Menuju konten utama
Lebaran Idulfitri 2023

Suka Duka Para Perantau di Jogja yang Tak Mudik Lebaran

Selain rindu keluarga, perantau yang tak mudik di Jogja juga mesti menghadapi tantangan lain: susah cari warung makan.

Suka Duka Para Perantau di Jogja yang Tak Mudik Lebaran
Tugu Jogja, Yogyakarta. (FOTO/iStockphoto)

tirto.id - Lebaran identik dengan mudik. Para perantau biasanya menjadikan momen Idulfitri ini untuk lepas kangen dengan keluarga besar di kampung halaman. Meski demikian, tak sedikit dari mereka yang justru tidak bisa mudik karena beragam alasan.

Roziqien adalah salah satunya. Pada lebaran tahun lalu, ia tidak bisa mudik ke kampung halamannya di Sumenep, Madura karena ada pekerjaan yang mengharuskan dia tetap di Jogja. Kala itu, selain bekerja ia masih berstatus sebagai mahasiswa di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Berdasarkan penuturan Roziqien, sekira seminggu menjelang lebaran, Jogja sudah mulai sepi. Banyak teman kontrakannya –terletak di bilangan Banguntapan, Bantul– pulang kampung sehingga ia memutuskan untuk tinggal di kontrakan temannya yang lain di daerah Gamping, Bantul. Hitung-hitung, kontrakan di Gamping itu lebih dekat dengan tempat bekerjanya. Alhasil, hari-hari menjelang lebaran ia habiskan di sana.

Pada hari lebaran, Roziqien pun bangun untuk salat id. Memori tubuhnya masih ingat dengan takbiran dan membuatnya bangun begitu saja. Kala itu sudah pukul tujuh. Tergesa-gesa ia bersiap dan membangunkan teman kontrakannya yang sama-sama perantau untuk salat id.

“Aku bangunin tapi mereka bilang malas," kata Roziqien ketika diwawancara kontributor Tirto, Kamis (13/4/2023). "Waktu aku keluar kontrakan menuju ke masjid, akhirnya aku tahu kenapa mereka malas."

"Semua orang sudah pakai baju putih. Keluarga-keluarga tetangga sudah pada ngumpul," tutur Roziqien sambil tertawa getir.

Momen lebaran yang mestinya menyenangkan justru bikin Roziqien sedih. Ia rindu dengan kampungnya.

Sulit Cari Warung Buka

Tak hanya rindu keluarga, perantau yang menetap di Jogja kala lebaran juga mesti menghadapi tantangan lain. Ketika hari raya itu, banyak toko dan warung tutup. Jangankan menikmati suguhan lebaran seperti ketupat dan opor, makanan sehari-hari seperti Warmindo pun sulit untuk didapati.

Maka dari itu, perantau yang tak pulang mesti bersiasat. Riko, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga asal Wakatobi, Sulawesi Tenggara menyiasatinya dengan berkumpul dengan teman satu organisasi atau satu daerah. Dengan berkumpul, mereka bisa menyiapkan makanan sendiri untuk beberapa waktu setelah lebaran.

Tahun lalu, Riko memilih memasak opor bersama teman-temannya di sekretariat organisasi ekstra kampus. Dia berkumpul bersama sebagian kecil teman-temannya yang juga memilih untuk tidak pulang kampung.

Opor yang dihidangkan tak bisa menggantikan makanan daerahnya. Bercengkerama dengan teman juga tak bisa menggantikan perasaan ketika berkumpul bersama keluarga. Namun paling tidak, untuk persoalan makan, Riko bisa sedikit tenang. Ia juga bersyukur ada teman untuk menghadapi hari-hari sepi hingga libur lebaran berakhir.

Tahun ini, Riko memilih untuk kembali tidak mudik dan menetap di Jogja. Ke depan, ia belum tahu akan menghabiskan libur lebaran yang sepi bersama siapa dan di mana. Kebanyakan teman organisasinya pulang.

"Paling nanti di organisasi yang lain, di organisasi daerah (orda). Dulu pernah juga sih enggak mudik terus ngumpul di orda, nyate. Standar lah," terang Riko saat ditemui pada Rabu, 12 April 2023.

Kesulitan macam itu tak hanya dialami perantau pelajar. Ridho, lulusan kedokteran Universitas Islam Indonesia, juga akan menghabiskan libur lebarannya di Jogja. Namun berbeda dengan Riko, Ridho tak punya pilihan banyak. Sejak lulus kuliah pada 2022, intensitas pertemuannya dengan teman-teman tak lagi sering. Ia lebih banyak mempersiapkan berbagai hal untuk koas yang dimulai pada awal Mei 2023.

"Paling nanti salat id di kampus saja. Setelahnya ya di kos atau ke rumah 'calon' aja," kata Ridho.

Lebaran di perantauan sebenarnya bukan hal yang baru bagi Ridho. Ini adalah kali ketiga ia menghabiskan liburan Idulfitri di Jogja. Bedanya, di lebaran sebelumnya, Ridho punya kakak yang juga masih berkuliah di Jogja. Namun, sejak 2019, kakaknya lulus. Praktis sejak itu, ia tak punya keluarga lagi di Jogja, yang menemaninya menghabiskan libur lebaran seperti dulu.

Alasan Tak Pulang Kampung

Ada banyak alasan yang membuat para perantau tak pulang kampung kala lebaran. Seperti Roziqien, sebagian dari mereka tak pulang karena masih ada tanggungan di perantauan. Ada pula yang tak pulang karena belum siap bertemu dengan keluarganya.

Alasan Riko sendiri merupakan kombinasi antara keduanya. Kini ia sedang kuliah di tingkat akhir dan ia merasa harus menyelesaikan studinya dahulu sebelum pulang ke rumah.

"Nggak enak juga nanti kalau pulang dibilang 'sudah semester akhir kok belum lulus-lulus'," tukas Riko tersenyum.

Selain itu, Riko juga mesti menggelontorkan uang yang tak sedikit. Untuk tiket kapal laut dari Surabaya menuju Sulawesi Tenggara, Riko perlu merogoh kocek sekira Rp500.000.

Alasan yang senada juga dikemukakan oleh Ali. Ia sendiri berasal dari sebuah desa di Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat. Di desa itu, Ali merupakan orang pertama yang merantau ke luar Sulawesi. Sebagai pemuda desa yang kali pertama merantau ke luar Sulawesi, Ali kerap diminta pulang oleh keluarganya.

Alhasil, Ali sampai ke Jogja pada 2022 dan memutuskan untuk tidak pulang hingga hari ini.

Hingga saat ini, Ali belum berkuliah. Namun, ia hendak menjajal ujian masuk perguruan tinggi pada awal Mei tahun ini. Itu juga yang menjadi salah satu alasannya untuk tidak pulang kampung. Selain karena, "kalau aku pulang, enggak bisa balik Jogja lagi nanti," seloroh Ali.

Idulfitri 2023 akan menjadi hari raya pertama Ali di luar kampung. Ia sendiri belum punya rencana bagaimana menghabiskan waktu lebarannya nanti. "Paling nanti aku ngestok kopi sama beras lah kalau warung-warung pada tutup," ujar Ali santai.

Baca juga artikel terkait LEBARAN 2023 atau tulisan lainnya dari Muhammad Sidratul Muntaha Idham

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Muhammad Sidratul Muntaha Idham
Penulis: Muhammad Sidratul Muntaha Idham
Editor: Abdul Aziz