuna. Ia lahir dari perpaduan tarian, musik, akting, dan dramatisasi cerita, yang diadaptasi dari epos-epos India.
Tiap pentas, wajah seniman dilukis agar nampak seperti topeng. Bibir, bulu mata, dan alis juga dilukis agar menonjolkan karakter.
Tak hanya di Jepang dan India, kesenian lintas gender pun dirayakan sebagai kesenian rakyat di berbagai belahan dunia. Mulai dari Commedia dell’arte (yang beken di Eropa pada abad ke-14 hingga 18), Opera Yueju di Tiongkok (yang karakter wanita dan prianya sama-sama diperankan perempuan), serta Balet Trockadero di Amerika Serikat (seluruh pemainnya laki-laki dan memerankan tokoh perempuan maupun laki-laki).
Makin Suram di Indonesia
Didik Nini Thowok menuturkan bahwa kesenian lintas gendersudah jadi tradisi di Indonesia sejak dulu. Coraknya banyak, mulai dari Pawestren (Jawa Timur), Tari Bebancihan (Bali), Bissu (Sulawesi Selatan), hingga Randai (Padang, Sumatera Barat).
Kesenian Wayang Wong (Wayang Orang) di Yogyakarta masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII-VIII, jelas Didik, seluruhnya diperankan oleh laki-laki. Alasannya, kesultanan Yogyakarta memeluk agama Islam.
“Dulu di tarian itu 'kan ada adegan berpelukan, pangku-pangkuan. Nah, kalau itu dibawakan oleh perempuan, jadi kan nggak boleh, karena dianggap bukan mukhrim di Islam. Makanya kemudian diperankan laki-laki,” ungkap Didik.
Selain itu, keselamatan dan keamanan menjadi alasan pihak keraton untuk tidak menampilkan putri-putrinya tiap kali menjamu tamu Belanda.
Pementasan lintas gendertak hanya dipraktikkan dalam pementasan Wayang Wong. Sebelum abad 20, terang Didik, seluruh pemain kesenian ketoprak adalah laki-laki. Menempatkan laki-laki pada seluruh peran dalam ketoprak adalah bentuk penghormatan kepada perempuan. “Dulu orang berpikir, wong wedhok kok dadi ledhek (orang perempuan kok berdandan menor)."
Tak hanya Wayang Orang dan Ketoprak, masyarakat Padang, Sumatera Barat, juga mempraktikkan kesenian lintas gender yang dikenal sebagai Randai atau Ronggeng. Dalam drama tari Randai, karakter wanita diperankan oleh laki-laki.
“Salah satu alasannya, pertunjukan Randai biasanya diselenggarakan semalam suntuk di lapangan luas. Orang menilai jika wanita ikut terlibat sampai pagi, akan negatif akibatnya, tidak sopan, dan berbahaya,” tutur Didik.
Dalam studi Sri Rustiyanti dkk yang berjudul “Estetika Tari Minang dalam Kesenian Randai Analisis Tekstual-Kontekstual” (2013, PDF), disebutkan bahwa Randai adalah bentuk kesenian multi-medium di dalamnya terdapat beberapa cabang seni seperti seni tari, seni musi, seni teater, seni sastra, dan seni rupa.
Jawa Barat pun akrab dengan kesenian cross gender, yakni tari topeng. Mayoritas penarinya adalah perempuan yang membawakan lakon laki-laki. Tarian ini memiliki berbagai aneka ragam gaya yang berbeda antara satu tempat dengan yang lainnya. Tari topeng Palimanan berbeda dari tari topeng Indramayu, yang juga punya corak berlainan dari tari topeng Losari, dan seterusnya.
Menurut catatan Lasmiyati dalam “Rasinah: Mestro Tari Topeng Indramayu” (2013, PDF), tari topeng mulanya berkembang sebagai media dakwah Islam di lingkungan Keraton Cirebon. Namun setelah kehadiran Belanda, peta politik Keraton berubah, dan sebagian masyarakatnya, termasuk para seniman topeng, pindah ke daerah sekitar Cirebon seperti Losari, Slangit, Babakan, Palimanan, hingga Indramayu.
Lasmiyati menyebutkan lima karakter dalam tari topeng, yakni Topeng Panji (yang menggambarkan sifat bayi yang baru lahir), Topeng Samba (melambangkan sifat keremajaan), Topeng Tumenggung (sifat kepatihan Kacirebonan), Topeng Kelana (sifat emosi dan angkara murka), serta Topeng Udeng Kelana (sifat sama dengan Topeng Kelana, akan tetapi sang penari tidak mengenakan penutup kepala Sobra, alih-alih hanya ikat kepala kain atau udeng). Salah seorang penari topeng yang tersohor adalah Mimi Rasinah.
Rasinah bergelut dengan tari topeng gaya Pekandangan selama 30 tahun. Dua tahun sebelum meninggal, tepatnya 15 Maret 2008, Rasinah pensiun dari panggung. Pada 2004, Rasinah mendirikan sanggar tari topeng untuk melestarikan tradisi tari topeng.
“Ia berkeinginan agar kesenian tradisional tidak punah. Ia merasa prihatin sebab tari Topeng Indramayu menjadi barang asing di Indramayu sendiri,” tulis Lasmiyati.
Di mata Didik, perkembangan kesenian lintas gender saat ini mengalami kemunduran. Salah satu penyebabnya adalah sensor. Ia mengambil contoh ketika Komisi Penyiaran Indonesia melarang penggambaran laki-laki berpenampilan perempuan di layar kaca pada 2016 silam. Namun, akhirnya KPI merevisi aturan itu dan memberikan pengecualian kepada kesenian tradisional.
“Tayangan lintas gender saat ini lebih bisa diterima masyarakat dalam bentuk komedi, sehingga seninya jadi kabur. Padahal sebenarnya kesenian lintas gender adalah skill yang harus dipelajari,” tutur Didik.
Menurut Didik, hanya Pulau Bali yang memiliki perhatian khusus terhadap kesenian lintas gender, terbukti dari banyaknya pertunjukan seperti Sekar Gong Kebyar Wanita (grup karawitan Bali tradisional wanita), Topeng Wanita, kecak Wanita, Arja Muani, dan Gambuh Muani.
Didik bahkan mengaku kesulitan saat hendak menerbitkan buku tentang kesenian lintas gender di Indonesia. Buku biografi dirinya itu akhirnya justru diterbitkan oleh Osaka University, Jepang.
“Kita kurang belajar sejarah. Seharusnya pemerintah memberikan edukasi kepada masyarakat, kalau seni itu nggak masalah. Harus dipilah-pilah. Makanya, untuk seniman cross gender jangan asal ketika membawakan,” pungkas Didik.
Editor: Windu Jusuf