tirto.id - Pasar malam menumpahkan orang-orang ke badan jalan. Arus lalu lintas tersendat. Musik dangdut menghentak-hentak. Sekitar lima meter dari pusat keramaian terdapat papan kecil bertuliskan “Desa Budaya Rancakalong”, tepat di mulut sebuah jalan kecil. Sebelum ujung jalan kecil tersebut, tampak hamparan sawah tengah disinari purnama.
Saya memarkirkan motor di petak sawah yang telah ditimbuni tanah dan berfungsi sebagai lapangan bola voli. Di sini, suara musik dangdut berganti suara tarawangsa dan kecapi jentréng yang nyaring lewat pengeras suara. Di lahan yang agak tinggi, terdapat sebuah panggung pagelaran, leuit atau lumbung beras, lisung atau tempat menumbuk beras, dua balai kecil, dapur terbuka, dan sisanya tanah kosong dilapisi paving block.
Orang-orang berkumpul melingkar di panggung. Laki-laki di sebelah kanan, sementara perempuan di sisi kiri. Sejumlah hasil bumi terkumpul di satu sisi panggung dekat pemain musik. Asap mengepul dari sebuah pembakaran, sesekali seorang tua menaburi pembakaran itu dengan kemenyan.
Setelah sambutan dari para tokoh kampung selesai, musik kembali berbunyi, kini ditingkahi para penari lelaki tua yang bergerak gemulai memakai selendang warna-warni. Kepala mereka ditutupi iket, sementara kaki dihiasi kain batik. Tarawangsa dan kecapi jentréng menjerit-jerit. Asap kemenyan semakin tebal membubung. Hampir 30 menit mereka menari.
Musik berhenti sebentar. Lalu para ibu tua bersiap menari. Musik dan tari-tarian berlangsung terus-menerus sampai menjelang azan Subuh. Para penari bergantian, anak-anak muda tak ketinggalan. Para penari bergoyang mengikuti irama musik yang kadang sampai pada kondisi trance. Beberapa penari yang kesurupan akibat suara musik repetitif, baik laki-laki maupun perempuan, menari dengan hentakan kuat. Setelah itu, mereka menangis sambil mengusap wajah.
Sidik Permana dalam Antropologi Perdesaan dan Pembangunan Berkelanjutan (2016) mengisahkan hal serupa seperti yang saya alami. Namun, menurutnya kesurupan bukan sekadar disebabkan musik yang repetitif, tetapi oleh masuknya roh para leluhur ke tubuh para penari.
“Dalam pertunjukan Tarawangsa, penduduk menari sambil diiringi musik semalam suntuk, tak sedikit orang yang menari mengalami kerasukan (trance) ruh para leluhur. Semilir bau kemenyan yang menyengat pun ikut memberikan suasana mistis yang kuat,” tulisnya.
Sementara Ridwan Hutagalung, salah seorang penonton yang hadir, meski malam itu tak sempat ikut menari di panggung, tapi ia pernah mengalaminya pada tahun 2003 dan 2006, saat kesenian Tarawangsa digelar di dalam rumah. Menurutnya, sebelum kesenian Tarawangsa dipusatkan di satu tempat dan digelar di panggung terbuka seperti malam itu, para penari terlihat lebih intens karena asap pembakaran dan aroma kemenyan lebih kuat.
"Saya mah hésé ogé sih buat trance, ngan nya karasa arah rék leungit téh (Saya sih susah mencapai trance, tapi ya terasa arah menuju hilang kesadaran)," ujarnya menceritakan pengalamannya saat ikut menari pada gelaran-gelaran kesenian Tarawangsa sebelumnya.
Pagelaran ini di adakan di Desa Rancakalong, Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang. Meski acara semalam suntuk itu adalah rangkaian Ngalaksa, tapi masyarakat di luar Rancakalong kerap menyebutnya sebagai kesenian Tarawangsa, mengacu kepada salah satu alat musik yang dimainkan dalam pagelaran tersebut.
Ngalaksa sebagai Rasa Syukur
Masyarakat Rancakolong yang agraris, seperti masyarakat pertanian di berbagai wilayah di Indonesia, mempunyai cara untuk menghormati Tuhan dan alam atas kelimpahan hasil bumi, salah satunya adalah upacara Ngalaksa.
Upacara ini, menurut Ela Yulaeliah dalam “Musik Pengiring dalam Upacara Ngalaksa Masyarakat Rancakalong Sumedang” (jurnal Resital, Vol. 9 No. 1, Juni 2008), adalah upacara mengolah bahan makanan dari hasil panen sebagai ungkapan rasa syukur ke hadirat Tuhan yang mahakuasa.
“Dengan kata lain, upacara Ngalaksa merupakan upacara yang berkaitan dengan ritual kesuburan dan sebagai sarana penghormatan kepada Dewi Sri sebagai Dewi Pohaci atau Ibu Padi dengan diiringi musik tarawangsa dan kecapi selam tujuh hari tujuh malam,” tulisnya.
Meski demikian, kini sebelum kesenian Tarawangsa digelar, para tokoh dan sesepuh selalu mengawalinya dengan memanjatkan pujian kepada Allah dan menghaturkan salawat kepada Nabi Muhammad. Tradisi bersatu dengan keyakinan menurut agama Islam. Bagi masyarakat Rancakalong hal ini hidup selaras dalam keseharian.
Ngalaksa berasal dari kata laksa. Lema ini dalam Kamus Basa Sunda (2009) yang disusun oleh R.A. Danadibrata mempunyai beberapa arti, salah satunya “bahan makanan dari tepung beras, bentuknya panjang, di Italia disebutnya makaroni."
Sementara menurut Mama Sukarma, tokoh Ngalaksa desa Rancakalong, seperti disampaikan oleh Yulaeliah menyebutkan bahwa laksa adalah makanan dengan bahan dasar tepung beras yang diolah dengan dibungkus seperti lontong dan direbus dengan daun kecombrang.
Dalam makna lain, laksa artinya “bilangan 10.000”. Dalam bahasa Sunda ada idiom yang berbunyi “laksa keti kabingahan” yang bermakna “kegembiraan yang tiada tara”. Dalam konteks ini barangkali Ngalaksa juga menggambarkan kegembiraan yang sangat atas hasil pertanian.
Menurut Ela Yulaeliah, dulu upacara Ngalaksa di Rancakalong diadakan di lima kampung atau rurukan, yakni Rancakalong, Cijere, Legok Picung, Cibunar, dan Pasir Biru. Kini setelah pemerintah daerah Kabupaten Sumedang mengangkat upacara Ngalaksa sebagai agenda wisata daerah, upacara tersebut dipusatkan di satu tempat yang waktu pelaksanaannya selalu jatuh pada bulan Juli.
Kesenian Tarawangsa dalam catatan J. Julia dalam Orientasi Estetik Gaya Pirigan Kacapi Indung dalam Kesenian Tembang Sunda Cianjuran di Jawa Barat (2018) bermula sejak Sumedang masih dalam kekuasaan Mataram.
Kisah lisan yang beredar secara turun-temurun menerangkan bahwa dulu masyarakat Rancakalong dilanda bencana kelaparan karena tanaman padi mengalami gagal panen yang disebabkan oleh kemarau yang berkepanjangan.
Masyarakat Rancakalong, seperti masyarakat Sunda pada umumnya, awalnya adalah peladang. Saat ditimpa musim paceklik, mereka mengirim utusan ke Mataram untuk mendapatkan benih padi yang baik, sebab budaya sawah datangnya dari Mataram.
Setelah melakukan perjalanan panjang, para utusan akhirnya berhasil mendapatkan benih padi. Terdapat dua versi tentang bagaimana mereka mendapatkan benih padi tersebut. Pertama, mereka diberi oleh penguasa Mataram. Kedua, mereka mendapatkannya dengan jalan mencuri.
Kesamaannya, dalam kedua versi tersebut, benih padi dikisahkan dibawa dengan dimasukkan ke dalam dua alat musik yang kemudian menjadi pengiring tari-tarian dalam kesenian Tarawangsa, yakni tarawangsa dan kecapi jentréng.
“Jentréng bentuknya menyerupai perahu. […] Biasanya menggunakan warna hitam dari cat kayu. Fungsi musikal Jentréng dalam pertunjukan kesenian Tarawangsa adalah sebagai balungan gending atau kerangka gending yang menjadi pola dari suatu lagu, sementara tarawangsa sebagai pembawa lagu,” tulis Julia.
Sementara tarawangsa, lanjutnya, adalah instrumen yang digesek dan masuk dalam klasifikasi chordophone, yaitu instrumen berdawai yang dimainkan dengan teknik bermain gesek. Hal ini berdasarkan pengelompokan alat musik berdasarkan bahan yang digunakan hingga menghasilkan suara yang berbeda-beda yang ia kutip dari Pono Banoe dalam Pengantar Pengetahuan Alat Musik (1984).
Malam semakin larut di Rancakalong, tarawangsa, dan kecapi jentréng terus menjerit bersahutan. Aroma asap kemenyan masih berkuasa, dan para penari masih bergerak menuju titik puncak. Malam itu malam ke tujuh dalam rangkaian upacara Ngalaksa. Momen penghormatan dan rasa syukur kepada alam dan Tuhan akan segera berakhir. Purnama semakin tinggi.
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Maulida Sri Handayani