Menuju konten utama

Suara Demokrat Gembos, Kenapa Masih Ada yang Ingin Pertahankan SBY?

Sejumlah kader yang tergabung dalam Forum Pendiri dan Deklarator Demokrat mendesak SBY mundur karena dinilai gagal memimpin partai. Bagimana internal parpol menyikapinya?

Suara Demokrat Gembos, Kenapa Masih Ada yang Ingin Pertahankan SBY?
Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pidato politik saat pembukaan pembekalan calon legislatif DPR RI Partai Demokrat di Hotel Sultan, Jakarta, Sabtu (10/11/2018). ANTARA FOTO/Reno Esnir

tirto.id - Soliditas Partai Demokrat terus diuji usai pemilihan umum (Pemilu) 2019. Kali ini, partai berlambang segitiga mercy itu mendapat serangan dari para partai yang mengatasnamakan Forum Pendiri dan Deklarator Demokrat. Intinya mereka mendesak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mundur sebagai ketua umum.

Desakan itu disampaikan lantaran SBY dianggap telah gagal memimpin Partai Demokrat sejak ia menggantikan Anas Urbaningrum lewat Kongres Luar Biasa Demokrat pada akhir Maret 2013. Saat itu, SBY diharapkan kembali menaikkan elektabilitas partai usai sejumlah kader terseret kasus korupsi.

Namun, setelah SBY mengambil alih nakhoda partai, ternyata elektabilitas Demokrat tetap tidak beranjak naik. Pada Pemilu 2014, misalnya, Demokrat hanya memperoleh suara 10,19 persen, padahal pada pemilu sebelumnya menjadi pemenang dengan perolehan suara 20,85 persen.

Salah satu anggota Forum Pendiri dan Deklarator Demokrat, Sahat Saragih menilai, SBY justru membuat partai porak-poranda. Dari yang sebelumnya berjaya hingga bisa mengusung calon presiden dua kali berturut-turut sampai pada akhirnya hanya meraih 7,7 persen pada Pemilu 2019.

Mereka pun tak percaya lagi terhadap SBY untuk memimpin partai ini. Namun, upaya para pendiri dan deklarator ini justru mendapatkan penolakan dari kader-kader yang masih loyal terhadap SBY, mulai dari kader di tingkat nasional hingga kader di tingkat daerah.

Sahat mengatakan, para kader ataupun pengurus yang masih mendukung SBY adalah wajah-wajah baru yang masih memiliki rasa sungkan kepada Presiden ke-6 RI itu.

“Mereka ini, kan, boleh dikatakan sebagian besar orang-orang baru, sehingga ada rasa sungkan kepada SBY,” kata Sahat saat dikonfirmasi reporter Tirto terkait penolakan sejumlah kader Demokrat untuk menggantikan SBY, pada Kamis (4/7/2019).

Sahat pun mengaku masih menghormati SBY. Namun, ia merasa SBY tak perlu lagi memimpin Partai Demokrat karena prestasi partai yang tak gemilang lagi. “Kalau orang sudah tinggal kelas beberapa kali, masih dipertahankan atau tidak? Nah, di sinilah bedanya pengurus dengan kami sebagai pendiri dan deklarator,” ucap Sahat.

Sahat mengatakan kader-kader saat ini hanyalah penikmat keberhasilan pihaknya dalam membesarkan nama partai. Sebab, tak ada yang bisa meningkatkan, bahkan mempertahankan prestasi-prestasi yang telah diraih Partai Demokrat.

“Enggak ada beban di mereka kalau [perolehan suara] turun, harus mundur dong. Mereka hanya menikmati hasil yang telah dibangun para pendiri,” kata Sahat.

Karena itu, Sahat mendesak SBY segera turun dari kursi ketua umum. Ia yakin Demokrat bisa maju lebih baik lagi dari sekarang. Sebab, kata dia, justru di masa SBY menjadi ketua umum, Demokrat mengalami keterpurukan, misalnya semakin menurunnya perolehan suara Demokrat pada Pemilu 2019.

“Pasti. Pasti maju [tanpa SBY]” kata Sahat.

Di masa awal pendiriannya, kata dia, nama Demokrat mulai merangkak naik justru saat SBY belum masuk ke kepengurusan partai. Saat itu, kata Sahat, SBY masih menjadi menteri di era Presiden Megawati Soekarnoputri.

Bahkan saat Pemilu 2004, Demokrat sebagai partai baru bisa masuk urutan 5 besar. Demokrat berhasil mendapatkan 8.455.225 suara atau sebesar 7,45% dari total 113.462.414 jumlah suara yang sah, sehingga memenuhi syarat untuk mengusung calon presiden.

"Ternyata bahwa Partai Demokrat dapat 7,45 persen. Itu, kan, fakta. Bukti. Lalu pendiri Demokrat ini mengajukan dia [SBY] sebagai calon," jelas Sahat.

Meski mendesak SBY turun melalui Kongres Luar Biasa (KLB), tapi ia dan pendiri Partai Demokrat tak akan menghalangi bila putra sulung SBY, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) berniat maju menjadi ketua umum.

Menurut Sahat bila AHY terpilih menjadi ketua umum, ia akan mendukungnya. Ia pun tak masalah dengan status AHY sebagai anak dari SBY dan juga pengalaman politik AHY yang memang masih dirasa kurang.

Sebab, kata Sahat, Demokrat adalah partai terbuka yang menerima siapa saja untuk masuk ke dalam mengurus Partai Demokrat agar lebih baik lagi.

"Seharusnya ada perjalanan politik dulu lah. Namun partai ini tidak ada hal itu. Partai tidak membatasi itu. Partai ini, siapa pun kader partai yang mau jadi ketum, kalau dia menang, semua kader harus mendukung,” ujar Sahat.

Demokrat Tak Kenal KLB

Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Pandjaitan mengatakan Demokrat tak mengenal adanya KLB, apalagi untuk menurunkan posisi seorang ketua umum.

“KLB itu tidak berdasar dan tidak ada alasannya," jelas Hinca di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (4/7/2019).

Menurut Hinca, di partainya yang ada hanyalah kongres yang rutin digelar setiap lima tahun sekali sesuai dengan AD/ART partai. Ia pun mengatakan bahwa kongres terakhir yang diadakan Demokrat pada Mei 2015 di Surabaya, Jawa Timur.

“Maka lima tahun berikutnya adalah bulan Mei 2020 dan siklus itu berjalan biasa saja dan saya pastikan tidak ada KLB," kata Hinca menegaskan.

Hinca mengatakan, jika pun ada KLB, maka harus diajukan oleh Majelis Tinggi Partai atau 2/3 dari Ketua DPD dan setengah DPC. Demokrat, kata Hinca, akan menegakkan aturan sesuai mekanisme di internal partainya terhadap mereka yang mengatasnamakan sebagai pendiri dan deklarator Partai Demokrat itu.

"Nah DPD udah nolak semua kok. Jadi ini sesuatu yang internal kami dan kami akan tegakkan,” kata Hinca menegaskan.

Terkait protes atas menurunnya suara Partai Demokrat dibawah kepemimpinan SBY, kata Hinca, Komando Satuan Tugas Bersama (Kogasma) yang dipimpin AHY adalah solusi yang telah dipikirkan DPP Partai Demokrat jelang Pemilu 2019.

Menurut Hinca, Kogasma sengaja dibentuk DPP Demokrat pada Februari 2018 untuk menghadapi Pemilu 2019 yang digelar serentak antara Pileg dengan Pilpres. Apalagi, saat itu elektabilitas Partai Demokrat dianggap sangat mengkhawatirkan.

“Nah posisi Partai Demokrat berada dalam keadaan sulit, karena kami tidak mempunyai wakil, presiden dan wapres di situ. Sehingga lembaga survei menempatkan Demokrat antara 3-4 persen karena itu DPP mengambil sikap cepat untuk menambah kekuatan baru khusus kampanye,” kata dia.

Penunjukan AHY sebagai komandan Kogasma, kata Hinca, sah dan legal karena ia sudah menjadi kader partai. Penunjukan AHY juga merupakan bagian dari strategi meningkatkan elektabilitas pada Pemilu 2019.

Menurut Hinca, strategi tersebut berhasil meskipun suara Partai Demokrat hanya 7,7 persen di DPR RI, tapi yang terpenting lolos ambang batas parlemen.

“Jadi kalau ada yang bilang itu ilegal itu sama sekali salah, yang benar adalah ini bagian strategi kami untuk memenangkan [pemilu]," ucapnya.

Alasan Hinca ini tak dapat diterima Sahat. Menurut Sahat, Kogasma dianggap berhasil apabila pada Pemilu 2019 lalu Demokrat berhasil meraih suara di atas 15 persen, sesuai target yang telah ditetapkan.

Demokrat awalnya memang menargetkan memperoleh 15 persen suara dalam Pileg 2019. Namun, target itu direvisi melihat hasil survei dan kondisi saat itu sehingga dibawah komando AHY, Demokrat menargetkan menang di atas angka 10 persen.

Namun, meski target telah diturunkan, tetap saja Demokrat tak mampu menembus target itu. “Kenyataannya, kan, Kogasma enggak berhasil, lalu apa yang mau dibanggakan?” kata Sahat mempertanyakan.

Ujian Bagi SBY

Dosen ilmu politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Pangi Syarwi Chaniago menilai wajar bila ada pergolakan di internal Partai Demokrat.

Menurut dia, semua partai politik akan pernah mengalami masa-masa seperti ini. Pergelokan ini, kata Pangi, ibarat sebuah ujian bagi SBY.

“Apakah beliau [SBY] akan tersingkir atau justru menyingkirkan yang tidak loyal ini. Ini ujian bagi SBY," jelas Pangi.

Menurut Pangi, sebaiknya SBY tak usah malu-malu menyampaikan bahwa partainya kini telah menjadi partai keluarga. Dimunculkannya sosok putera sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) memang sengaja agar ia bisa menjadi penerus kepemimpinan SBY dari garis keturunannya.

"Apa yang salah bila ada yang mengatakan Partai Demokrat partai keluarga, santai saja, enggak usah baper karena memang faktanya begitu kok," ucap Pangi.

Untuk itu, kata Pangi, kepiawaian SBY benar-benar dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah ini.

“Kalau SBY bisa melewati ini, beliau akan makin kuat, siapa yang nantinya mencoba lagi menggantikan SBY pasti akan trauma," kata Pangi.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Bayu Septianto

tirto.id - Politik
Reporter: Bayu Septianto
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Abdul Aziz