tirto.id - Jalan Kupang Jaya I tampak lengang siang itu. Hanya ada beberapa orang anak muda yang sedang duduk di depan rumah. Cangkruk, istilah Surabaya-nya. Beberapa meter setelah tempat mereka cangkruk, ada dua orang perempuan paruh baya yang bercengkrama. Mereka tampak sigap ketika ditanya rumah Kartolo.
"Rumahnya Abah lurus aja. Nanti ketemu rumah pager item yang puanjang, nah itu rumahnya Abah," kata salah satu perempuan itu.
Bagi yang belum tahu, panjang dan puanjang itu berbeda. Ini dialek khas Surabaya. Panjang ya panjang, biasa saja. Kalau puanjang, itu artinya lebih dari panjang yang biasa. Sama seperti guanteng untuk menyebutkan ketampanan yang berlebihan, atau uelek untuk menyebut keapesan tak tertanggungkan perihal muka. Penambahan huruf -U itu sama derajatnya dengan kata very dalam Bahasa Inggris.
Benar saja, rumah Kartolo memang panjang. Seperti dua rumah yang dijejer jadi satu. Pagarnya hitam. Lantai halaman depan keramik beraksen gelap.
Seorang perempuan menyilakan untuk masuk. Dalam rumah Kartolo ada satu jam Junghans buatan Jerman, yang bersandingan dengan satu buah kipas angin. Pria berumur 71 tahun ini biasa menemui tamunya di ruang tamu, di sofa berwarna cokelat. Nama Kartolo tenar sebagai seniman ludruk dan pelawak. Baru saja mendaratkan bokong di atas sofa kesayangannya, dia sudah melontarkan lawakan.
"Silakan kuenya dimakan," katanya menyilakan.
"Itu kue sisa lebaran."
"Tapi lebaran lima tahun lalu."
Nama Kartolo dan ludruk nyaris tak bisa dipisahkan. Walau sebenarnya pria yang sempat lama tinggal di Malang ini sudah "meninggalkan" dunia ludruk pada 1980-an. Kartolo beralih menjajal masuk dapur rekaman. Selama 15 tahun, Kartolo sudah merekam sekitar 95 album. Setelah Kartolo pergi, rasa-rasanya belum ada seniman ludruk yang bisa menyamai kharismanya.
James Peacock, dalam Rites of Modernization: Symbolic & Social Aspects of Indonesian Proletarian Drama (1968) mengatakan bahwa ludruk bisa ditarik akarnya ke abad 13. Saat itu sudah ada pertunjukan ludruk bondan dan ludruk lerok di era Kerajaan Majapahit. Ludruk tumbuh berkembang di daerah yang sekarang dikenal sebagai Jawa Timur.
Ludruk berkembang di jalanan, dalam artian mereka berkeliling. Mirip dengan sirkus. Istilahnya tobongan. Ludruk keliling ini berisi rombongan besar. Kadang dalam satu rombongan ada sekitar 50 hingga 60 orang. Tidak hanya pemain, tukang dekor pun diborong. Kartolo muda mulai menangguk pengalaman bermain ludruk dengan bergabung di tobongan. Saat itu 1967, Indonesia masih dalam keadaan panas setelah peristiwa Gerakan 30 September.
Tobongan banyak ditanggap. Baik di desa ataupun kota. Bedanya ada di durasi. Di desa, biasanya ludruk dimulai pukul 9 malam dan berakhir pukul 3 pagi. Sedangkan di kota, lebih singkat, hanya 4 jam saja. Biasa dimulai pukul 8 malam, berakhir pukul 12.
Ludruk punya pola yang bisa dibilang jamak. Pada pembukaan, akan ada atraksi tari remo terlebih dulu. Setelah ngeremo selesai, akan ada babagan yang disebut sebagai Bedayan, tarian yang diiringi kidung para penyanyi. Setelahnya baru para pelawak muncul. Pelawak ini awalnya akan muncul sendirian. Dia mulai berbicara dan melucu, mirip seperti komika di zaman sekarang. Setelahnya para rekan pelawak lain akan muncul, dan akan ada tek-tok untuk meluncurkan lawakan-lawakan dalam bentuk grup. Setelah lawakan selesai, baru ada Lakon. Ini adalah inti cerita yang dibagi dalam beberapa babak. Cerita biasanya mengambil kisah rakyat, atau kehidupan sehari-hari.
"Semua pertunjukan ludruk harus ada itu semua," kata Kartolo.
Babak Dalam Ludruk
Ludruk disukai banyak orang karena sifatnya yang membumi. Ia dianggap sebagai pemberontakan dari seni pertunjukan ala keraton dan istana, seperti wayang atau ketoprak, yang biasanya memakai tema elite dan menggunakan bahasa elite pula. Ludruk tidak demikian. Bahasanya adalah bahasa "kasar", yang lebih egaliter dan dekat dengan kalangan akar rumput.
Karena populer itu lah, banyak anak-anak muda yang tertarik untuk bergabung dengan ludruk. Dari penelitian James Peacock selama kurun 1963 hingga 1964, dia mendata ada sekitar 594 grup ludruk. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur mendata pada 1984-1985 ada sekitar 789 grup ludruk.
Pada 1985, Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur pernah melakukan pendataan kelompok ludruk dan senimannya. Saat itu kelompok ludruk sudah menurun jadi sekitar 58 kelompok ludruk dengan jumlah pemain mencapai 1.500-an orang. Jumlah itu makin menyusut seiring munculnya televisi.
Kelompok Loedroek ITB, pernah melakukan pendataan periode ludruk. Dimulai dari periode lerok besud (1920-1930), dari sini ludruk keliling bisa dilacak. Para kelompok ludruk berkeliling, ditanggap untuk mengisi berbagai acara. Mulai dari pernikahan, sunatan, atau panen raya.
Pertumbuhan ludruk dari era 1930 hingga 1945 diwarnai dengan kisah-kisah yang membakar perlawanan kepada penjajah. Di periode ini, muncullah nama Cak Durasim, tokoh ludruk legendaris yang sekarang diabadikan menjadi nama gedung pertunjukan di Surabaya. Cak Durasim membuat organisasi perkumpulan kelompok ludruk, Ludruk Organizatie.
Selain menjadikan ludruk sebagai hiburan rakyat, disisipkan pula pesan-pesan perlawanan. Puncaknya adalah saat Cak Durasim mengeluarkan parikan: Pagupon omahe doro, melu Nippon malah tambah sengsoro (pagupon rumahnya dara, ikut Jepang malah tambah sengsara). Karena peristiwa itu, Cak Durasim ditangkap dan disiksa oleh Jepang. Dia meninggal setahun setelah penangkapannya.
Periode ludruk kemerdekaan dimulai sejak 1945 hingga 1965. Saat itu, ludruk yang memang dekat dengan kalangan akar rumput, juga dekat dengan kaum Komunis Indonesia dan sayapnya, Lembaga Kebudayaan Rakyat. Salah satu kelompok ludruk yang terkenal adalah Marhaen dan Tresna Enggal. Saat terjadi peristiwa Gerakan 30 September, banyak seniman ludruk yang ditangkap dan hilang tanpa jejak.
Setelah Orde Lama tumbang, jagat ludruk sempat kosong dalam waktu sekitar 3 tahun. Setelahnya, rezim Orde Baru memerintahkan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk menjadi "bapak" kelompok ludruk. Beberapa kelompok ludruk digabungkan jadi satu dan berada dalam pengawasan kesatuan ABRI masing-masing.
Ada kelompok Anoraga yang menjadi Ludruk Wijaya Kusuma I, II, dan III Brawijaya yang dibina oleh Korem 083 Baladika Jaya, Malang. Kelompok Ludruk Karya Sakti dibina oleh Kodim 0818 Malang. Kelompok Dwikora Denzipur 5 Lawang juga punya kelompok ludruk. Sedangkan Brimob punya kelompok Gema Tribrata dan Duta Budaya. Kartolo mengawali karir dengan bergabung di Denzipur 5.
"Dulu seniman ludruk itu ya pakai seragam juga, masuk kantoran," kata Kartolo.
Pada 1975, barulah kelompok ludruk kembali jadi independen. Dan Kartolo mulai menekuni karir sebagai seniman ludruk keliling dengan bergabung ke kelompok seperti Gajah Mada, Tangsa Trisno, Bintang Surabaya, Persada, hingga ludruk milik Radio Republik Indonesia.
Peristiwa Pemberontakan G30 S yang membuat banyak seniman hilang tak diketahui rimbanya, membuat para seniman ludruk mengurangi, bahkan menghilangkan, muatan politis dalam setiap penampulan panggungnya. Begitu pula Kartolo. Dia memilih sama sekali tidak mau menyinggung soal politik dalam lawakannya.
Masa Depan Ludruk
Ibnu Raharjo adalah salah satu kolektor kaset lawakan Kartolo. Dia punya sekitar 50-an kaset Kartolo. Lebih dari separuh. Sisanya, kata Ibnu, agak susah dicari.
"Karena kolektor kaset kayak gini kan susah dilacak," kata pria pendiri Toko Buku Kafka ini.
Pertemuan Ibnu dengan karya Kartolo sudah dimulai saat dia masih SD. Kaset Kartolo sering diputar di acara hajatan, biasanya siang hari. Itu adalah waktu di mana memutar lagu dangdut terlalu berisik dan memutar lagu pop tidak menarik. Setelahnya, baru Ibnu melihat pertunjukan Kartolo melalui TVRI.
Menurut Ibnu, ada beberapa hal yang menyebabkan Kartolo disukai banyak orang. Pertama, lawakannya gampang ditangkap semua orang. Ini adalah buah dari pengalaman di ludruk, yang memang memakai bahasa sehari-hari dan juga menampilkan tema yang dekat dengan kehidupan masyarakat. Tema lawakan Kartolo juga dianggap bisa menyasar semua umur.
"Buktinya, aku yang masih kecil saja bisa suka," kata pria yang tinggal di Malang ini.
Menurut Ibnu, Kartolo memang menghindari tema politik dalam lawakannya. Ini dilakukannya secara sadar. Bahkan dalam berbagai kesempatan, Kartolo ikut mengampanyekan program pemerintah. Seperti Keluarga Berencana, atau soal swasembada pangan.
Saat menjadi mahasiswa di pertengahan 98, Ibnu mulai tertarik mengoleksi kaset Kartolo. Setiap ada kaset Kartolo, dia selalu beli. Tahu-tahu sudah mencapai 50 kaset. Menurutnya, kaset Kartolo lumayan mudah dicari di lapak penjual kaset bekas. Bahkan kaset yang baru pun ada, terbitan Nirwana Records.
Periode Kartolo memasuki era kaset ini cukup menarik. Sebagai seniman klasik --dalam artian dia lumayan mengabaikan perihal uang dan imbalan materi, dan lebih memilih untuk terus berkarya-- Kartolo tidak peduli dengan royalti. Dari semua kasetnya, tak ada yang dibayar pakai royalti.
Kartolo tidak keberatan dengan kebijakan itu. Menurutnya, hubungannya dengan Nirmala adalah sama-sama menguntungkan. Nirmala mendapatkan untung finansial, Kartolo mendapatkan publisitas luas. Karena saat itu juga belum ada televisi.
"Tanpa kaset rilisan Nirmala itu, saya tidak akan jadi apa-apa. Kaset saya itu sampai di Texas lho mas. Iya, Texas Amerika," kata Kartolo.
Selepas Kartolo, nyaris belum ada seniman Jawa Timur, yang bisa menyamai pengaruhnya. Dulu sempat ada Kelompok Kirun, Bagio, Kholik. Tapi bubar. Begitu pula duo Topan dan Lesus yang dulu sempat menghiasi layar televisi, juga buyar di tengah jalan.
Kartolo sendiri sampai sekarang masih aktif manggung: melawak dan ngidung di usia kepala 7. Paling tidak sebulan ada 4 atau 5 kali manggung. Dalam masa jayanya dulu, kelompok lawakan Kartolo bisa manggung hingga 20 kali dalam sebulan. Tak hanya itu, Kartolo juga masih aktif membuat syair kidungan dan parikan. Dia tak pernah menampilkan materi yang sama dalam tiap panggungnya.
Kesenian ludruk sendiri masih hidup hingga sekarang, walau tak mungkin sebesar dulu. Nama-nama baru bermunculan, walaupun memang harus diakui agak susah menyamai para pendahulunya. Di Surabaya ada kelompok ludruk Arboyo yang dipimpin oleh Cak Lupus. Sebagian besar anggotanya adalah anak-anak muda di bawah usia 30 tahun. Di Bandung, ada kelompok Loedroek ITB yang merupakan unit kegiatan kampus. Di Surabaya juga masih ada beberapa kali kompetisi ludruk, walau seringkali tak ada kelanjutannya setelah ada pemenang lomba.
Ludruk, sama seperti kesenian tradisional Nusantara lain, memang persis seperti yang diungkapkan Kathleen Azali dalam makalah berjudul Ludruk, Masihkah Sebagai Ritus Modernisasi, menuliskan bahwa ludruk dan banyak kesenian tradisional kita tidak punya standarisasi. Selain itu, pewarisan ilmu pengetahuan dan khazanah pertunjukan ini dilakukan secara lisan. Hal ini membuat regenerasi lumayan susah dilakukan. Apalagi jika para tetua sudah mulai tidak ada.
Pengamat seni Henri Nurcahyo mengatakan bahwa setidaknya ada tiga langkah yang bisa dilakukan agar ludruk bisa tetap bertahan. Pertama, ludruk harus berinovasi agar tidak membosankan. Pakem, mau tidak mau, harus sedikit diubah.
"Semisal pentas dibuka bukan dengan tari remo, melainkan dengan adegan perkelahian," tulis Henri.
Kedua, ludruk bisa dikemas supaya mampu menghadirkan suasana desa dan tradisional, terutama bagi masyarakat kota yang memang rindu dengan suasa desa dan hiburan tradisional. Ketiga, tentu campur tangan pemerintah. Bisa dengan menyediakan insentif bagi para seniman ludruk, atau memberikan tempat latihan gratis bagi kelompok ludruk.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti